Lost

2.6K 174 0
                                    

Aku menuang tehku dari teko lalu meniup dan meneguknya perlahan sambil menaikkan kakiku di atas meja. Joline memperhatikanku dari seberang ruangan dengan mata menyipit. Aku melambaikan tanganku dan tersenyum. Ia menggeleng lalu melanjutkan kesibukannya di depan komputer.

Aku bangkit lalu menghampiri jendela. Sinar matahari pagi menyambutku. Selama seminggu ini, aku berhasil melakukan pekerjaanku dengan baik dan semua berjalan dengan lancar. Meski aku harus bekerja lembur sampai malam sesekali, aku tetap menikmati pekerjaan ini.

Aku tidak sabar untuk mendapat gaji pertamaku. Banyak hal yang ingin kuselesaikan dengan gaji tersebut. Aku akan mulai dengan melunasi cicilan mobil dan hutangku pada Sera untuk rumah kami, memenuhi lemariku dengan pakaian baru, membelikan Sera hadiah, karena..., kenapa tidak? Dia pantas mendapatkannya.

Namun, satu hal terus menghantui pikiranku.

Kini dengan keuanganku yang stabil, semua orang pasti memiliki ekspektasi agar aku segera menikah dengan Andre. Ia sudah membicarakannya padaku sementara aku terdiam dan mengalami serangan kepanikan di dalam diriku. Tinggal menunggu waktu sampai Andre melamar kepada ayah dan ibu.

Memang sudah seharusnya aku menikah dengannya. Aku telah mengenalnya sejak lama. Tetapi kenapa aku masih belum siap?

Aku butuh waktu.

"Ellie."

Aku terkesiap lalu menoleh.

"Ada apa?" tanya Jaiden, menghampiriku.

Aku menggeleng. "Tidak ada apa-apa. Kenapa?"

"Dimana lampiran performance review-mu bulan ini? Aku sudah menyuruhmu untuk meletakkannya di mejaku besok pagi tadi malam. Kamu baca E-mail-ku kan?" Ia berkacak pinggang.

Mataku membelalak dan napasku tercekat. Seharusnya aku merasa curiga ketika aku merasa pekerjaanku berjalan terlalu lancar. "Aku lupa membawanya! Lampirannya kuletakkan di laci mejaku di rumah!"

Jaiden menaikkan alisnya dan memberiku tatapan maklum. Kurasa dia telah mengenalku terlalu baik. "Ambil sekarang." ujarnya dengan tenang.

Aku mengambil kunci mobil lalu bergegas keluar.

"Ehhh!! Ellie, tunggu!"

Langkah kakiku berhenti. Aku menoleh.

"Mumpung kamu ke rumah, sekalian ambil berkas keuangan bulan ini yang kutitipkan padamu minggu lalu."

Alisku bekerut.

Jaiden berdecak, bahunya merosot. "Inget kan? Yang di dalam binder hitam, kutandai label biru di sampingnya?"

Aku menggeleng dengan mulut mengerucut.

Ia memutar bola matanya sambil menghela napas. "Sudahlah, aku akan ikut denganmu."

>>>>>

Kami berjalan di jalan setapak setelah turun dari mobilku. "Kamu tidak pernah memberiku berkas itu." ucapku sambil merogoh tas untuk mengambil kunci rumah.

"Berapa kali aku bilang, El? Jelas-jelas aku sudah memberinya, dan kamu bilang siap boss." ucapnya, meniru gaya berbicaraku.

"Taruhan apa kalo berkas itu tidak ada di mejaku?"

"Dinner all you can eat di hotel bintang lima nanti malam."

Aku memutar kunci dan membuka pintu. "Kalo begitu, mari kita buktikan."

Aku sontak melangkah mundur dan mataku melebar sambil terkesiap. Andre bangkit dari sofa, meletakkan gitarnya, menyusuri pandangannya pada kami.

Selama sepersekian detik, kami hanya berdiri di sana, membentuk lingkaran, menatap satu sama lain dengan mulut terbuka. Aku dapat melihat Andre menganggukkan kepalanya seolah-olah dia telah memecahkan sebuah teka-teki rumit.

"Andre..." sapa Jaiden memecahkan keheningan.

Andre bersedekap lalu menaikkan dagunya. Tatapannya menajam. "Jaiden."

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku, mendekatinya ragu-ragu.

"Aku ke sini berharap untuk menemuimu, lalu aku ingat bahwa aku punya kunci candangannya. Lagipula, kamu pacarku, inget?" Ia menaikkan alisnya.

Napasku tercekat.

"Sebaiknya aku mengambil berkas itu-" ujar Jaiden, mendekati kami dengan was-was. "Bolehkah aku...?" Dia menunjuk ke ruang kerjaku.

Mataku masih terpaku pada Andre sebelum menjawab. "Ya-" Aku menoleh sedikit lalu berdeham. "Cari saja di laci mejaku."

Aku memperhatikan Jaiden berderap ke ruang kerjaku. Sepertinya dia lega berhasil menghindari situasi – aku bahkan tidak tau situasi macam apa yang aku hadapi saat ini.

Andre duduk di sofa sambil memainkan gitarnya. Aku duduk di sebelahnya. "Aku ke sini untuk mencari berkas."

Ia tidak menghiraukanku dan masih sibuk dengan gitarnya.

"Baru seminggu jadi Direktur, aku sudah melupakan beberapa berkasku di rumah." Aku terkekeh dengan harapan meringankan suasana hatinya. Sungguh mengejutkan, hal itu tidak berhasil.

"Kapan kamu tampil di panggung lagi? Belum ada panggilan?" tanyaku.

Andre memainkan gitarnya dengan rahang yang menegang. Tatapannya dingin dan keras. Napasku memburu dan bibirku mengering.

"Apa yang kamu mau dariku?"

Perkataan itu berhasil menarik perhatiannya.

Ia menatapku dengan alis berkerut. "Apa?"

"Apa yang kamu mau dariku? Apa yang salah denganku? Apa yang membuatmu berhak memperlakukanku seperti ini?" Aku bangkit saat dadaku mulai memanas.

Andre mendengus. "Kamu kira aku buta? Aku bisa melihatmu bersama boss-mu, El."

"Melihat aku dengan boss-ku ngapain? Apa maksudmu?"

"Jangan pura-pura bodoh. Kenapa kamu nggak ngaku aja? Itu alasannya kenapa kamu hindarin aku setiap kali aku membahas pernikahan kan?"

Rasa frustasiku meningkat. Aku dapat merasakan urat nadiku di leher terasa akan pecah sebentar lagi. "Dan kenapa kamu nggak ngaku kalo kamu suka sama Kayla?!"

"Jadi, kamu ngaku kalo kamu suka sama Jaiden?"

Aku terdiam.

Aku bahkan tidak bisa menjelaskan dinginnya tatapan Andre terhadapku. Seakan-akan dia tidak mengenaliku lagi. Dan mungkin aku juga tidak mengenalnya lagi. Bagaimana bisa kami yang begitu dekat dulu, menjadi begitu jauh? Seolah-olah kami tinggal di dua benua yang berbeda dan tidak pernah berbicara lagi.

Bagaimana bisa pria yang dulunya berarti seluruh dunia bagiku, menjadi tidak berarti sama sekali? Sejak kapan aku kehilangannya dari duniaku?

"El?" Jaiden berdiri di ambang pintu sambil memegang segulung berkas di tangannya.

Aku mengusap air mataku yang jatuh. "Aku akan menyusul ke mobil." ucapku, menoleh pada Andre yang sedang menunduk di sofa.

"Aku ada di kantor jika kamu mau menemuiku." ujarku setelah Jaiden menutup pintu depan.

Aku mengambil tas lalu berjalan keluar.

"Ellie!"

Aku menoleh. Andre berdiri di jalan setapak tanpa alas kaki. Pandangannya menerawang. "Aku ingin menyelesaikan masalah ini sekarang." ucapnya parau.

Tidak. Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu.

Aku belum siap untuk kehilangan Andre.

"Aku harus pergi kerja sekarang." Aku membalikkan badan sambil menarik napas panjang. Air mataku jatuh ke pipi. Kemudian aku berderap, memasukki mobil, dan menginjak gas.

Aku dapat melihat Andre masih berdiri di sana dari spionku. Makin mengecil di kejauhan, dan lama-lama menghilang saat aku membelokkan mobil.

Skyscraper DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang