Aku telah duduk di ruang tunggu selama kira-kira 4 jam dan bayi itu belum juga muncul dari- kau tau kan apanya? Tidak bisa kubayangkan rasa sakit yang akan dihadapinya, bagaimana bisa bayi sebesar itu keluar dari..., lubang yang sekecil itu? Memikirkan hal ini membuat bulu kudukku berdiri.
Aku tidak bisa menunggu di ruangan itu bersamanya karena aku tidak tahan mendengar teriakan dan kesakitan Sydney lagi. Ia berkontraksi berkesinambungan, rambutnya basah akibat keringat, wajahnya memerah.
Dan kakinya terus terbuka lebar. Untungnya sebentang kain hijau menutupi bagian pahanya sampai ke bawah sehingga aku tidak bisa melihat kau tau apanya itu. Michael berdiri di sebelahnya sambil meremas tangan Sydney. Lebih tepatnya, Sydney yang meremas tangan Michael.
Ibuku terus memekik dan mengipasi dirinya sambil mondar-mandir, membuat Sydney makin panik dan situasi yang sudah kacau makin kacau. Akhirnya para perawat memutuskan untuk mengeluarkannya dari ruangan dan menuntunnya ke kantin.
Jaiden bersedia untuk mengantarkannya ke kantin sambil merangkulnya dan berhasil menenangkan ibuku sampai sekarang. Ia kembali ke sini tanpa ibuku. "Kupikir kamu akan membutuhkan sesuatu yang segar." ucapnya sambil menyodorkanku segelas jus mangga dingin, memegang pundakku, lalu duduk di sampingku saat aku mengucapkan terima kasih.
"Jadi kamu telah melupakan aku?" Sera mencondongkan badannya dan menoleh ke Jaiden.
"Oh, iya. Maaf, aku nggak kepikiran." ujarnya.
Sera bangkit dari kursinya sambil memutarkan bola mata. "Sudahlah, aku pergi sendiri saja." Ia menatapku. "Kalo perlu aku, aku ada di kantin."
Aku mengangguk. "Oke." Aku melihat Sera berjalan ke elevator lalu menghilang ketika pintu menutup.
"Kira-kira berapa lama persalinan ini akan berlangsung?" tanya Jaiden sambil meneguk segelas air dingin.
"9-12 jam. Sepertinya." Aku tersenyum saat mata Jaiden seketika membelalak. "Nggak usah kaget. Itu normal, Jay."
"Jadi, Sydney harus merasakan ini selama 9 jam berikutnya?"
"Dia sudah berkontraksi selama kira-kira 4 jam, jadi sekitar 5 jam lagi. Tapi bisa saja lebih dari itu. Aku kurang tau."
Kami kompak menghembuskan napas. Lalu saling menatap.
"Kamu mau pulang dulu?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Nggak perlu. Lagipula, nggak ada yang bisa kulakukan di rumah. Lebih baik aku melihat-lihat orang sakit dan menghirup udara berbau obat di sini."
Jaiden mendengus.
Aku melemparkan tatapan sinisku padanya. Ia balas menatapku hanya saja dengan senyuman kecil, bibirnya yang tipis membentuk lekukan, wajahnya terlihat sedikit lecek akibat keadaan ini. Aku suka melihat sisinya yang ini, sisinya yang tidak sempurna - belahan rambutnya teracak, kancing kemejanya yang paling atas terbuka dan keluar dari celananya.
"Yakin kamu nggak mau pulang dulu?" tanyanya.
"Emangnya kenapa kamu ingin aku pulang?"
Jaiden menyusuri pandangannya padaku dari ujung kaki sampai kepala sambil menaikkan alisnya. Senyumannya mengembang. Lalu dia menggeleng. "Tidak apa-apa." ucapnya.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan alisku berkerut. Kemudian aku menyadari diriku masih terbungkus oleh piyama lusuh dan rambutku gumpal dan mencuat kemana-mana, mengingat aku tidak sisiran tadi pagi. Dan juga mulutku yang terasa asam, mengingat aku belum sikat gigi.
Aku menghembuskan napas pasrah dan menyandarkan punggungku.
Lalu aku memejamkan mataku.
>>>>>
KAMU SEDANG MEMBACA
Skyscraper Desire
RomanceMeraih kesuksesan dalam karir tidaklah sulit untuk diraih Ellie dalam usia mudanya. Segala yang dimiliki Ellie di dalam kehidupannya nyaris lengkap dan sempurna. Namun, ruangan Ellie yang berseberangan dengan atasannya membuat semuanya hancur berant...