Runi mengecek deretan kontak yang ada di layar ponselnya. Satu persatu nama teman anaknya dipanggil. Gulir bola matanya resah menilik jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Telepon tersambung.
"Assalammualaikum, Tante Runi?" Terdengar sapaan dari seberang.
"Jack, kamu lagi sama Atta, kan?" tanya Runi penuh harap.
"Enggak Tan, bahkan beberapa hari ini Atta memusuhi kami semua." Jack berkata ragu, antara apakah yang dilontarkannya itu sebuah pengaduan akan tetapi ... sudah waktunya keadaan ini diketahui Mamanya Attala.
Mendengar itu Runi semakin dibuat panik. "Ada apa dengan kalian? Terus Atta sama siapa dong? Bentar lagi hari mulai gelap."
"Mungkin lagi sama Kiki," terka Jack.
"Tante gak punya kontaknya, gimana ini? Tante khawatir Atta kenapa-kenapa, toh dia gak mungkin juga nyamperin Papanya." Runi tampak mondar-mandir di antara meja dan kursi ruang depan rumahnya.
"Jack juga gak punya kontaknya, Tan, kalau gitu biar Jack dan teman-teman yang lain bantu nyari Atta ya, Tante tenang, Atta pasti baik-baik aja."
Panggilan berakhir. Di kamarnya, Jack mengumpat sendiri, "Itu anak maunya apa sih?!"
*
"Atta hilang?!" pekik mereka saat Jack menghubunginya lewat grup panggilan video. Sebelumnya satu persatu di antara mereka ditanyai keberadaan Attala oleh Runi, tapi mereka tidak pernah berpikiran bahwa gadis itu tidak bisa dideteksi keberadaannya.
"Dia nyamperin Papanya kali," sanggah Elang. Dia tampak sedang berduaan dengan Marin adiknya di ruang keluarga.
"Gak mungkin, dia itu benci banget sama Papanya, pokoknya dia lagi muak sama semua cowok di planet bumi ini!" gerutu Sasa.
"Ya kali aja buat ngelabrak, kan?" Elang tersenyum miring.
"Bisa-bisanya lo ya becanda, sementara temen kita lagi depresi gitu kepikiran elo!"
Semua diam. Saling menatap. Memasang wajah lebih serius.
"Siapa yang tau rumahnya Kiki? Temenin gue yuk!" Jack mencairkan suasana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Too Late
Teen FictionJangankan udara, suatu saat nanti namaku akan berhenti hilir mudik ke ruang dadamu. Belom direvisi.