Note: Jangan dibaca di waktu-waktu sholat. membaca Al-qur'an lebih utama dibandingkan cerita ini.
Air mata Aiza terus mengalir ketika memandangi seorang wanita yang sedang ditangani oleh Dokter. Ia menutup matanya saat melihat jarum-jarum tajam mulai menghujam kulit wanita paruh bayah yang tidak lain adalah ibunya.
Sepuluh tahun telah berlalu. Saat itu Aiza hanyalah seorang anak kecil yang begitu polos dan belum mengerti kekejaman dunia hingga ayahnya sendiri memperlihatkan kekejaman itu di depan mata Aiza. Ayahnya membawa sosok perempuan yang diperkenalkan sebagai mama baru bagi Aiza.
Ayah Aiza berpoligami tanpa sepengetahuan mereka. Hal itu memberi guncangan besar bagi batin ibunya. Bagaimanapun ibunya hanyalah seorang wanita yang begitu mencintai suaminya.
Pada awalnya poligami itu berjalan baik-baik saja, meski terkadang ayahnya lebih sering menginap di rumah istri mudanya. Hal itu semakin membuat perasaan ibu Aiza tertekan.
Puncak segala kemalangan yang ia alami adalah ketika istri baru ayahnya melahirkan. Laki-laki yang ia sebut Ayah itu, benar-benar tidak pernah lagi kembali ke rumah mereka. Ayahnya membuang mereka.
Ingatan Aiza masih begitu segar tentang hari itu. Hari ayahnya pulang ke rumah dan mengambil semua pakaiannya dalam sebuah koper yang begitu besar. Kaki Aiza yang kecil mencoba berlari mengejar sang ayah, sembari terus memanggil, Papa.
Namun, rupanya hati yang dimabuk cinta mampu membuat seorang ayah lupa pada darah dagingnya sendiri. Bahkan saat si kecil Aiza terjatuh, karena mengejar kepergian laki-laki itu. Laki-laki itu tak tergerak untuk menghentikan mobil yang ia kendarai, untuk sekedar bertanya.
"Apa kamu baik-baik saja, Nak?"
Tiga tahun setelah ayahnya meninggalkan mereka, ibunya baik-baik saja. Namun, semua itu tidak bertahan lama tepat di usia Aiza yang ke 15, ibunya tidak mampu menahan tekanan batin yang ia rasakan.
Rupanya selama ini wanita paruh baya itu menyimpan segala sakit harinya sendiri. Pada akhirnya perasaan itu membuat ibunya begitu stress dan dilarikan ke rumah sakit jiwa.
Saat itulah, Aiza benar-benar hanya hidup dari belas kasihan orang di sekitarnya. Hidup sebatang kara, membuat Aiza akhirnya berakhir di panti sosial. Hanya tempat itu yang menerimanya.
Takdir tak berhenti mempermainkan Aiza. Beberapa hari setelah dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Wanita yang ia panggil ibu itu melarikan diri dari rumah sakit.
Wanita itu berlari ke tengah jalan raya yang penuh dengan kendaran. Malang tak bisa dielakkan. Kecelakaan tunggal pun terjadi. Ibunya menjadi korban. Kecelakaan itulah yang membuat wanita paruh baya itu terbaring di ranjang pesakitan tanpa tahu kapan akan terbangun.
"Dokter, bisakah saya pergi?"
"Kau tidak ingin menemui ibumu?"
"Pekerjaan paruh waktu saya menunggu. Saya tidak ingin dipecat, Dokter Aris."
Dokter itu hanya mengangguk dan tersenyum sedih menatap kepergian Aiza. Ia sudah mengenal gadis itu sejak 3 tahun yang lalu saat gadis itu masih berusia 17 tahun, gadis yang kuat dan mandiri. Hanya dia yang ibunya punya, karena itu ia bekerja keras untuk membiayai ibu dan dirinya. Dulu Aris banyak mendengar kisahnya dari rekan-rekan kerjanya. Kisah anak yang ditinggalkan ayah kandungnya sendiri, berjuang hidup bersama ibu yang gila.
"Aiza jika butuh bantuan, hubungi aku," ucap Aris.
Aiza tersenyum pada Aris. "Baik Dokter, titip Mama yah."
~~~***~~~
Ingar binar musik club malam terdengar begitu bising di telinga Aiza. Beberapa kali ia menarik rok yang menurutnya terlampau pendek. Ia benar-benar tidak nyaman dengan seragam yang disediakan oleh club, tetapi pekerjaan sebagai pelayan pengantar minuman di club memberinya uang saku yang cukup besar. Sangat cukup untuk menabung biaya rumah sakit dan biaya kuliahnya.
Yah, meski biaya pengobatan ibu dan biaya kuliahnya mendapat bantuan dari beberapa yayasan peduli masyarakat, tetapi proses pencarian dananya butuh proposal ini dan itu. Namun, tetap saja untuk membeli buku dan kebutuhan lainnya tidak ditanggung oleh yayasan yang memberinya tunjangan. Sehingga ia harus tetap bekerja banting tulang.
Satu hal yang disyukuri Aiza dari pekerja adalah make up. Make up yang karyawan gunakan sangat tebal. Sehingga wajahnya tidak mudah dikenali hanya dengan sekali lihat.
"Hai cantik, temani Om yah!" ucap seorang laki-laki paruh baya pada Aiza.
Aiza tersenyum sungkan. "Maaf Om, saya tidak menjual diri, saya hanya pelayan di sini."
"Hai Om, aku aja yang temanin yah, Om," ucap wanita yang berpakaian mini yang tiba-tiba berlari ke arah Aiza.
"Aiza, kamu ke dalam!" perintah Rini dan langsung dibalas anggukkan oleh Aiza.
"Makasih Mba Rini," ucap Aiza berbisik.
Aiza menatap Rini dengan tatapan sendu dan berterima kasih, salah satu yang membuat Aiza dapat bertahan tanpa ternoda di pekerjaan sebagai pelayan club malam ini adalah Rini. Wanita yang memiliki cerita yang sama dengan dirinya, sama-sama berasal dari keluarga broken home.
Namun, Rini kurang beruntung karena dijebak seseorang di dunia malam saat ia masih begitu polos, hingga membawanya pada pekerjaan yang dianggap seluruh umat manusia itu hina. Yah, Rini bekerja sebagai kupu-kupu malam yang menjajakan diri.
"Bagai kaca yang retak seperti itulah tidak mungkin utuh lagi, maka Mba Rini meneruskan pekerjaannya ini. Toh terlanjur rusak, sekalian hancur." Begitulah kata Rini dulu ketika Aiza menanyakan kenapa Rini tidak berhenti dari pekerjaannya itu.
"Aiza, sudah Mba bilang sebaiknya kamu berhenti dari pekerjaan ini. Bisa saja suatu hari Mba tidak ada dan tidak ada yang menolong kamu," ucap Rini dengan penuh rasa khawatir.
"Aiza butuh uang untuk biaya pengobatan Ibu, Mba."
Aiza menatap Rini dengan raut wajah tidak sungkan, bagaimanapun Rini sudah seperti kakak baginya. Ia berharap suatu hari dapat mengeluarkan Rini dari dunia malam ini. Ia tidak ingin membebani Rini dengan masalahnya
Rini menghela napas menatap Aiza dengan pasrah. "Lain kali hati-hati! wanita itu sekali rusak tidak akan pernah utuh," kata Rini menasehati.
Aiza hanya membalas Rini dengan anggukan. Rini melihat jam tangannya.
"Belum mau pulang?" tanya Rini saat melihat jam menunjukan pukul satu pagi.
"Iya Mba, tadi saat Mba masih diluar Aiza sudah izin sama Bos," jawab Aiza dan tersenyum.
Rini memeluk Aiza dengan sayang. Ia memang sudah menganggap Aiza sebagai adik sendiri.
"Hati-hati di jalan."
Aiza hanya mengangguk dan membalas pelukan Rini sebelum akhirnya meninggalkan Rini dan keluar lewat pintu belakang. Rini mantab punggung Aiza dengan tatapan sendu, punggung kecil yang menanggung begitu banyak beban di usianya yang masih muda.
"Ya Allah jagalah anak itu." Doanya dalam hati.
Rini sadar ia adalah wanita yang hina. Ia tahu perbuatannya ini salah, tapi entah kenapa terasa begitu berat baginya untuk meninggalkan tempat hina yang penuh dosa ini.
Bersambung ....
"Semua orang dalam hidup mereka diberi hidayah oleh Allah, hanya saja kembali pada orang tersebut ia mau menerima hidayah itu atau tidak. Bahkan rasa tidak enak atau rasa bersalahpun, bisa jadi itu bentuk hidayah yang dikirikan pada hambaNya, namun tidak disadari oleh hambaNya."
Ini pernah saya dengar dari ceramah dan nasehat dari murobbi kami. Hidayah itu tidak kita tahu datangnya darimana karena itu selama ada seseorang yang mengajak kepada kebaikkan seperti, ayo ke taklim atau ayo ke majelis. Ikutlah siapa tahu itu bentuk hidayah yang dikirimkan pada dirimu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni Takdir ✅
EspiritualCerita The End (chapter masih lengkap) Terbuang dan ditinggalkan oleh sang Ayah membuat Aiza harus mencicipi pahitnya dunia malam demi membiayai ibunya yang koma di rumah sakit. Berbagai kejadian membuat ia dipertemukan dengan sosok yang tidak terd...