Part 35

40 4 0
                                    


Runi berjalan menuju pintu depan sambil berteriak memperingati pemanggil dari luar agar menunggu sebentar. Pintu dibukakannya, tampak wajah putrinya yang tak berekspresi masuk begitu saja seolah tak menyadari keberadaannya. Wanita itu langsung menutup pintu dan kembali ke dalam sambil memerhatikan cara berjalan Attala yang tidak biasanya, seolah mengambang di udara, langkahnya yang gaduh tidak menghiasi lantai lagi.

"Kenapa lagi anak itu? apa mungkin dimarahin Mbak Kasih?" gumamnya dibuat jenuh. Kali ini tidak usah ikut memikirkannya. Sesekali biarkan anak itu mengurusi masalahnya sendiri sebagai proses pendewasaan.

Sementara itu, Elang juga tampak merenung sendiri di bawah tatapan maminya yang sibuk membereskan meja bekas jamuan. berulang kali bolak-balik dari satu ruangan ke ruangan lainnya membuat Kasih akhirnya menegur anak, "Kamu nyesel mutusin Attala? bukan mami loh ya yang nyuruh, kamu sendiri mungkin yang ngerasain."

Elang tersentak antara kaget dan juga malu. "Mami tadi nguping?"

"Memangnya rumah ini sebesar istana negara sampe mami gak bisa nguping? semua temenmu juga tau kali, anjing dan kucingmu itu juga tau."

Bujangan itu mengusap wajahnya gusar. "Elang gak nyesel mi. Elang cuman mikir apa yang menjadi keputusan itu udah bener atau enggak? Elang gak mau nyakitin anak orang lagi."

"Kamu segitu aja pake kepikiran, mungkin anak itu berapa kali jahatin kamu, baru nyeselnya sekarang."

"Mami seneng kita jauhan?" tanya Elang giliran memerhatikan pergerakan maminya.

"Bukan itu, mami tau kalian sahabatan sejak kecil kan, mami juga gak keberatan kalau kalian ujungnya saling suka, tapi mami menyayangkan sikap anak itu yang ternyata bukan tomboy tampilan aja, tapi kelakuannya juga kasar. Sekarang, kalau dirasa kalian udah gak cocok, ya udah putus aja, temenan seperti biasa aja lagi."

Cowok setinggi 170 CM itu berdiri dari duduknya sambil tersenyum miring, "Dipikir itu mudah, dasar mami." Kemudian melangkah menuju tangga, membiarkan maminya terus mengoceh di dapur.

Setibanya di lantai atas, Elang tampak tidak terlalu terkejut saat Marin adiknya ketahuan sedang menguping. Melihat ekspressi abangnya yang jauh dari kata marah, Marin mengekor karena banyak pertanyaan.

"Jadi bener, kalian putus? aku gak salah denger, Bang?"

Tanpa menoleh abangnya menyahut, "Iya dek."

"Apa yang kita khawatirkan benar juga."

Elang berbalik badan dan membuat adiknya terkejut seketika. "Khawatir apa?"

"Maksudnya, akhir-akhir ini kita semua emang ngerasa kalau hubungan kalian kayaknya lebih cocok jadi sahabat lagi."

Elang membuang napas gusar. "Gue juga gak tau, dek, setelah banyak yang terjadi, apa kita masih bisa dikatakan sahabat lagi atau enggak."

"Marin berharap semuanya baik-baik aja ya, Bang. Kak Attala memang keterlaluan, tapi melihat kejujurannya tadi, aku juga jadi mikirin gimana perasaannya sekarang? meski kelihatannya kayak gak cinta sama Abang, tapi kita gak pernah tahu kan kedalaman hati seseorang."

Tangan Elang meraih puncak kepala adiknya. "Dek, lo makin dewasa sekarang, betul, semoga semuanya baik-baik aja ya, karena semakin ke sini Abang sebagai cowok juga punya rasa lelah yang bikin bingung sendiri harus berbuat apa, jadi lebih baik ini semua diakhiri dulu," paparnya kemudian melangkah menuju kamar di sudut ruangan.

Bersambung ...

Never Too LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang