Part 25

101 10 4
                                    


Attala menatap tak terima kedatangan istri muda papanya. Dengan bengis berusaha menggerakkan kursi rodanya untuk menghampiri perempuan itu. "Pergi! Pergi sekarang juga! Cewek seperti lo gak dibutuhkan di sini, lagi pula bukannya kaki lo haram menginjak ke tanah ini? Atau lo sengaja melanggar semua demi menertawakan gue sekarang, iya? Sana pergi!"

Lena hanya meringis, memejamkan mata, merasakan ada banyak hantaman yang menelusup batinnya, terkoyak. Kemudian membuka matanya kembali, retina berwarna hijaunya menatap nanar gadis malang penuh berontak di hadapannya. "Udah?" gumamnya dengan dagu bergetar. Attala menatapnya heran. Ia tersenyum miring sambil membuang pandangan.

"Apalagi ini?" tanya gadis pemberontak itu. Kembali memperhatikan wajah lain yang dipasang sang istri muda.

"Saya khawatir sama kamu, Attala." Kata-kata tersebut sontak membuat gadis di hadapannya tercengang, sedetik kemudian tertawa lebar, dipaksakan. "Apa pantas kamu menertawakan orang yang peduli sama kamu?" tanya Lena, mematikan tawa Attala dan berubah lagi menjadi bengis.

"Peduli? Lo peduli sama gue? Astaga!"

Tio dan papanya tampak turun dari mobil dan menyusul mereka. Melihat itu semua membuat Attala sedikit menggeser tatapannya ke belakang Lena. "Heu, rupanya kawanan para munafik sedang ingin menantang gue."

"Kak Atta, apa kabarnya?" Tio mendadak mendekati kakaknya itu dan nyaris menyentuh tangannya namun keburu dihempas.

"Ini apaan lagi?!"

"Atta kamu jangan memperlakukan Tio seperti itu. Dia juga adik kamu, tubuh kalian mengalirkan darah papa. Tio gak berdosa di sini. Cukup saya yang terhina di mata kamu! Saya memang jahat merebut papa kamu dari kamu dan mama kamu, saya sadar itu! Dan saya ingin meminta maaf pada kalian, meski tidak bisa merubah keadaan!" gerutu Lena berusaha mengamankan Tio di sampingnya.

"Sudah tau kata maaf lo itu gak akan merubah segalanya, terus kenapa lo harus minta maaf dan kenapa gue harus menerimanya." Attala membuang pandangannya ke hamparan rumput. Menunduk, merasakan semuanya tidak lagi utuh.

Runi berjalan menghampiri putri semata wayangnya dan meremas lembut sepasang bahu rapuh itu. "Attala, mama sudah ikhlas dengan semuanya, terlanjur, maafkan saja mereka, gak ada gunanya kamu menyimpan dendam, kamu lihat Tio, dia memang bukan siapa-siapa mama, tapi dia ... dia adikmu."

Attala meneteskan air mata. "Kadang Atta berfikir, untuk apa Tuhan menciptakan manusia setulus mama jika untuk disakiti? Atta terlahir untuk menjadi pelindung ma, Atta enggak sebaik mama, Atta gak pernah merelakan siapa pun menyakiti orang yang Atta sayang!" Attala bergegas pergi memasuki rumahnya.

"Maafkan saya, Mbak!" Tiba-tiba Lena bersimpuh di kaki Runi. Pemandangan itu tampak begitu dramatis di mata teman-teman Attala yang masih terbungkam salah tingkah, bingung harus bertindak seperti apa di tengah situasi seperti ini.

Runi mundur beberapa langkah karena merasa risih. "Cukup Lena! Ini gak ada gunanya. Cukup kamu pergi sejauh mungkin, enggak usah menampakkan diri di sini lagi! Attala itu cuman gadis kecil yang kehilangan kasih sayang papanya di saat dia membutuhkan figur ayah untuk menumpahkan segala rasa dan ceritanya." Runi bergegas pergi menyusul putri semata wayangnya, meninggalkan sang benalu hidup yang meratapi kebodohannya. Tio ikut merengek di sampingnya.

Papanya tidak berani melakukan apapun karena menyadari semua kesalahan yang ada pada dirinya dan keluarga kecil barunya. Sudah saatnya Runi dan Attala bergelora di atas rasa bersalah mereka. Sebagai suami, Ia hanya bisa merangkul Lena dan kembali membawanya pergi.

Bersambung ...

Never Too LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang