Sinar matahari yang menyinari kasurku melalui jendela kamar membangunkanku dari tidur yang tidak nyenyak sama sekali semalam. Jam di dinding menunjukkan pukul 06.30. Aku menghela napas sambil menatap langit-langit kamar sebelum membuat secangkir kopi yang super pahit untuk menghilangkan rasa penat dikepalaku.
Apa yang harus kulakukan untuk memperbaikinya? Bagaimana jika kemarin malam adalah kali terakhir aku berbicara dengannya? Bagimana jika hubungan kami berakhir akibat masalah sepele seperti itu?
Aku tidak bisa menjawab semua pertanyaan itu. Aku telah berpikir dan mengulangi kejadian kemarin dari setiap segi pandang dan menganalisisnya. Kurasa aku memang salah karena aku tidak mengingat janji dinner anniversary kami. Kekasih macam apa aku? Tetapi tidak bisakah Andre mengerti bahwa aku sudah terlalu lelah? Dia bahkan tidak mencoba untuk mendengarkan alasan dan kemauanku.
Aku tidak tau lagi harus bagaimana. Akhirnya aku duduk bersila, mengusap-ngusap wajahku, lalu memutuskan untuk memejamkan mataku selama 5 menit ke depan. Baru saja aku hendak bermimpi, mataku spontan terbuka dan melotot ketika melihat jam yang menunjukkan pukul 07.30.
Sial.
Aku terlambat kerja.
Aku langsung menyambar handuk dan meluncur ke kamar mandi dengan kecepatan tidak terhitung. Aku menyalakan shower, mengusap sabun ke badanku, kemudian membilasnya asal.
Sepertinya masih ada sisa sabun di bokongku namun aku tetap mengeringkan badan dan langsung memakai baju, mengambil kunci, meluncur ke mobil, meninggalkan Sera yang sedang santai minum kopi di dapur sambil menonton TV.
Mengapa aku tidak mengambil jurusan psikologi saja bersamanya 7 tahun yang lalu?
>>>>>
Layar ponselku masih bergeming. Tidak ada notifikasi pesan dari Andre satu pun. Dia bahkan tidak menyapaku selamat pagi seperti biasanya. Ponselku sepi seperti kuburan. Aku terus menatapnya sambil menyeruput kopiku yang telah kuisi ulang 3 kali dalam 2 jam terakhir.
Hanya sekadar penasaran, adakah pasien yang berobat ke rumah sakit akibat overdosis kopi? Karena sepertinya aku akan menjadi pasien itu sebentar lagi. Aku meletakkan gelas kopiku, menjauhkannya dari hadapanku.
"Pagi Ellie." sapa Christian menyadarkanku dari lamunanku. Ia hendak menyodorkanku segelas kopi namun ia cukup pintar untuk mengetahui keadaanku yang sedang 'overdosis kopi' saat ini. Lingkar hitam di bawah mataku dapat menunjukkannya.
Christian menaikkan bingkai kacamata di hidungnya kemudian tersenyum. "Hari yang berat?" tanyanya, menyandarkan pinggangnya di meja kantor raksasaku yang terbuat dari kaca dan berbentuk setengah lingkaran.
Sudah kubilang, gedung ini pada dasarnya adalah kaca.
Aku mengangguk singkat dan memutuskan untuk tidak mengingat kejadian kemarin malam. "Ya, bisa dibilang begitu."
Joline memasukki kantorku (menyeret kakinya dengan sifat tidak niat bekerja dan tatapan 'astaga bolehkah aku pulang sekarang') sambil membawa setumpuk berkas di dadanya.
Ia tersentak saat melihat wajahku. "Astaga. Kamu kena sakit apa?? Kamu nggak apa- apa?? Perlu aku bawa ke rumah sakit??" tanyanya dengan gaya berlebihan yang disengaja. Kemudian tawanya meledak, memenuhi kantorku yang besar dan tembus pandang.
Aku tersenyum, menatapnya heran. "Selamat pagi juga." kataku.
Joline meletakkan setumpuk berkas itu di hadapanku, menimbulkan bunyi berdebum. Aku menatap berkas itu dengan pasrah lalu mengembuskan napas.
"Selamat pagi kawan-kawan!!" Vanessa memasukki kantorku (melompat girang lebih tepatnya). Formal Dress yang membentuk tubuh langsingnya memancarkan warna merah muda yang elegan, mewarnai kantorku yang hampir semua berwarna hitam-putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skyscraper Desire
RomanceMeraih kesuksesan dalam karir tidaklah sulit untuk diraih Ellie dalam usia mudanya. Segala yang dimiliki Ellie di dalam kehidupannya nyaris lengkap dan sempurna. Namun, ruangan Ellie yang berseberangan dengan atasannya membuat semuanya hancur berant...