That's Suspicious

2.6K 175 0
                                    

Aku menggigit roti isi selai selagi aku berjalan ke kantor, melewati lobi depan, dan aku melihat setidaknya 5-8 orang yang tidak terlalu kukenal menyapaku, tersenyum padaku, bahkan berjabat tangan denganku. Mungkin aku mengenakan baju yang cocok sehingga aku terlihat memukau hari ini. Tidak kusangka stiletto hitam ini dapat membuat kaki pendekku terlihat lebih jenjang.

Aku melewati meja resepsionis lalu membuang bungkusan rotiku ke tong sampah. Aku mendongak dan melihat Stella, si resepsionis, bersedekap dengan senyuman simpul di wajahnya. Aku masih ingat pertama kalinya aku memasukki gedung ini, aku langsung disambut olehnya dan berbagai bunyi gemerincing yang muncul dari gelang-gelang di tangannya.

Alisku berkerut. "Apakah ada sesuatu di wajahku? Ada apa dengan semua orang pagi ini?!" seruku.

Stella menaikkan gelang-gelang di pergelangan tangannya lalu bergidik. "Aku tidak tau apa-apa tentang apapun." Ia berbalik badan, mengayunkan anting loop lebarnya, berpura-pura sibuk mengetik di depan komputernya.

Aku melanjutkan perjalananku ke kantor dengan waspada. Kemudian mataku membelalak ketika melihat kantorku kosong melompong. Mejaku hilang, komputerku hilang, sofaku, bingkai-bingkai fotoku, lemariku..., semuanya.

Apakah aku dipecat? Apakah aku salah masuk gedung??

Mulutku menganga. Aku menyebrang terhuyung-huyung ke kantor Jaiden untuk menuntut penjelasan.

"Apa-apaan ini?? Kamu kira ini lucu??" Aku melangkah cepat ke mejanya.

Jaiden memundurkan kursinya dengan mata melebar. "Coba kamu tenang."

"Tenang?? Kemana semua barangku pergi??"

Ia berdiri dari kursinya lalu menuntunku ke sebelah kantornya sementara aku masih mengejar napasku. Aku melihat barang-barangku telah ditata rapi persis seperti kantorku yang lama. Hanya saja, sekarang kantorku berada di sebelah kantor Jaiden, dan mataku memandang plat nama yang bertuliskan Direktur di atas mejaku.

Kepalaku berputar, napasku tercekat, mulutku masih terbuka lebar.

Jaiden berkacak pinggang, menatapku penuh makna. "Selamat datang di hari pertamamu, Bu Direktur." ucapnya sambil menghentangkan salah satu tangannya ke arah meja untuk menyambutku.

Aku terkesiap dan tidak bisa berkata-kata.

Joline, Vanessa, Christian, dan seluruh karyawan berderap memasukki kantor sambil bersorak dan bertepuk tangan. Aku mendengar banyak pujian dan selamat dari mereka kemudian aku melihat Lauren memasukki kantor paling terakhir dengan mata membengkak. Sepertinya dia baru saja menangis di toilet.

Aku menyentuh dadaku yang masih naik turun dan mengucapkan terima kasih kepada mereka semua. Terutama pada Joline yang terus memukuli lenganku dan Vanessa yang memelukku. Christian menyentuh bahuku dan mengucapkan selamat.

Kemudian aku melihat Jaiden berdiri di ujung ruangan, tangan dimasukkan ke kantong celana, bersandar di lemariku. Senyumannya membentuk lekukan di pipi dan matanya. Tatapannya hangat lalu ia memberikan anggukan hormat.

Aku tersenyum dan membisikkan terima kasih.

>>>>>

Aku meletakkan telingaku di perut Sydney yang makin membesar dan mendengar suara detak jantung bayi yang berdetak seperti kereta api yang melaju. "Ini bulan ke-7 kan?" Aku melepaskan telingaku darinya lalu bersandar di bahu Sydney di sofa. "Kenapa kamu terlihat besar sekali?"

Sydney terkekeh lalu mencubiti lenganku sehingga aku berlari kabur ke dapur.

"Bu?" ujarku sambil mengintip dari pintu dapur.

Aku mendengar suara sendok yang berdenting di mulut cangkir dan mencium aroma kopi yang menyengat. Lalu aku melihat ayahku di counter dapur. Ia membalikkan badannya dan melihatku.

"Ellie." sahutnya saat aku hendak membalikkan badan.

Aku tidak ingin berdebat atau mendengarkan ocehannya sampai telingaku panas dan kepalaku pecah saat ini. Tidak, terima kasih.

"Ya?" Terpaksa aku menoleh.

"Sini sebentar." Ia mengaduk kopinya lalu meletakkan sendok di wastafel dapur.

Oh, tidak.

Aku menelan ludah dan membersihkan kemejaku, menyiapkan diriku untuk dihancurkan, lalu menghampirinya perlahan.

Ia menghembuskan napas. "Apakah kamu benar-benar mendapatkan jabatan itu?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Kamu benar-benar memiliki jabatan Direktur?"

"Iya, yah. Aku benar-benar mendapatkan jabatan Direktur di perusahaanku. Aku tau itu perusahaan yang kecil, tapi setidaknya aku telah berusaha keras untuk mendapatkan posisi itu. Ayah nggak tau apa yang telah aku perbuat, apa yang aku lewati selama ini. Ayah nggak pernah ada untukku, nggak pernah mendukungku. Aku tau aku tidak sehebat Sydney, aku tidak bisa meraih posisi setinggi dia, aku tidak punya suami ataupun anak. Tapi, aku merasa puas dengan posisi yang aku dapatkan saat ini, dan aku puas dengan hidupku sekarang. Kalo ayah nggak puas dan nggak bangga denganku, dengan senang hati aku bisa pergi dari rumah, dan ayah nggak usah repot-repot menganggap aku anak ayah."

Kata-kata itu keluar dari mulutku secara tiba-tiba seperti muntah. Aku mau saja menariknya kembali tapi waktu tidak bisa diputar. Maka, aku hanya menerima kenyataan sambil menunduk dan mengusap mulutku yang tertutup rapat.

Lalu hening.

Aku memberanikan diri untuk melihatnya. Mata ayahku melebar. "Ellie," ucapnya sambil meletakkan cangkirnya. "Ayah nggak pernah ingin kamu gagal. Ayah ingin kamu sukses, ingin kamu punya kehidupan yang baik. Siapa yang bilang kamu harus seperti Sydney?" ujarnya.

Aku bergidik. "Ayah selalu membanding-bandingkan aku dengan Sydney. Pernahkah aku mendengar ayah bahwa ayah bangga denganku? Tidak kan?"

"Jika ayah tidak pernah mengatakannya, bukan berarti ayah tidak bangga kan?" Ia menaikkan alisnya. "Ayah tau selama ini sikap ayah seperti apa, El. Ayah minta maaf."

Bahuku merosot. Mimpi apa aku semalam?

"Ayah cuman nggak mau kamu kecewa sama hidupmu. Selama ini, kamu sendiri ynag merasa hidupmu kurang. Kamu tidak perlu merasa begitu. Apa lagi yang kurang dari hidupmu, hm?"

Aku menghembuskan napas lega. Ayah mendekat lalu memelukku. Mengapa selama ini aku tidak berkata jujur padanya? Apa yang membuatku begitu membencinya selama ini? Aku mengulurkan tanganku ke punggungnya.

Dan aku terbawa ke masa dimana ayah dan aku sedang mencari coklat di supermarket untuk hari ibu. Aku memilih coklat yang berbentuk hati sementara ayah ingin membelikannya susu coklat untuk tulang. Ayah tetap saja bersikeras bahwa ibu lebih membutuhkannya daripada sebatang coklat dan aku hanya dapat mendengus.

Kehangatan tubuhnya masih sama seperti di hari pertama aku duduk di kelas SD dan ayah rela menemaniku padahal ia sudah terlambat untuk mengajar di kampus. Kemudian ia memelukku di depan kelas sebelum aku ditemani guru dan masuk ke dalam.

Kami menoleh ketika mendengar ketukan pintu. Sydney, Michael, dan ibuku mengintip dengan senyuman jail di wajahnya. "Apakah kami mengganggu?" tanya ibuku.

Aku melepaskan tanganku sambil menggeleng. Ayahku mengambil cangkirnya lalu melangkah keluar. "Makanannya udah siap, bu?" tanya ayahku. Ibuku melangkah bersamanya.

"Apa yang aku lewati? Apa yang terjadi?" tanya Sydney.

Michael mengambil soda dari kulkas. "Aku menduga kalian baikan?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Kurang lebih."

Skyscraper DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang