My New Office

2.7K 169 0
                                    

Kantor baruku jauh lebih besar daripada kantorku yang dulu sehingga aku dapat mengisi ruangan ini sesuai dengan yang kuinginkan. Aku mengikat rambutku menjadi satu di belakang dan mulai mengeluarkan buku-buku dari dalam kardus yang kubawa dari rumah. Aku mengibas debu dari buku-buku itu dan menatanya ke rak buku.

Kemudian, aku mengeluarkan bingkai foto kosong, melihat sekeliling ruangan sambil menyipitkan mata. Dimana seharusnya aku meletakkan ini? Aku melihat mejaku yang masih terlihat kosong lalu meletakkan bingkai ke sebelah komputer.

Aku menoleh ketika mendengar ketukan pintu.

Stella mengintip. "Ellie-" Ia menjernihkan tenggorokannya lalu menggelengkan kepala. "Maaf, Bu Direktur." ucapnya sambil tersenyum simpul. "Masih banyak kardus bertumpukan di lobi. Perlu saya panggil satpam untuk membawakannya?"

"Tidak. Tidak usah mengganggu mereka. Sebentar lagi aku kesana. Terima kasih, Stella." Aku menutup kardus lalu menggesernya ke pojok ruangan.

"Baik, Bu." Aku mendengar bunyi ketukan sepatunya memudar.

Senyumanku mengembang, aku mendengus dan menghembuskan napas, lalu merenggangkan punggungku ke belakang.

Mulai saat ini, aku adalah Bu Direktur.

Stella baru saja memanggilku Bu Direktur.

Aku tertawa geli lalu menekan jemari-jemari tanganku sambil berjalan ke lobi. Lalu berjalan memasukki elevator dan menekan tombol untuk menutup pintu. Pintu itu terbuka lebar saat sebuah tas terjepit di antaranya.

Joline memasukki elevator sambil terengah-engah. Ia tersenyum saat menyadari kehadiranku. "Selamat pagi, Bu Direktur." ujarnya.

"Pagi, ketua tim marketing. Apa yang membuatmu terlambat hari ini?" Senyumanku mengembang. "Kau terlambat 10 menit."

Ia menatapku heran. "Kamu beneran akan bersikap seperti itu?"

Bel elevator berbunyi dan pintu terbuka. "Kamu harus membiasakan dirimu mulai sekarang." Aku melangkah keluar dan mendengar Joline tertawa geli saat pintu tertutup.

Kardus-kardus itu besar. Dan banyak. Aku tidak menyangka jumlahnya ada sebanyak itu. Untuk sesaat, aku hanya berdiri di depan kardus-kardus itu sambil berkacak pinggang lalu memutuskan untuk mengangkat 2 kardus yang bertumpukkan dan meletakkan sisanya di lobi.

Dengan napas yang memburu dan tanganku yang disertai sensasi terbakar akibat beban seberat 15 kg berada di atasnya, aku memasukki elevator, menekan tombol dan meletakkan kardus itu selagi melihat angka di monitor.

Ketika angka di monitor mencapai angka 20, aku menarik napas panjang lalu mengangkat kardus itu. Tumpukan kardus itu membuat pandanganku terbatas, aku melaju secepat mungkin sebelum tanganku tidak kuat mengangkut lagi.

Aku melihat sebuah bayangan menubruk bahuku, tanganku hilang keseimbangan, dan kedua kardus itu berterbangan di udara. Semua isinya berserakan di lantai, termasuk kaca dinding dengan bingkai keramik yang baru saja kubeli online seharga 550 ribu sudah termasuk diskon 20 persen.

Rahangku terjatuh, kedua tanganku memegang kepala. Para pekerja melirik dan berjalan lalu lalang namun tidak repot-repot untuk berhenti dan membantu. Terima kasih banyak, omong-omong.

Aku mengangkat kaca dinding itu dengan hati-hati lalu memberanikan diri untuk mengecek retakan. Kumohon, jangan sampai rusak. Aku menghela napas lega saat menyadari kaca dinding itu masih utuh seperti baru.

Aku mulai menggeser kardus itu beserta isinya ke ujung ruangan agar tidak menghalangi para pekerja yang baik hati ini untuk bekerja kemudian menata ulang pernak-pernikku. Seharusnya aku cukup pintar untuk menyewa jasa pengangkut.

Lututku menyentuh lantai yang dingin lalu aku melihat sebuah tangan menyentuh teko teh-ku. Lengan kemeja yang digulung asal sampai ke siku itu menunjukkan kulit kecoklatan dan urat nadinya. Aku mendongak.

Jaiden tersenyum heran.

Oh, tentu saja. Betapa klisenya hidupku.

>>>>>

Jaiden berkacak pinggang sambil menghembuskan napasnya. "Selesai." Ia menata rak sekali lagi lalu melangkah mundur untuk melihat keseluruhan ruanganku yang sudah didekorasi.

Aku mengikutinya dan tersenyum puas. "Aku tidak bisa percaya ini benar-benar kantorku."

Aku dan Jaiden telah menata ulang dan mendekorasi ruangan ini dari nol. Dan aku puas dengan hasilnya. Aku meletakkan mejaku tepat di seberang pintu agar aku bisa melihat kondisi di luar ruangan dan melihat Joline bekerja. Lebih tepatnya, memanggilnya ke kantorku supaya kami bisa mengobrol.

Rak buku dan arsip kuletakkan di sisi samping ruangan. Kaca dindingku di sebelahnya. Aku menata meja kecil dan sofa di tengah ruangan untuk minum teh dan kue kering. Aku menamakan zona itu zona tamu.

Di meja tersebut, terdapat teko teh keramik terbaruku, bingkai foto berisi foto momen-momen terakhirku bersama Joline, Vanessa, dan Christian, notes kecil dan pulpen, serta vas bening diisi bunga Garbera Daisy warna merah muda dan putih.

"Ruangan ini terlalu berkesan feminim." ujarnya sambil menghampiri zona tamu dan menyentuh bungaku.

"Tapi bagus kan? Dijamin, aku akan semangat bekerja dengan ruangan seperti ini." Aku menyusuri pandangan dan mengelap keringatku dengan lengan blus lalu menghela napas.

Arlojiku menunjukkan pukul 11. Pantas saja daritadi aku merasakan perutku bergejolak. Aku belum mengisi perutku selama..., 3 jam. Jangan menghakimiku. Mendekorasi ruangan benar-benar menguras energi, kau tau? Aku menghampiri sofa lalu duduk.

"Makan siang?" ujarnya sambil bersedekap di depan rak buku.

Aku mengangguk heran. "Darimana kamu tau aku mau makan siang?"

Ia berjalan menghampiriku lalu duduk di sebelahku. "Biasanya jam segini aku melihatmu pergi ke restoran di depan dan memesan tongseng atau ayam goreng."

"Satu gedung ini langsung beraroma makanan yang kamu bawa tau?" lanjutnya setelah terkekeh. Lekukan yang sama muncul di samping matanya.

Skyscraper DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang