Ooh, Fancy

3.1K 189 4
                                    

Aku memasukki ruang utama. Dapur di sebelah kananku - kitchen set marmer hitam yang mengilap, rak bumbu yang tertata rapi. Aku melihat meja makan di antara dua kursi. Vas bunga di tengahnya dan peralatan makan tertata rapi seperti di restoran persis di depan pintu sliding kaca yang menembus ke taman belakang. Tangga putar yang terbuat dari kayu menuju lantai 2 terletak tidak jauh di sebelah meja makan.

"R-rumahmu indah." Aku tidak bisa berdiam saja tentang rumah ini. Dengan penasaran, mataku menyusuri tiap inci dari tempat ini.

"Terima kasih. Aku harus menabung selama 8 tahun untuk memiliki tempat ini." Jaiden terkekeh. "Ayahku bukan tipe orang yang...,"

Pandangannya terarah ke langit-langit. "...yang memanjakan anaknya. Ayahku selalu ingin aku berjuang sendiri. Bahkan aku harus melewati interview dan magang untuk bekerja di perusahaan ayahku sendiri, El" lanjutnya sambil duduk setelah aku duduk.

"Ayahku juga tipe orang yang seperti itu." ucapku sambil memantapkan posisiku di kursi yang nyaman. "Ibuku selalu memaksaku untuk menikah dan punya anak, sementara ayahku selalu merendahkanku karena aku tidak memiliki pekerjaan yang mantap." lanjutku.

"Sebentar lagi, Ellie. Lihat saja nanti. Aku bisa membayangkanmu dipanggil Bu Direktur, punya kantor di sebelahku dengan satu kaki naik ke atas meja. Aku yakin hal itu dapat membuat Lauren menderita. Bukannya itu maumu?"

"Bukannya kamu dekat dengan Lauren?" tanyaku tanpa ragu.

Jaiden berbalik ke dapur untuk menyiapkan makanan di counter dapur, membelakangiku. Aku dapat melihat tulang belikatnya menonjol, menembus dari kemeja biru mudanya. Sebercak keringat tercetak di bayangan tulang belakangnya.

Jaiden menoleh. "Dekat?" ulangnya. Ia menyajikan sepiring pasta yang dilumuri saus putih (aku tidak tau apa namanya) kemudian menuangkan minuman dari jar ke gelasku. "Apa maksudmu?"

Jaiden mengajakku bersulang sebelum kami mulai makan. "Waktu itu aku sempat melihat kalian...," ucapku sambil mengunyah pasta. Aku menarik napas, menegakkan badan, dan memejam mataku. "Pasta ini enak sekali! Kamu yang masak sendiri?"

Jaiden bergidik. "Resep itu dari teman lamaku yang bekerja sebagai koki di Italia."

"Benarkah??" seruku.

Ia tersenyum hingga memperlihatkan lekukan di sisi matanya. "Nggak, aku belajar masak dari Youtube."

Dan aku pun terkekeh, membuatnya ikut tertawa geli sambil menggelengkan kepalanya. Ini adalah pertama kalinya aku melihatnya tertawa tanpa memalsukannya seperti saat rapat dengan dewan yang aku hadiri waktu itu. Aku baru menyadari bahwa rahangnya terlihat makin kokoh ketika senyumannya selebar ini.

Oke, sadarkan dirimu, Ellie.

Aku harus ingat aku punya Andre. Ingatlah alasan aku melakukan hal ini. Hanya makan malam bisnis. Itu saja.

Aku berdeham setelah tawa kami mereda. Dan aku memutuskan untuk kembali ke topik sebelumnya. "..., kalian terlihat akrab. Lebih dari akrab, kalo kamu tau maksudku." ucapku setelah menelan makanan.

Jaiden mendengus hampir tertawa sambil menggaruk dahinya dengan telunjuk. Pandangannya menerawang ke piringnya. "Kami memang dekat." ucapnya setelah jeda. "Tapi, aku tidak memandangnya lebih dari rekan kerja. Sejujurnya, dia memang sering merayuku, untuk jabatan Direktur itu tentu saja. Dan aku membiarkannya memainkan permainannya sendiri. Aku ikuti saja jalurnya, penasaran sampai mana dia akan memainkannya."

"Itu terdengar...," Aku menggulung pasta di garpuku. "Cerdas, licik, atau jahat?" tanyaku.

"Cerdas." jawabnya.

Skyscraper DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang