Hallo temen-temen, balik lagi sama author decans (temen-temenku biasanya manggil gitu, karena katanya aku gemes nan cantik) oke lupakan jika itu membuat kalian muntah daun katuk.
Kali ini aku mau lanjutin yang tadinya mau ditamatin, tapi karena aku sayang kalian dan request dari satu orang yang pengen dilanjut, jir kesian gue wkwk siapa tau habis lanjut ini jadi satu juta orang yang request. Aamiin. Aminin aja dulu, soal masuk akal atau enggaknya mah belakangan.
***
Rumi bisa kembali tersenyum melihat putri semata wayangnya yang bersemangat untuk sembuh, meski disusul rasa cemas karena gadis itu begitu sembrono. Saking ingin cepat lancar berjalan sampai-sampai tidak peduli mau nabrak tembok atau terguling ke sofa sekalipun. Bawaannya pengen ngusir kursi roda yang selalu didorong ibunya agar siapa tau dia kelelahan langsung duduk di sana.
"Bun, Atta kan udah bilang, berhenti khawatirin Atta segitunya, dan singkirin benda rese itu jauh-jauh!" pintanya maksa.
"Jangan terlalu memaksa, Ta, kalau kamu jatuh terus makin parah gimana? Bunda senang kamu semangat seperti ini tapi jangan berlebihan."
Sepasang tangan Attala hinggap di pundak wanita yang wajahnya mulai menunjukkan garis-garis halus. Ia menatapnya lekat seolah-olah apa yang di hadapannya saat ini manusia paling penting yang harus mengetahui satu hal. "Dengerin Attala, Bun, Attala akan selalu baik-baik aja apapun yang terjadi. Dan Attala tau kalau doa Bunda itu yang paling penting saat ini. Kalau Attala duduk di kursi roda terus, siapa yang akan jagain Bunda?"
Sepasang bola mata opal milik Rumi mengerjap pelan disertai embun yang menetes di sana. Attala segera tersenyum agar wanita paling berharga dalam hidupnya itu kini juga ikut tersenyum, jauh lebih lebar.
"Anak Bunda sudah semakin dewasa, Bunda bikinin dulu makanan kesukaan kamu ya, biar makin bertenaga," ucapnya sambil mengacungkan kepalan tangan. Kemudian mereka berbicara kompak, "Keripik kentang super pedas!"
***
Marin mendekati abangnya yang lagi manasin mesin jeep kesayangannya di halaman rumah. Cowok itu kelihatan fokus dengan hobinya itu. Seperti tidak ada beban pikiran saat mengerjakannya. Namun pertanyaan mencuat di benak gadis polos berambut lebat indah itu. Apa iya sebegitu have fun-nya seorang cowok yang jelas-jelas pacarnya lagi kesakitan. Ah bisa saja lagi berusaha menghadapi segala sesuatunya dengan tenang.
"Bang!" sapanya.
Tanpa menoleh Elang menyahut asal, "Kenapa? nunggu Kiki ngajak lo baca komik bareng?"
"Nggak!"
"Terus?"
"Gak keterusan, Bang.""Maksud gue, terus apalagi dong yang mau lo omongin?"
"Abang gak ke rumah Kak Atta buat ngecekin baik-baik aja apa nggak?"
"Eh iya gue baru keingetan." Elang menyambar ponsel miliknya di dasbor mobil dan mengeceknya. "Gak ada panggilan atau chat dari Atta. Itu cewek gak romantis banget sih?!"
"Kalian sebenernya saling sayang gak sih?" tanya Marin yang kini duduk di bagian depan mobil menatap abangnya yang duduk di balik kaca.
"Lo ngerasain juga ya? Gue lama-lama gak paham juga sih."
"Gak cuman aku, tapi juga Kak Ranya dan Kak Sasa merasa kalian tuh terlalu kaku untuk menjadi sepasang kekasih."
Elang langsung lompat keluar. Marin langsung menutup mulutnya merasa apa yang baru saja dikatakannya telah lancang. "Maaf, Bang."
Elang hanya menatapnya, kemudian menggunakan gerakan dagunya untuk meminta adiknya itu turun. Marin mematung menatap kepergiannya.
"Apapun yang terjadi, semoga persahabatan kita semua tetap abadi."
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Too Late
Novela JuvenilJangankan udara, suatu saat nanti namaku akan berhenti hilir mudik ke ruang dadamu. Belom direvisi.