Aku memandang bubur ayamku dengan tatapan kosong. Baru kali ini aku melihat makanan yang tidak terlihat membangkitkan selera bagiku. Aku merasa seperti berada di dalam jurang yang sangat dalam dan gelap dan tidak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu untuk pertolongan. Hanya saja, tidak ada yang akan membantu. Aku hanya menunggu waktu kematianku saja.
Aku berusaha untuk tersenyum di kaca pagi ini. Namun, aku melihat kekosongan di senyuman dan tatapanku. Aku mati seperti mayat berjalan.
"Ellie, kenapa? Tambahin saja kaldu ayamnya biar lebih enak." Suara ibuku bergema dari dapur.
Sydney menjatuhkan dirinya dan perut raksasanya di sofa, membuat tubuhku berguncang ke atas bawah akibat pegas sofa yang memantul. "Ini bukan akhir dunia, Ellie. Masih banyak hal yang bisa kau lakukan."
"Aku tau." ucapku datar.
"Kalo begitu, berhentilah bersikap seperti orang paling menderita sedunia."
"Mudah bagimu untuk mengatakannya. Hidupmu begitu sempurna." Aku memutarkan bola mata.
Sydney mencondongkan badannya lalu menyipitkan matanya padaku. "Apa?"
"Kamu bahkan tidak tau apa itu penderitaan, Syd. Hidupmu penuh pelangi dan tidak pernah hujan. Kamu adalah seorang dokter yang sukses, punya suami baik, punya anak dan keluarga yang harmonis, apalagi yang kurang?"
"Aku kira kamu mengenalku lebih dari itu." ujar Sydney datar. "Kamu kira aku memiliki semua ini bukan karena keringat dan jerih payahku? Kamu kira aku mendapatkan gelar dokter dalam sekejap dari langit gitu? Tidak, Ellie. Aku bekerja keras selama 6 tahun untuk mendapatkan posisiku di sini."
"Kamu-"
Sydney menyela. "Aku telah memasukkan tanganku ke dalam mayat selama ratusan kali, aku telah ditipu mahasiswa senior saat pengenalan sekolah, aku gagal untuk mendapatkan nilai tuntas saat ujian puluhan kali, tapi apakah kamu melihatku menangis dan menyerah? Tidak kan?" Nada Sydney yang keras membuatku terdiam.
"Di saat kamu gagal, di saat hidupmu terasa payah dan kosong, bukan berarti kamu harus diam dan menunggu seseorang untuk menolongmu, Ellie. Kamu bukan seorang princess." Ia melanjutkan. "Kamu tidak bisa seenaknya mengatakan hidupku begitu sempurna padahal kamu tidak tau jerih payahku seperti apa. Kamu tidak bisa seenaknya melampiaskan kemarahan dan penderitaanmu pada seseorang seperti itu, El. Kamu terus menyalahkan seseorang di saat kamu tidak menyukai sesuatu dalam hidupmu."
Ia menatapku. "Aku tau ini bukan salahmu, aku tau ini tidak adil. Tapi, apakah kamu akan diam saja dan mengamati hidupmu hancur?" ujar Sydney lembut. "Lakukanlah sesuatu, Ellie. Kamu tidak bisa membiarkan ini terjadi. Bangkitlah."
Aku terdiam dan menatapnya selama beberapa saat lalu tawaku meledak. "Wow." Aku mengusap air mata kebahagiaanku. "Itu baru namanya pidato."
Sydney terkekeh. "Aku memberikanmu saran bijak, Ellie. Kenapa kamu malah tertawa? Aku serius." Ia berusaha untuk memasang wajah serius tapi senyumannya malah makin lebar.
Aku menghembuskan napas lalu tertawa kecil. "Aku minta maaf." ucapku sambil menunduk setelah terdiam sesaat. "Aku memang pengecut." lanjutku. "Kenapa waktu itu aku tidak lulus ujian kuliah, Syd? Aku belajar mati-matian bersamamu. Kamu sudah mengajari semua yang kamu tau dan aku yakin aku dapat menjawab semua soal dengan benar waktu itu. Kok bisa aku nggak diterima?"
Sydney mendengus. "Ya ampun, kamu belum move on juga dari itu? Itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Lihatlah kamu sekarang. Kamu jadi Bu Direktur."
"Iya, lihat aku sekarang. Dipecat gara-gara skandal percintaan dengan si boss."
"Apakah itu benar?" tanyanya ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skyscraper Desire
RomanceMeraih kesuksesan dalam karir tidaklah sulit untuk diraih Ellie dalam usia mudanya. Segala yang dimiliki Ellie di dalam kehidupannya nyaris lengkap dan sempurna. Namun, ruangan Ellie yang berseberangan dengan atasannya membuat semuanya hancur berant...