Part 31

71 1 0
                                    

"Sayang, abang kamu mau ke mana? buru-buru banget."

Marin menoleh ke belakang dan mendapati kemunculan Kasih mamanya. "Biasa dia nengok Kak Atta pacarnya."

"Oh sekarang mereka pacaran, kok mama gak dikasih tau sih?"

"Mama tahu sendiri kan, kalo abang itu ngerasa geli kalau apa-apa diceritain ke mama sama papa."

"Ayo sayang, papa udah nunggu kita di meja makan."

Sepasang mama dan anak itu berjalan beriringan. Tangan Kasih merangkul bahu putri bungsunya yang sudah remaja tetapi selalu merasa jika dia masih gadis kecilnya. Mereka masuk melewati ruang tamu, keluarga hingga tiba di dapur. Mahawira yang sudah duduk sejak tadi kelihatan celingukan.

"Loh, Elang mana, Ma? masih main mobil dia? gak tahu waktu banget."

"Elang nengok Attala, Pa, eh Pa, tahu gak masa katanya mereka udah pacaran aja?" jawab Kasih melanjutkan pembicaraan sambil menuangkan nasi ke piring suaminya.

"Ya, gak aneh, cinta kadang muncul karena terlalu sering bertemu."

"Terus kenapa dulu Papa naksir Mama, padahal cees Papa yang cengeng itu naksir berat tahu, sampe Mama dimusuhin!"

"Ya, itu lain cerita, Ma." Mereka tertawa bersama.

"Oh iya Pa, setelah makan, gimana kalau kita lihat keadaan Atta, sejak di rumah sakit belum nengok pan."

"Setuju, Ma!" seru Marin sambil mengaduk jus jeruknya.

"Oke, tapi kamu jangan minum jus jeruk doang, banyakin air putih juga, tahu sendiri kalau sakit ntar gak bisa main."

Marin tersenyum patuh. "Iya, Pa."

***

"Kamu ngapain sih ke sini? udah dibilang kan gue mau fokus latihan jalan!"

Elang berusaha siaga di depan cewek galak yang sedang tertatih itu. "Harusnya lo seneng lah karena pacar lo yang paling ganteng dan keren ini mau suport lo, jagain lo, bantuin lo!"

Bola mata bundar Attala memutar sempurna. "Dih narsis banget sih, awas jangan ngalangin jalan gue ngapa!" Tangan jenjangnya menyingkirkan bahu Elang tanpa peduli cowok itu tersinggung atau tidak.

"Attala?" suara panggilan itu berasal dari halaman depan teras tempat mereka berdiri. Seorang ibu yang selalu kelihatan awet muda itu menatapnya kaget. "Kenapa kamu kasar sama Elang? apa anak tante punya salah?"

Attala menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum hambar. "Enggak kok tante, Attala cuman lagi pengen sendiri aja."

"Jangan begitu dong, Attala, gimanapun kamu harus menghargai Elang yang bela-belain ke sini karena peduli sama kamu, tapi kamunya malah perlakuin Elang kayak gini." Kasih berusaha berbicara tegas tanpa menunjukkan emosinya.

"Gak apa-apa kok Ma, lagi galau aja dia kangen sama aku jadi gitu!" sela Elang kelihatan terpaksa bilang begitu.

Mendengar keributan di luar, Rumi yang sedang menyajikan makanan pun langsung keluar dan sudah terbayang apa yang terjadi. Senyumnya merekah menyambut mereka dan langsung menghampirinya. "Mbak Kasih? Mas Wira? Marin? silakan duduk," katanya begitu ramah dan terbuka.

Mereka duduk. Rumi langsung berbicara, "Saya paham Mbak, Mas, Attala terkadang memang kasar seperti itu. Saya sudah berusaha mendidiknya untuk menjadi perempuan yang manis seperti Marin, tapi hehe tahu sendiri kan Mbak, Mas."

"Gak apa-apa, Mbak, kami ke sini sengaja ingin melihat kondisi Attala karena kemarin-kemarin kamis terlalu sibuk jadi belum sempat menjenguknya." Mahawira berusaha memaklumi sekaligus agar suasana tidak terlalu tegang.

Wajah cantik peranakan Kasih belum sepenuhnya memaklumi semua ini tapi tidak baik jika masalah anak dibawa ke ranah hubungan keluarga yang sudah baik sejak belasan tahun. "Benar apa kata Mas Wira. Mbak sendiri apa kabar? lama kita gak ngeteh bareng."

"Kabarku baik Mbak, dan saya yakin kalian juga selalu baik-baik saja. Elang sering cerita sama saya."

Attala tiba-tiba melintas dengan langkahnya yang masih terpincang, menatap mereka sejenak. "Terimakasih atas kebaikan Om dan Tante, Attala pamit ke dalam dulu," ucapnya sambil merunduk rengkuh.

Dari semburat energi yang tergambar di wajahnya, Kasih tampak kurang respek dengan sikap gadis tomboy itu, meski mengerti bahwa anak itu berusaha menghormatinya.

"Atta ... masa kamu ninggalin tamu sih, Nak?" panggilnya kembali berpaling pada tamu. "Maaf ya Mas, Mbak, dia memang begitu, saya jadi gak enak." Wanita berwajah eksotis itu hanya bisa menunduk malu karena tidak tahu lagi harus meletakkan perangai merahnya di mana.

"Tidak apa-apa Mbak, mungkin Attala sedang tidak enak badan." Mahawira kemudian kaget melihat istrinya sudah berdiri saja.

"Mbak, kami pamit pulang dulu ya."

Rumi ikut berdiri dan gemuruh dalam hatinya semakin kacau. "Kok buru-buru sih, Mbak? sekali lagi saya minta maaf ya. Terimakasih banyak sudah mau mampir ke sini dan menjenguk Attala."

"Saya ada urusan di rumah, Mbak, lain kali giliran mampir ke rumah saya ya."

Rumi mengantarkan mereka hingga ke pagar halaman rumahnya. Ketika sudah benar-benar pergi, Rumi berbalik ke arah rumahnya, menyimpan sekelumit kata-kata yang segera ingin menghujaninya. Anak itu benar-benar keterlaluan sampai-sampai tadi Elang ditarik paksa ibunya untuk ikut pulang.

Bersambung ...

Never Too LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang