Beberapa minggu berlalu tapi Attala tak kunjung mengijinkan teman-temannya datang. Tanpa sepengetahuannya, mereka selalu datang memperhatikan dari jauh. Seperti sekarang ini, Elang terpaku memperhatikan sahabat hidupnya itu sedang menyendiri di taman.
"Jangankan nama gue, suatu hari nanti udara akan berhenti hilir mudik ke ruang dada lo, Ta." Elang bergumam di tengah kerapuhannya.
"Lo ngomong apa sih? Bentar lagi Atta sembuh!" sambar Sasa yang baru saja kembali dari kantin. Disusul Ranya dan Marin di belakangnya.
"Apa gak kita samperin aja dia?" Mata timbul Ranya menatap lurus sahabatnya yang melamun seorang diri di kursi roda.
"Itu cuman akan bikin dia stress ngeliat biangnya ini," ujar Sasa melirik sinis Elang, "yang ada gak sembuh-sembuh."
"Jatuh cinta bisa mengubah segala sesuatu yang gak pernah terbayangkan sebelumnya, seperti yang kita lihat, cewek tomboy sekuat dan seceria Kak Atta bisa tumbang hanya karena ditebas oleh satu nama, yaitu kamu, Bang." Elang menoleh pada adik perempuannya. Marin hanya menatap polos ke arahnya. Begitulah perempuan, sorot matanya terlihat dangkal tapi menyimpan pesan tersembunyi yang begitu dalam.
"Si Jeki mana ya?" tanya Sasa. Elang menunjuk suatu tempat dan Sasa langsung cemberut begitu melihat Jack sedang teleponan sambil senyum-senyum.
"Kalo suka bilang aja sana, sebelum terjadi lagi peristiwa-peristiwa aneh lainnya!" ujar Elang sambil memukul kepala Sasa dengan botol plastik kosong yang sedari tadi dipegangnya.
Sasa langsung balas menjitak kepalanya. "Ya kali cewek secantik gue ngomong duluan, lagian dia gak ganteng-ganteng amat sampe harus gue kejar!"
"Lebay, sahabat ini lo berdua. Kalo cara berpikir lo kayak gitu, ya siap-siap jangan nyesel, soalnya gak ngejamin anak itu bisa sadar kayak gue."
*
"Sampe kapan kamu begini terus? Mereka selalu setia jagain kamu dari jauh, ayo temuin mereka dong sayang ...." Ini kesekian kali Runi membujuk putrinya.
Attala menilik ke seberang jendela, tampak Sasa sedang menemani Kiki di perpustakaan rumah pohon. Menemani Rafa, Ali dan Dila membaca buku. Sesekali Jack mengganggu mereka tapi dibalas bengisan Sasa.
Di hammock Marin sedang asyik mengobrol sambil bermain-main dengan iguana yang semakin bertambah bobotnya itu. Panjangnya sudah mencapai 1 meteran. Sementara Elang ... Attala baru menyadari jika sejak tadi cowok itu sedang memperhatikan jendela kamarnya. Segera jemari lentik Attala menutup gordeng.
"Gak bisa, Ma." Attala baru menyahut.
"Karena ada Elang? Biar Mama suruh pergi dia dulu."
"Gak usah."
Runi berjongkok di hadapan putrinya. "Sejak pertama kali kamu masuk rumah sakit, Elang orang pertama yang masuk melihatmu, dia berani mengaku salah sama Mama karena udah nyakitin hati kamu."
"Dia begitu karena Atta udah gini, Ma. Harusnya Mama ngerti, cowok emang suka gitu!"
Mamanya berpikir sejenak, kemudian menyahut, "Kenapa kamu gak berpikir ... mungkin ini cara Tuhan untuk menyadarkan Elang? Apapun kondisimu, kalau dia gak cinta, dia gak akan sepeduli ini Attala."
Attala tampak berpikir keras. Dia ingin sekali tidak mendengarkan kata-kata mamanya, tapi entah kenapa kalimat itu begitu meresap sempurna ke otaknya dan mengalir sejuk ke ruang dadanya.
Runi bisa membaca perubahan raut wajah putrinya, dia tersenyum sambil menyingkir. Membiarkan putrinya memajukan roda kursi seorang diri. Runi mengintip dari balik jendela dengan senyum yang mengembang melihat putrinya seberani itu. Bisa mengambil keputusan yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Too Late
Teen FictionJangankan udara, suatu saat nanti namaku akan berhenti hilir mudik ke ruang dadamu. Belom direvisi.