Part 24

179 35 0
                                    

Huruf bercetak miring (I) adalah flashback.

“Kepindahan dinas. Aku akan kembali ke Seoul dalam seminggu ini, meninggalkan London yang sudah selama belasan tahun menjadi tempatku berkerja.” Tutur pria itu seraya berjalan menuju kursi kebanggaannya sambil membawa sebuah map berwarna kuning.

Ia mendudukkan diri di kursi lalu menatap laki-laki yang juga duduk berseberangan  dengannya. Dokter bername tag Jiyong itu mengulum sebuah senyuman lalu menunjukkan sebuah hasil cek kesehatan pada pasiennya tadi.

“Kim Jongin,” Kai mendongak, yang semula menunduk kini menatap tepat pada manik dokter pribadinya itu dengan raut wajah yang agak sedikit resah. Namun upaya menenangkan, Jiyong menepuk bahu Kai pelan, “aku tidak akan kembali ke London, jadi kumohon jaga betul kesehatanmu. Aku akan sangat sedih jika kau sakit lagi. Kita sudah kenal lama, aku juga menganggapmu sama seperti putraku sendiri.”

Kai mengangguk lalu ikut tersenyum. Ada rasa bahagia terselip dalam hatinya melihat dokter Jiyong yang bisa kembali ke negaranya sendiri setelah belasan tahun tak pulang, namun ada sedikit rasa sedih, mengapa semua orang yang ia sayangi harus pergi?

“Dokter, terima kasih.” Sahut Kai.

“Oh ya, disini tertera sebuah nama yang akan menggantikanku untuk menangani sakitmu.” Jiyong menunjuk sebuah nama dalam map yang kini tengah ia hadapkan pada Kai. “Kudengar-dengar beliau juga berasal dari Korea, tapi entahlah, aku hanya dengar-dengar saja.” Laki-laki itu sedikit terkekeh, membuat Kai ikut mengulum senyum sedikit meski ia tahan.

“Clarissa Kim,” ucap Kai, membaca sebuah nama yang tertera.

“Wah, marga kalian sama ya..”

• • •

Langkah laki-laki itu memelan, sejenak ingin menikmati dinginnya angin malam yang merasuk dalam sweater marun yang tengah ia kenakan. Kai menundukkan kepalanya, menatap kakinya yang sudah lelah berjalan seharian ini. Hingga malam ini tiba setelah tempat terakhir yang ia kunjungi—rumah sakit.

Sisi jalan yang Kai tapakki nampak sepi seperti suasana hatinya saat ini. Entah kekosongan apa yang sudah hilang dari sana, namun rasanya laki-laki iku ingin menyerah. Ingin pergi sejauh mungkin sampai ia melupakan semua beban hidupnya yang tak ada satupun orang tahu.

Kai melangkah lagi. Merajut langkahnya menuju sebuah pintu dalam rumahnya yang masih tertutup rapat. Sejenak Kai menilik jam yang melingkar di pegelangan tangannya, menunjukkan pukul sembalian malam lebih. Namun tak urung, laki-laki itu tetap saja menarik gagang pintu hingga terbuka.

Di dalam, suasana aneh tercipta lagi. Ruangan yang terang namun atensi Kai teralihkan pada jendela yang tebuka di pojok ruangan. Satu kesimpulan ia ambil bahwasanya ibunya belum tidur di waktu selarut ini.

“Ibu belum tidur? Ini sudah malam.” Kai mendekatinya.

Soyeon menoleh pada sumber suara. Seketika ia mengulum senyuman ketika mendapati Kai di belakangnya tengah berjalan menuju dirinya. Hingga ia sedikit menggeser tempatnya berdiri untuk membiarkan Kai menikmati apa yang sedang ia lihat sejak tadi. Pemandangan London di malam hari.

“Ibu hanya menandatangani beberapa berkas kantor tadi, tapi tidak lekas tidur. Kau sendiri?”

Kai merengkuh ibunya untuk membantu menghalau angin yang berhembus menghempas kehangantan tubuh ibunya dari belakang. Laki-laki itu berdeham lalu menggoyangkan sedikit pelukannya pada sang ibu. Soyeon tersenyum, menyadari ada sedikit kebahagiaan yang anaknya dapat hari ini.

Everytime [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang