"Terima kasih sudah mau menemuiku." ucapku sambil menarik kursi di depan meja Sera. "Kamu beneran nggak ada pasien sekarang? Kalo masih ada, kita bicara di rumah saja."
Ia menggeleng. "Nggak, El. Walaupun ada, aku lebih suka mendengar sahabatku curhat daripada pasangan menikah mencerocos selama 1 jam lebih. Pada ujungnya juga mereka akan bercerai." katanya sambil meringis.
Aku menyandarkan punggung dan melihat sekeliling. Kantornya bersifat formal, dipenuhi dengan furniture kayu yang mengilap, lemari diisi buku-buku tebal dengan sampul kulit yang keras, dan juga banyak sinar matahari yang merembes dari jendela-jendela berbingkai putih.
Kemudian aku melihat sofa tidur berwarna coklat yang terbuat dari kulit, dilengkapi dengan bantal untuk dipeluk. Aku punya firasat berbagai macam orang telah mencurahkan isi hatinya dan air mata bercucuran di sofa itu.
"Belum ada pasangan yang berkonsultasi denganmu pernah pulih?" tanyaku.
"Hm..," Sera berpangku tangan. "Aku tidak begitu ingat. Sepertinya ada 1-2 pasangan saja." Ia menatapku. "Hei, jangan salahkan aku. Tidak seharusnya aku memberikan saran pada mereka. Aku hanya perlu mendengarkan dan membuat mereka saling berkata jujur."
Aku mengangguk. "Bagus, kalo begitu kamu tidak bisa membantu aku saat ini."
Sera bangkit dari kursinya. "Berbaringlah di sofa itu." Ia menunjuk dengan dagunya.
"Apa? Tidak mau! Aku bukan pasienmu!"
"Percayalah padaku, Ellie. Aku telah menyaksikan banyak kehidupan yang berubah sejak mereka duduk di sofa itu."
"Aku tidak perlu mencurahkan isi hatiku. Aku hanya perlu saran."
"Baiklah, kalo begitu keluar saja. Masih banyak pasien yang membutuhkanku. Assistenku akan menunjukkanmu pintu keluarnya." Sera membukakan pintu.
Aku memutar kursi ke belakang, bersedekap, dan menatapnya dengan mata menyipit. "Kamu bilang tadi belum ada pasien."
"Memang tidak ada, tapi untuk apa aku menghabiskan waktuku di sini kalo kamu tidak mau kubantu dan melakukan perintahku?" ujarnya dengan nada menekan.
Kami mengadakan lomba menatap tajam dan akhirnya aku menghela napas panjang. "Baiklahh..." ucapku sambil terhuyung-huyung menghampiri sofa itu. "Bisakah kamu membuatkanku teh hangat?"
"Tidak."
Aku membaringkan kepalaku di bantal yang empuk lalu melepas sepatu dan meluruskan kakiku. "Mengapa tidak?" tanyaku sambil mengangkat kepala.
"Karena kamu bukan pasien sehingga aku tidak perlu melayanimu." Sera mengambil posisi di kursi professionalnya sebelahku. "Nah, sekarang..."
Kuharap air mataku tidak berjatuhan di sofa ini seperti orang lain.
"Ceritakan padaku apa yang ada di pikiranmu sekarang. Pejamkanlah matamu jika kau mau."
Aku menghembuskan napas pasrah dan memejamkan mata. "Yang ada di pikiranku?"
"Yap."
Lama-kelamaan mataku yang gelap menemukan sebuah bayangan di benakku. "Andre." ucapku.
"Sedang apa Andre di pikiranmu?" tanyanya.
"Aku tidak tau apa yang harus kulaku-"
"Aku tidak bertanya itu, El. Apa yang Andre sedang lakukan di pikiranmu saat ini? Aku tau kamu sedang membayangkan sesuatu."
"Dia..., dia sedang bersama Kayla." Dadaku terasa berat saat mengatakan hal itu. Aku menarik napas panjang.
"Di mana mereka dan di mana kamu berada?"
"Mereka sedang di Café Brown. Dan aku...," Aku mencium aroma yang khas, samar-samar aku melihat sebuah senyuman dengan lekukan di pinggir pipinya. Perut dan pipiku memanas saat aku bersamanya. Kemudian aku melihat kemeja putih tipis dengan lengan kemeja yang digulung dan sebuah wajah. Rambutnya coklatnya tidak tersisir dan beberapa helai poni berjatuhan di pelipisnya.
"Aku bersama Jaiden di kantor." lanjutku.
"Buka matamu."
Aku menurutinya.
"Itukah yang kamu mau?" tanya Sera membuat alisku berkerut.
Aku mengangkat beban badanku dengan siku lalu membalikkan badan, duduk menghadap Sera. Kakiku menggantung dari sofa. "Apa?"
"Kamu mau bersama Jaiden dan Andre bersama Kayla?" tanyanya.
Kenyataan menamparku beberapa kali di pipi. Tiba-tiba udara yang kuhirup begitu sulit untuk masuk ke paru-paruku. Aku menunduk dan terdiam. Mengapa aku tidak bisa mengakuinya?
Sera melongok ke bawah, mencari-cari wajahku. "El?" sahutnya.
Aku mendongak dan menatapnya. "Apa benar itu yang kumau?" tanyaku ragu.
"Aku tidak tau." Ia bergidik. "Bagaimana jika kamu bertanya pada dirimu sendiri?"
Apakah ini semua salahku? Baru aku menyadari bahwa cinta kami sudah lama hilang. Kami tidak pernah mendapatkan hati satu sama lain. Kami tidak pernah saling mencintai. Aku hanya telah menghabiskan sebagian besar waktuku bersamanya sehingga sulit bagiku untuk menjalani hidupku tanpanya.
Aku menatap Sera. "Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyaku parau. Aku berbaring lagi, mengambil bantal dan memeluknya.
Sera menghela napas lalu naik ke sofa, mendesakku untuk bergeser. Ia menatapku. "Menurutku, Andre harus tau apa yang kamu rasakan sekarang."
"Tapi, hasilnya pasti akan kacau-"
"Kamu mau terjebak seperti ini terus? Bagaimana kamu bisa melanjutkan hidup dan mencapai titik puncak jika kamu terus bertahan dengan orang yang secara konstan menyeretmu ke bawah?"
"Aku merasa seperti orang terjahat sedunia." Aku menunduk. "Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada orang lain di saat aku masih berpacaran dengannya?" Seketika dadaku terasa lebih berat.
"El, kamu tau kan Andre juga melakukan hal yang sama denganmu?"
Kayla melintas di pikiranku.
Sera menghembuskan napas lalu menyangga kepalanya dengan siku dan menatapku halus. "Berhentilah menyangkal realita."
Aku menatap langit-langit. Meski sulit untuk kucerna, perkataan Sera benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skyscraper Desire
RomanceMeraih kesuksesan dalam karir tidaklah sulit untuk diraih Ellie dalam usia mudanya. Segala yang dimiliki Ellie di dalam kehidupannya nyaris lengkap dan sempurna. Namun, ruangan Ellie yang berseberangan dengan atasannya membuat semuanya hancur berant...