Beberapa bulan kemudian ...
"Attalaaa! Attala anaknya bundaaa, sini dong!"
Seperti mimpi Attala baru saja terbangun saat ruang di kepalanya menggema. Ternyata itu bukan mimpi, bundanya benar-benar memanggilnya. Ada apa? tumben banget pagi-pagi terdengar berisik dan dari nada suaranya, wanita itu seperti sedang menyimpan kebahagiaan. Attala buru-buru menjatuhkan kakinya ke lantai dan bangkit, berjalan keluar kamar.
"Ada apa sih bun? di mana?" teriaknya dalam keadaan mengucek mata. Kakinya terus melangkah hingga mendapatkan bayangan ibunya dari kaca jendela. Sebuah mobil pick up baru saja meluncur meninggalkan halaman rumah.
Attala yang segera keluar langsung bertanya, "Barusan siapa bun?" Kemudian melihat sebuah KLX di dekat rumah pohon. "Motor siapa ini?" tanyanya sambil celingukan mencari seseorang entah siapa.
"Taraaa ... itu hadiah buat kamu!" ungkap bundanya, membuat Attala reflek berpaling.
"Hadiah?" ulangnya ragu.
"Iya itu buat kamu, capek kan kalau goes sepeda mulu, biar kamu sekolahnya makin semangat!"
Sejenak Attala mencerna, memastikan dia tidak sedang mengigau. "Beneran ini buat Attala?" Dia menunjuk dirinya sendiri sambil kemudian melihat-lihat motornya. "Eh, Bunda dapat uang dari mana? usaha vermak Bunda kan gak semulus dulu." Mendadak gadis itu terdiam keheranan.
"Gak usah kamu pikirin uangnya dari mana. Lebih baik kamu harus makin semangat ya sekolahnya. Bunda gak enak kalau kamu selalu nebeng teman-temanmu."
"Gak, gak, Attala gak mau Bunda nanggung beban dengan cicilan ini motor, mending balikin lagi ke tokonya, Bun!"
Runi menghampiri putri semata wayangnya. "Attala, ini bukan cicilan, kamu gak perlu cemas, pokoknya pake ya. Ijinkan Bunda sekali ini aja, ngasih sesuatu yang bikin kamu bahagia."
Attala mengerucutkan bibir gelombangnya sambil kemudian merangkul wanita paling bermakna dalam hidupnya itu, nyaris menangis. "Bundaaa! maafin Attala ya selalu bikin Bunda cemas selama ini. Attala baik-baik aja kok. Attala cuman gak mau melihat Bunda sedih. Attala janji bakal bahagia dan makin semangat sekolah."
"Iya sayang, Bunda selalu doakan kamu." Dengan senyuman, Runi membelai rambut yang semakin panjang itu dengan tangannya.
Attala melepas pelukannya, berganti bingung. "Tapi, Attala belum pernah pake motor sebelumnya, Bun, Attala juga bingung harus minta ajarin ke siapa?"
"Kamu kan jago naik sepeda, itu basic yang bagus buat belajar mengendarai motor. Nanti kamu minta bantuan Erik aja ya."
***
Attala nekad membawa motor barunya itu seorang diri untuk menemui Erik. Kebetulan jarak dari rumahnya ke bengkel cowok itu, melalui jalur yang menurun, jadi Attala tidak perlu mengandalkan mesin, cukup menggelindingkan saja sambil sedikit-sedikit di-rem. Awalnya berjalan lancar, tapi begitu bengkel semakin dekat, ban motornya tidak sengaja menggeleng sudut bebatuan yang membuatnya menjadi oleng, tidak terkendali dan berakhir dengan jatuh terpeleset beberapa meter sebelum halaman depan bengkel.
Semua orang yang ada di tempat itu kaget mendengar suara teriakan yang diakhiri dentuman keras di rerumputan tepi jalan. Sakitnya tidak seberapa, tapi malunya itu loh. Attala buru-buru bangkit sebelum orang-orang yang berdiri itu terlanjur berlari ke arahnya.
"Gue gak apa-apa kok," katanya seakan menjawab pertanyaan yang ada di pikiran mereka. Kemudian air wajahnya berubah tatkala menyadari keberadaan Elang di sana.
Erik menghampirinya untuk membantu membawakan motornya dan memarkirkannya dengan benar. Attala berjalan agak pincang menuju bengkel dengan perasaan gugup. Lalu rekan-rekan montir Erik memberinya tempat duduk.
"Elo, Ta? mana yang sakit?" tanya Elang berusaha bersikap seperti biasanya.
"Enggak kok, cuman kebentur aja dikit, nanti juga sembuh sendiri." Attala bersikap yang membuat cowok itu menyimpulkan bahwa dia benar-benar menjaga jarak.
"Lo kenapa si, Ta? pasti sambil ngomel-ngomel kan ya?" tanya Erik.
"Enggak! gue mau minta bantuan lo buat ajarin motor hehe," sanggah Attala memberi penjelasan.
"Jadi barusan itu lo apa?" Erik menatap keheranan. Pikirannya mulai menduga-duga sesuatu.
"Gue nekat gelindingin itu motor."
"Astagfirullah, Ta, Ta! gila lu ya, udah gue duga." Montir-montir lain juga tampak menggelengkan kepalanya.
"Itu bahaya, Ta, gimana kalau lo celaka lebih parah? baru aja sembuh total kan?!" protes Elang masih menunjukkan kepeduliannya.
"Gak apa-apa kok, Lang, gue udah biasa jatuh dan terluka, kan?" sahut Attala menatap serius cowok di hadapannya. Mereka terjebak ke dalam perasaan, kemudian Attala segera mengalihkan pandangan. Mengapa dialog mereka jadi lagu lama di masa lalu?
"Ntar deh tunggu kerjaan gue kelar, masih banyak mobil sama motor yang harus diservis. Gapapa kan?" Erik meminta persetujuan.
"Iya gak apa-apa, sesantai elunya aja Bang, kalo perlu gue bantuin!" Attala bangkit dari duduknya.
"Hah, bantuin apa lo?" tanya Elang.
"Apa aja deh, mungkin bisa buat jadi asisten montir ngambilin ini-itu, iya gak?" Sepasang alis tebal Attala terangkat.
Erik baru saja ingin berkata tidak, tapi montir-montirnya serempak menyahut, "Boleh, Ta, boleh banget!"
"Huuu, itu mah maunya elu aja dilayanin cewek cantik!"
"Sesekali liat yang bening-bening gapapa kali, Rik, bosen liat muka cemong oli mulu, ya gak?!" ujar salah satu montir berambut panjang sebahu sambil meraup wajah dekil cowok berambut emo yang kelihatan alay.
"Kalau gitu, gue pamit pergi ya Bang, kira-kira beresnya kapan nih?" kata Elang seakan tidak betah berlama-lama di sana.
Erik menggaruk kepalanya yang sungguhan gatal. "Berhubung ngantri panjang dan besok kayaknya."
"Oke deh gampang, ntar hubungin gue aja ya." Kemudian melirik Attala. "Ta, gue duluan ya."
Attala mengangguki tapi sebelumnya Ia ingin mengatakan sesuatu dan cowok itu paham. Mereka mengobrol di pinggir jalan. "Ujian lo lancar kan? bentar lagi lulus, semoga bisa masuk ke kampus favorit lo ya." Attala tersenyum lebar sambil menepuk bahu cowok itu. Elang kembali menyimpulkan, pemikirannya tadi soal cewek itu yang berusaha jaga jarak, ternyata keliru.
"Thanks, Ta, jaga baik-baik diri lo juga ya." Tangan Elang terangkat, mengusap puncak kepala Attala sekilas. Cewek itu benar-benar tidak menduganya. Tetapi cara cowok itu menatapnya, Attala merasa seolah sedang menerima salam perpisahan dari seseorang yang sangat dekat dan kemudian akan sulit bahkan untuk menjangkau bahunya saja.
Elang bergegas meninggalkan Attala. Cewek itu berbalik menatap kepergiaannya yang baru saja dijemput oleh Jack dengan motornya. Cowok itu sempat menekan klakson sebagai sapaan. Attala tersenyum sinis. Karena bukan hanya hatinya saja yang menjadi korban cinta dari persahabatan, tetapi juga Sasa.
"Mesra banget, kenapa kalian gak pacaran aja sih?!"
Attala kaget diperhatikan sepupunya yang sejak tadi menyimak dari kejauhan.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Too Late
Teen FictionJangankan udara, suatu saat nanti namaku akan berhenti hilir mudik ke ruang dadamu. Belom direvisi.