"Cheers!"
Kami mengacungkan gelas kami ke atas dan menempelkannya ke satu sama lain yang menimbulkan bunyi berdenting lalu meneguk segala macam minuman yang disediakan di atas meja.
Musik yang beredar di ruangan membuat Joline tidak bisa berhenti menari. Vanessa dan Christian berdansa di tengah ruangan, sementara aku terus mengisi gelasku dengan soda dan mengisi perutku dengan camilan yang tersedia di meja.
Jaiden memutuskan untuk mengajak mereka untuk bekerja di sini. Dengan senang hati, mereka menerimanya tanpa berpikir lagi. Terutama Joline yang terus-menerus berterimakasih kepadaku dan Jaiden karena telah mengeluarkannya dari yang dikatakannya 'lubang neraka'.
Aku dan Jaiden telah berhasil merekrut 5 orang di bagian Marketing and Business Development, 6 orang di Finance and Adminsitration, dan 10 lainnya di bagian Sales. Masih banyak posisi yang belum terisi, namun kami yakin kami akan menemukannya segera.
Malam ini kami mengadakan pesta kecil pembukaan kantor dengan seluruh pegawai. Sebenarnya, Joline yang mengusulkan hal ini. Katanya dia butuh refreshing agar bisa berkonsentrasi dalam pekerjaannya besok. Aku tau itu hanyalah sebuah alasan tapi biarkan saja dia menikmati waktunya di sini.
Aku mencicipi keripik jagung yang tersedia di dalam mangkok besar sambil berkeliling kantor, menjauhi diriku dari musik yang berdentum, lalu memasukki kantorku yang telah didekorasi dengan rapi, sesuai dengan bayanganku sebelumnya. Aku menyandar di meja dan menatap pemandangan dari jendela kaca raksasa – melihat lampu-lampu kota berkilauan di langit malam.
Aku menengok saat mendengar ketukan pintu.
"Apakah aku menganggu?" Jaiden mengintip di ambang pintu.
"Tidak, masuk saja." Aku mengibaskan tanganku, mengundangnya untuk masuk.
Kali ini pakaian Jaiden terlihat lebih santai. Aku dapat melihat dasinya menyembul dari kantong celananya dan kancing atas kemeja putihnya dibuka. Seperti biasa, tulang selangkanya terlihat.
Ia menghampiriku dengan segelas minuman di tangannya lalu bersandar ke meja di sebelahku sambil menghembuskan napas. Rambutnya telah melebihi telinga dan belahan rambutnya makin terlihat. Beberapa poninya jatuh saat dia menunduk. Bibirnya yang tipis sedikit melekuk ke atas.
"Kapan terakhir kali kamu pergi ke salon?" Sepertinya mulutku berkhianat dan memutuskan untuk mengeluarkan semua yang ada di pikiranku.
Jaiden mengerjapkan matanya beberapa saat dan mendengus sebelum menjawab. Ia menatapku sekilas. "Apa?"
"Um, rambutmu...," ucapku ragu. "Rambutmu sudah panjang." Telunjukku mengacung ke rambutnya.
Ia mengusap rambut sambil terkekeh. "Akhir-akhir ini aku tidak sempat merawat diri. Kamu tau kan sibuknya seperti apa kemarin-kemarin?"
Aku mengangguk. "Aku masih tidak percaya semua ini terjadi."
"Percayalah. Kamu berhasil melakukan semua ini. Kamu berhasil melakukannya."
"Well, aku sangat berterima kasih padamu."
Dia menatapku dengan alis berkerut. "Untuk apa?"
"Untuk semua hal yang kamu lakukan untukku." ujarku.
Ia menunduk sambil memegang tengkuk lehernya lalu ia tersenyum lebar. "Kita melakukan semua ini bersama-sama, El." ucapnya setelah menyusuri pandangannya padaku.
"Hei, boss-boss besar nggak mau pidato? Semuanya lagi ngumpul di lobi." Joline muncul di ambang pintu.
"Apa? Nggak mau ah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Skyscraper Desire
RomanceMeraih kesuksesan dalam karir tidaklah sulit untuk diraih Ellie dalam usia mudanya. Segala yang dimiliki Ellie di dalam kehidupannya nyaris lengkap dan sempurna. Namun, ruangan Ellie yang berseberangan dengan atasannya membuat semuanya hancur berant...