Dari tepi jalan, Attala mendapati pintu rumahnya sudah terbuka tidak full. Ada sepasang sendal lain di teras. Suara-suara bising terdengar samar hingga keluar. Sampai teman-temannya yang lain ikut curiga.
"Rumah Kak Atta rame banget, lagi pada kumpul keluarga ya?" tanya Marin celingukan.
Attala ragu dengan pendapat temannya itu, dia sadar sedang ada yang tidak beres di dalam rumahnya. Dia harus segera membiarkan teman-temannya pergi sebelum terlalu kepo.
"Sampe sini aja ya, gaes. Kalian pasti capek kan jadi langsung pulang aja."
"Biar gue gendong sampe rumah, kaki lo kan masih sakit parah gitu, gue gak mau lo kenapa-kenapa." Elang bersiap membuka pintu.
"Ciyeee yang tukang khawatir mau ngasih servis nih!" celetuk Jack berkelakar.
"Gak usah seriusan gak usah! Gue bisa sendiri kok!" Attala segera keluar pada saat Elang membukakan pintunya dari luar. Cewek itu turun dengan langkah pincang dan tak sengaja jatuh ke pelukan Elang dan spontan merangkul bahunya.
Mereka bertatapan lagi selama beberapa detik, sebelum Elang membisikkan sesuatu di telinga Attala, "Jangan di sini."
Reflek Attala meninju bahu cowok itu dengan wajah kikuk dan sok jutek. "Apaan sih!" desisnya berusaha menjaga jarak. Dia memaksakan diri untuk berjalan pincang meski sebenarnya terasa sakit banget.
"Lo yakin?" Elang berusaha menyambar bahu cewek itu tapi segera mendapat tepisan.
"Kok lo nganggap gue lemah, rapuh, payah gitu sih?" Attala balik menyemprotnya.
"Oiya-iya, elu kan cewek setengah cowok jadi kuat!" Elang menepuk-nepuk bahu cewek itu sekilas sebelum kembali masuk mobilnya. "Oy kita cabut aja dari pada dibogem mentah sama dia!"
Marin dan Sasa menyembul dari kaca jendela untuk dadah-dadah. Attala balas melambaikan tangan. Mobil mereka merangkak maju meninggalkan pintu masuk pagar rumahnya.
Attala berjalan cepat meski terpincang-pincang. Suara-suara gaduh itu semakin terdengar. Sejak tadi kakinya dibiarkan telanjang setelah anggota Palang Merah mencopot sepatunya.
"Gak usah coba-coba merebut papanya Tio lagi, Mbak! Apalagi sampe nyuruh-nyuruh dia buat jemput anak mbak yang gembel itu!"
Jantung Attala kembali memburu. Kali ini bukan menghisap deru napas cowok yang tanpa sadar telah membuatnya jatuh cinta sejak lama. Tapi karena telinganya mendengar hujatan dari suara yang sangat dibencinya.
"Mama gue bukan pengemis ya!" teriak Attala sesampainya di dalam rumah. Kedua istri korban poligami itu sedang bertengkar hebat di ruang keluarga.
Mereka menatap ke arah sumber suara. Sang mama menatap kaget sekaligus cemas terhadap Attala. Lalu perempuan muda itu tampak lebih beringas dengan lensa mata berwarna birunya.
"Papa datang ke rumah ini tanpa diundang dan tanpa diharapkan! Harusnya lo sadar kalo papa nganggap lu sebagai persinggahan rasa bosan!" teriak Attala. Sedetik kemudian tubuhnya tumbang didorong oleh Lena.
Attala meringis kesakitan. Kali ini dia tidak bisa menyembunyikan itu. Sang mama menyingkirkan Lena dan berlutut mengangkat anaknya ke sofa. "Sayang kaki kamu kenapa, Nak?" tanyanya sambil mengangkat kaki anaknya ke atas meja. Lalu berdiri menghadapi perempuan muda tadi.
"Cepat kamu pergi sekarang juga! Sebelum saya membalaskan perlakuan kamu terhadap anak saya! Pergi!" Sang mama dengan berani mendorong perempuan itu keluar dari rumahnya.
"Tanpa Mbak usir saya, saya tidak sudi lama-lama berada di rumah sialan ini!" Lena pergi mengangkat kaki seketika itu juga.
♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Too Late
Novela JuvenilJangankan udara, suatu saat nanti namaku akan berhenti hilir mudik ke ruang dadamu. Belom direvisi.