Aku mengeratkan mantelku saat angin bertiup, mataku menyipit saat matahari bersinar, bisingnya kendaraan yang lalu lalang di jalan raya membuatku meringis dan mempercepat langkahku. Aku tidak tau apa yang akan terjadi saat aku sampai di Café Brown. Aku berharap dapat menemui Andre di sana.
Rasa takutku tidak malu-malu untuk muncul daritadi. Napasku terus memburu dan pikiranku terus membayangkan skenario-skenario apabila aku kehilangan Andre hari ini. Apakah aku siap menghadapinya? Tentu saja tidak.
Namun, aku harus menghadapinya cepat atau lambat. Aku tidak bisa terus menunggu. Aku tidak bisa terus menebak-nebak. Aku harus menghadapi realita. Setidaknya itu yang Sera katakan. Aku hanya ingin pulang dan bersembunyi dari semua masalah dan tanggung jawabku.
Aku mendorong pintu lalu melepas mantelku. Pandanganku menyusuri ruangan itu. Aku dapat melihat 1-2 orang sedang duduk di depan counter bar dan berbincang dengan bartender. Sepertinya mereka bukan pelanggan.
Ruangan itu sunyi. Aku mendengar suara dentingan gelas yang sedang disusun pelayan di meja, pengeras suara di dinding tidak mengeluarkan musik yang biasanya berdentum saat malam hari.
Dengan spontan, aku menghampiri belakang panggung ketika mendengar alunan gitar dan keyboard. Aku membuka tirai panggung dan menemukan Andre dan Richard. Andre tersentak, menatapku dengan rahang menegang. Ia berhenti memainkan gitar di pangkuannya. Richard melambaikan tangannya dan menunjukkan seulas senyuman di balik keyboard-nya.
Aku berusaha untuk mengatur napasku yang memburu. "Andre." ucapku seraya mendekatinya. "Bisakah kita bicara empat mata?" tanyaku, menatap Richard sekilas.
Andre kelihatan ragu, memandang sepatunya dengan mulut terbuka seperti kesusahan membuat keputusan, lalu menatapku sambil memegang tengkuk lehernya. "Oke." Ia mengisyaratkan Richard untuk pergi.
Richard bangkit dan memegang bahuku saat melewatiku.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya.
Aku mengambil kursi Richard lalu duduk menghadap Andre. "Waktu itu kamu bilang ingin menyelesaikan masalah ini sekarang." Aku bergidik. "Di sinilah aku."
Andre terdiam, menyandarkan punggungnya, memejamkan matanya, dan mendongak ke atas. Ia mengeluarkan napasnya perlahan-lahan lewat mulut. Aku mengatupkan rahang sekuat tenaga berusaha untuk menjaga diriku agar tidak hancur berkeping-keping.
"Apa yang telah terjadi pada kita?" tanya Andre.
Aku menggeleng. "Cinta kita memudar, Dre."
"Memudar?" Alisnya berkerut. "Cintaku padamu tidak pernah memudar." Ia menatapku tajam. "Itukah yang terjadi? Kamu tidak mencintaiku lagi?"
Dadaku sesak. Mulutku tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
"Ellie, jawab aku."
Aku menggeleng. Aku tidak mampu menahan air mataku yang menggenang di kelopak mataku lagi.
Andre menunduk lalu mengusap rambutnya dengan frustasi. "Apakah kamu jatuh cinta dengan Jaiden?" tanyanya sambil menatapku tajam.
"Ti-"
"Tolong, Ellie. Berkatalah jujur padaku sekali saja."
Setelah terdiam seribu bahasa, aku mengangguk. "Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Tapi, sumpah, Dre, aku dan dia tidak pernah terjadi apa-apa. Aku pun masih bingung sama perasaanku sendiri."
"4 tahun kita bersama, Ellie." ucap Andre sambil menundukkan kepalanya. Kemudian ia menatapku lagi. "Masih inget pas pertama kali kita pergi berdua bareng?"
"Kamu menjemputku malam itu untuk pergi ke festival musik saat Halloween."
Pertamanya aku menolak untuk pergi ke festival musik itu karena aku tidak mempunyai kostum tetapi Andre tiba-tiba menjemputku ketika aku sedang mengerjakan tugas kuliah. Ia bersikeras agar aku ikut dan akhirnya aku memasukki mobilnya meski hanya memakai piyama.
Aku dapat melihat lampu-lampu sorot di udara ketika kami tiba dan mendengar keributan ribuan orang yang mengelilingi panggung yang megah. Mereka memakai kostum – ada yang menjadi suster ngesot, kuntilanak, berbagai macam karakter Disney, cowboy, dan masih banyak lagi.
Andre langsung menggandeng tanganku dan membawaku ke toko kostum. Lalu 10 menit berlalu dan aku telah berubah menjadi Tinkerbell sementara Andre menjadi Peterpan. Kami berkumpul di depan panggung sambil bersorak-sorak dan ia sempat menggendongku di bahunya agar aku dapat melihat lebih jelas.
Dan saat acara selesai dan lapangan telah kosong, kami duduk di bawah pohon saambil melihat bintang yang berkelip di langit. Minggu itu adalah minggu ujian akhir tetapi aku merasa seringan angin. Kemudian Andre merangkulku dan aku menyandarkan kepala di bahunya.
Sekarang aku berharap agar keadaan dapat kembali seperti semula. Aku tidak ingin melepaskannya tapi di satu sisi, tidak ada lagi yang dapat di pertahankan.
"Aku nggak pernah nyesal pergi bersamamu waktu itu." ucapku setelah kami larut dalam keheningan.
Tatapan matanya gelap. Ia mengalihkan pandangannya dariku dengan rahang terkatup rapat. Setelah menghembuskan napas, ia menatapku. Kali ini tatapannya lembut. "Aku juga."
Rasanya sebagian jiwaku telah hilang bersamanya. Dan hatiku terasa hampa. Pikiranku kacau, tersebar ke segala arah.
Aku terluka.
Aku kecewa.
"Ini bukan salahmu, El. Kurasa, aku juga merasakan apa yang sedang kamu rasakan saat ini. Dan aku minta maaf untuk itu."
Apakah salah jika aku merasa sedikit lega mendengar perkataannya itu? Bukan berarti aku tidak mengakui bahwa aku memang salah. Tetapi, aku juga ingin melihat dirinya bahagia meski bukan diriku yang dapat membahagiakannya.
Air mataku menetes ke pipiku. Kemudian aku mengangguk dan menerima pernyataannya dengan terpaksa. "Aku doakan semua hal yang terbaik dalam hidup untukmu."
"Kamu juga."
Kami bangkit dan berpelukan. Aku meletakkan kepalaku di bahunya dan merasakan kehangatan saat tangannya melingkupiku. Bahunya yang lebar masih terasa sama sepetti 4 tahun yang lalu.
Inilah saat terakhirku bersamanya. Semua kenanganku bersamanya akan segera hilang. Aku mengelus punggungnya perlahan.
Aku melepaskan diriku dari dekapannya dan melihat lesung pipitnya terakhir kali lalu aku pergi dengan hati yang teriris sambil mengambil udara dari mulut dan mengatur dadaku yang masih sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skyscraper Desire
RomanceMeraih kesuksesan dalam karir tidaklah sulit untuk diraih Ellie dalam usia mudanya. Segala yang dimiliki Ellie di dalam kehidupannya nyaris lengkap dan sempurna. Namun, ruangan Ellie yang berseberangan dengan atasannya membuat semuanya hancur berant...