Confessed

2.9K 175 0
                                    

"Jay, lebih baik aku di rumah, mencari kerja. Aku butuh uang untuk makan." ucapku, bersandar di jok mobilnya.

Jaiden membelokkan mobil. "Bisakah kamu bersabar?"

"Aku tidak ingin bercanda sekarang. Ada banyak hal yang sedang terjadi di pikiranku."

"Aku tau. Tidak ada yang bisa kamu lakukan untuk itu. Makanya duduk, diam, dan sebentar lagi kita akan sampai."

Aku menoleh. "Kemana?"

Jaiden menginjak rem dan mobilnya berhenti di parkiran luas yang kosong melompong di depan gedung yang kira-kira bertingkat 5, tanaman hias bertengger di sebelah pintu utama yang terbuat dari kaca. Gedung itu sangat mirip dengan gedung kantor lamaku tapi ini seperti versi mininya.

"Ta daa.."

"Apa maksudnya ini?" tanyaku sambil menunjuk ke arah gedung.

"Gedung baru kita."

Kepalaku terhuyung-huyung dan mataku melotot. Aku mengerjapkannya beberapa kali sebelum menjawab. "Gedung baru kita?! Kita?!" geramku. "Jaiden! Aku sudah memberitahumu, aku tidak mau menjadi rekan perusahaanmu."

"Kamu bilang kamu belum bisa menjawabnya. Bukan tidak mau. Kuanggap itu adalah sebuah pertimbangan." Jaiden melangkah maju.

Aku mengikutinya dari belakang dengan menghentakkan kaki. "Kamu tidak pernah mendengarkanku."

"Setidaknya, lihatlah dulu gedung ini." Langkahnya terhenti di depan pintu. Ia mengeluarkan kunci dari kantongnya. "Kamu tidak perlu menyetujui apapun. Aku hanya ingin menunjukkkanmu tempat ini."

Aku menghembuskan napas. "Baiklah." Bola mataku berputar.

"Bagus." komentarnya sambil memutar kunci.

Sandal jepitku menginjak karpet lantai beludru yang empuk. "Kenapa harus memakai karpet beludru? Aku suka suara pantofel yang menyentuh lantai keramik."

Jaiden tertawa. "Kita bisa melepaskannya kalo kamu mau."

Aku menyusuri pandanganku di lobi depan, membayangkan meja resepsionis dapat diletakkan di ruang sebelah kanan, tempat duduk kecil seperti sofa berbentuk kubus sekitar 4-5 buah terletak di depannya. Pot tanaman hias terletak di ujung lobi.

Aku melangkah maju, menuju elevator. "Ke lantai berapa?"

Jaiden menekan tombol berangka 5. Lalu tersenyum lebar sambil melihat monitor di sebelah kanan pintu elevator.

Bel elevator berbunyi dan pintu terbuka. Kami melangkah maju. Aku melihat ruangan yang disekat oleh kaca dengan pemandangan ke jalan raya di belakang pintu masuk.

"Ini akan menjadi kantormu. Dan, kantorku ada di seberang." ucapnya.

Aku dapat membayangkan meja kaca berbentuk persegi dengan kaki meja berwarna putih terletak di tengah-tengah ruangan. Kursi kantor dengan sandaran yang megah dan roda yang tidak macet-macet agar aku bisa leluasa pergi ke segala inci ruangan tanpa harus menggunakan kakiku berada di baliknya.

Rak kecil di sebelah lemari buku, sofa dan meja kecil yang sederhana untuk tamu. Dan tentu saja AC di dinding sebelah kiri. Beberapa pot tanaman hias seperti tanaman hijau Heart Philodendron di ujung ruangan dan pot hitam kecil berisi kaktus atau aloe vera mini di meja untuk menemaniku bekerja.

Mungkin aku tidak akan menggunakan komputer dan menabung untuk membeli laptop saja. Dengan begitu, aku dapat menyelesaikan pekerjaanku dimana saja dan tidak perlu mengkhawatirkan mesin CPU yang memanas.

Aku menggelengkan kepala, menghilangkan awan impian di atas kepalaku. Apa yang aku pikirkan? Belum tentu aku akan menerima pekerjaan ini.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Jaiden.

Aku melangkah mundur sambil menyusuri pandanganku. "Bagus." ucapku sambil mengangguk.

"Bagus? Kamu melantur sambil senyum sendiri daritadi dan itu saja komentarmu? Bagus?"

"Kenapa kamu nggak menyewa orang lain yang lebih terkualifikasi daripada aku? Kenapa harus aku yang menjadi rekanmu?" tanyaku.

"Karena aku maunya kamu, bukan orang lain."

Aku melemparkannya tatapan sinis lalu memutar bola mataku. Setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan sekali lagi, aku menjatuhkan diriku ke sofa di ruang tengah. Jaiden menyusulku lalu mendesah.

"Ellie?" panggilnya.

Aku menoleh. "Ya?"

"Kurasa selama ini kamu tau."

"Tau apa?"

Jaiden mengalihkan pandangannya dari lantai. Ia menatap mataku sambil menyatukan tangan di pahanya dan membungkuk akibat tangannya yang tinggi. "Kalo selama ini ada sesuatu di antara kita."

"Kamu tau itu kan?" lanjutnya, melihatku tersentak. "Kita berdua sudah lama mengetahuinya, sayangnya ego kita sama-sama besar."

Semua ini terjadi begitu cepat. Pikiranku kosong dan mulutku tidak bisa mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Aku belum siap untuk menghadapi situasi seperti ini. Belum siap sama sekali.

"Aku tidak bisa." Tanpa kusadari, mulutku bekerja.

Tatapan Jaiden melemas dan bahunya merosot. "Tidak bisa?" ulangnya.

"Aku baru saja keluar dari sebuah hubungan, Jay. Dan saat ini banyak sekali yang sedang terjadi di hidupku. Aku harus fokus pada diriku sendiri terlebih dulu. Keponakanku baru saja lahir, aku belum mendapat pekerjaan, dan di sinilah kamu berada menawarkanku sebuah pekerjaan yang luar biasa dan menyampaikan perasaanmu terhadapku."

Aku menghembuskan napas. "Aku belum bisa mempercayai semua ini. Ini terlalu cepat." lanjutku.

Mulut Jaiden menyisakan sedikit celah. Pandangannya menerawang dan napasnya tercekat. Selama beberapa saat, ia hanya terdiam dengan pandangan ke bawah. Beberapa poninya jatuh ke dahinya. Lalu ia menatapku. Dia mengangguk lalu memaksakan sebuah senyuman kecil.

"Aku mengerti." ucapnya.

"Sebaiknya aku pergi. Terima kasih atas tour-nya." Aku bangkit dari kursi, membalikkan badan, melangkah ke elevator, dan menekan tombol panah turun. Aku terkesiap saat lenganku ditarik ke belakang dan badanku segera berbalik. Jaiden memegang kedua tanganku dengan napas terengah-engah.

Ia menatapku. "Ellie, setidaknya terimalah pekerjaan ini."

Aku tergagap.

"Kamu pantas mendapatkannya." ujarnya.

"Apa yang membuatmu berpikir aku pantas mendapatkannya? Aku baru saja menolakmu, Jay. Aku adalah orang terburuk sedunia, aku tidak berhak menerima pekerjaan ini."

Kumohon, jangan bicara sepatah kata lagi. Aku tidak tahan melihatnya seperti ini. Aku ingin masuk ke elevator dan berlari pulang saja.

Jaiden masih menahan lenganku. "Tidak, kamu berhak menolakku. Kita tidak perlu membahas itu lagi." Ia menenangkan napasnya sambil memejamkan mata. "Bisakah kita bersikap seperti ini tidak pernah terjadi?" tanyanya parau.

Ia melanjutkan. "Aku tidak ingin kehilanganmu. Dan aku mau menjalin hubungan professional denganmu. Layaknya atasan dan pegawai."

Aku terdiam sambil menyipitkan mata.

"Maksudmu," ucapku sambil menunduk. Lalu senyumanku mengembang. "Rekan dengan rekan?"

Jaiden terkekeh lalu melepaskan kedua tangannya dariku. "Iya, rekan dengan rekan." ucapnya sambil menurunkan pandangannya dan mengusap dahinya dengan telunjuk.

Kami terdiam dengan pandangan menerawang lalu kami bersitatap. Secara kompak, kami tertawa kecil bersama, mengingat kejadian yang baru saja terjadi.

"Jadi, kita sepakat?" tanyanya sambil menjulurkan tangan.

Aku membalasnya. "Sepakat."

Skyscraper DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang