Vanessa dan Christian meneguk kopi yang masih mengepul di meja break room. Mereka mengunci tatapan yang berkilat dan senyuman lebar. Joline memperhatikan mereka dengan mata menyipit.
"Sejak kapan itu terjadi?" tanyanya.
Kami berjalan ke kantorku. "Sudah cukup lama aku tau tentang mereka." jawabku sambil membuka pintu kantor lebar-lebar. Aku membiarkannya terbuka agar kakiku tidak beku akibat udara AC yang menyengat lalu menyalakan komputer, melanjutkan pekerjaanku di meja.
Joline mendengus. "Vanessa masih terlalu naif untuk pacaran." Ia menarik kursi lalu duduk di hadapanku.
"Vanessa tidak naif. Dia hanya..., punya kepribadian yang polos dan ceria. Itu bukan naif." Aku menarik tuas kaki kursi yang segera mengangkat badan mungilku ke jarak yang pas antara dadaku dengan meja.
Pandangan Joline menurun. Matanya yang biasanya dingin menghangat.
"Kamu kenapa?" tanyaku penuh curiga.
"Nggak apa-apa." Ia berusaha menutupi kesedihannya tetapi aku dapat mendengar napasnya yang sedikit tercekat.
Aku memegang tangannya di meja. "Jo?" ujarku pelan.
Setelah memejamkan mata sambil menggeleng-gelengkan kepala untuk menyangkal kesedihannya, ia menghembuskan napasnya. "Jujur saja, rasanya semua orang di sekitarku merasakan cinta dan, tidak pernah sendirian. Ada seseorang yang selalu menemani."
Joline berdiri. "Lalu aku gimana? Maksudku, Vanessa bersama Christian, lalu kamu dengan Jaiden."
Ia mengerucutkan bibir lalu menggeleng-geleng. Tangannya terangkat di udara, pandangannya kembali dingin seperti es. "Ah sudahlah, aku tidak butuh semua itu." Lalu ia kembali duduk.
Kemudian perkataannya terulang di kepalaku.
...lalu kamu dengan Jaiden.
Aku menelengkan kepala, mulutku terbuka. "Apa kamu bilang tadi?"
Aku tidak pernah memberitahu seseorang tentang makan malam itu, kecuali Sera tentu saja. Aku tidak bisa membayangkan jika satu kantor ini bisa mengetahuinya. Harga diriku dapat hancur. Mereka pasti berasumsi aku memiliki niat tidak senonoh terhadap Jaiden demi kenaikan jabatan itu. Apa yang akan disebarkan Lauren tentang aku?
"Apa?" Alis Joline berkerut.
"Aku dengan Jaiden apa?" tanyaku.
Joline menatapku dengan tatapan kosong. "Makan malam saat itu."
Aku menghentak sambil bangkit. Sepertinya kursiku terlempar ke belakang. Aku menghampirinya. "Darimana kamu tau tentang itu?" ucapku dengan pelan dan berbisik sambil menyusuri pandangan ke luar ruangan.
Dia memutarkan bola matanya. "Ayolah, El. Kayak kamu nggak tau telinga-telinga orang di sini seperti apa?" ujarnya.
Aku menghempaskan diri ke kursi dengan bantalan tinggi di dekat pintu, menimbulkan bunyi berdebum. "Siapa lagi yang tau?"
Joline bergidik. "Aku dengar dari Vanessa, nggak tau lagi Vanessa dengar dari siapa. Emangnya kenapa jika orang-orang tau?"
"Orang-orang pasti mengira aku mendekati Jaiden untuk jabatan Direktur itu!" jawabku.
"Well, kamu nggak bisa jadi cewek polos seumur hidupmu." Senyum jail mengembang di wajahnya namun menghilang sekejap saat aku melemparkannya tatapan maut.
"Apa yang akan dilihat orang dariku?" Aku bangkit untuk menutup pintu lalu kembali duduk dengan lemas. "Wanita simpanan si boss??" Aku bersedekap.
"Nggak mungkin. Kamu makan malam untuk membicarakan kebangkrutan perusahaan ini kan?" ujar Joline. "Gimana? Kita sudah kasi promo, perusahaan-perusahaan lain juga berhasil kita ambil untuk kerja sama, sudah ada perkembangan?" tanyanya.
"Iya, Jo. Itu hanya makan malam bisnis. Pokoknya sekarang kita tidak perlu khawatir. Jaiden akan mengurus segalanya."
>>>>>
Aku mendengar bisikan-bisikan kecil setiap kali aku melangkah keluar dari kantor. Aku berhasil menghindari sergapan Lauren dan menutup pintu kantorku. Meski aku tau itu tidak akan menghentikan pandangan-pandangan curiga mereka terhadapku akibat dinding dan pintu kaca yang tembus pandang, setidaknya aku mencegahnya.
Hembusan napasku mengembun di pintu kaca. Aku membalikkan badan lalu tersentak saat melihat Jaiden tengah duduk di depan meja kantorku. Dia bersedekap lalu berdiri sambil memegang dasi tipis hitamnya. Tatapannya memancarkan kegelapan yang sama ketika aku meninggalkannya malam itu.
"Aku mau kamu di kantorku. 10 menit lagi." ucapnya. Jaiden membuatku menyingkir, membuka pintu lalu melangkah keluar.
Setelah menghabiskan 10 menit dengan melanjutkan pekerjaanku, aku melihat arlojiku untuk memastikan dan berderap keluar. Napasku memberat ketika aku mendekati kantornya dan menghembuskan napas terakhir saat membuka pintu.
Jaiden berdiri saat melihatku, memberiku aba-aba untuk duduk. Aku menghela napas lalu menyandarkan punggungku. Matanya yang lebar dan berkilat, menyusuriku, lalu ia tersenyum.
Kami terdiam sesaat. Mulutku terbuka tapi aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Jaiden menyusuri pandangannya padaku sambil memutarkan pulpen di jemarinya.
Aku menarik napas panjang. "Jadi, kamu memanggilku ke sini untuk basa-basi saja atau gimana?" ucapku, memecahkan keheningan.
Jaiden tersentak dari tatapan yang sebelumnya memaku padaku. Dia berdeham. "Tidak, aku ingin kau tau bahwa ada kabar baik dan buruk. Yang mana ingin kamu dengar duluan?"
"Kabar baik dulu."
"Baiklah. Pendapatan kita meningkat dalam 2 minggu terakhir. Jumlah klien menambah, sepertinya perusahaan ini menyebar dari mulut ke mulut. Dan, semua ini berkat kamu. Berkat promo cerdas yang kau buat, berkat hubungan kerjasama yang kau jalin bersama perusahan lain, berkat iklan yang tersebar – intinya, kamu telah melakukan pekerjaanmu dengan baik."
"Lalu, kabar buruknya..,"
Napasku berhenti.
"Lauren pasti akan sedih mendengar kabar ini." ucap Jaiden.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali sebelum napasku yang tercekat berubah menjadi dengusan. Jaiden memperbaiki posisi dasinya sambil bangkit berdiri. Aku ikut berdiri lalu menjulurkan tangan padanya untuk berjabat layaknya hubungan atasan dengan pegawai. Ia menatapku heran sesaat lalu mengambil tanganku.
"Tapi...," Ia menatapku. "Jangan mengira hal ini membuatmu selangkah lebih maju dari Lauren. Harus kuperingatkan, Lauren adalah saingan yang sengit." Tangannya yang hangat masih menggenggamku.
"Aku tau." ucapku sambil mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skyscraper Desire
RomanceMeraih kesuksesan dalam karir tidaklah sulit untuk diraih Ellie dalam usia mudanya. Segala yang dimiliki Ellie di dalam kehidupannya nyaris lengkap dan sempurna. Namun, ruangan Ellie yang berseberangan dengan atasannya membuat semuanya hancur berant...