Note: Jangan dibaca di waktu-waktu sholat dan membaca Al-qur'an lebih utama dari cerita ini.
Jangan lupa vote, kritik dan saran. silahkan di komentar.
Sebuah buket bunga mawar digenggam Aiza dengan erat. Hari ini setelah mendapatkan pengusiran oleh Dosennya.
Aiza memutuskan kembali mampir ke rumah sakit, mengunjungi ibunya. Ia melihat ibunya yang lagi-lagi sedang berbaring dan tampak damai. Tidak ada perubahan berarti dari kondisi ibunya.
"Selamat sore, Ma. Aiza datang jenguk Mama, Mama baik-baik sajakan?" Tidak ada balasan dari ibu Aiza. Apalah yang ia harapkan dari seseorang yang koma.
Aiza memandang ibunya dengan tatapan sendu. "Oh ia, Aiza bawa bunga kesukaan Mama, cantikkan?"
"Aiza taruh di sini yah, Ma." Aiza mengganti bunga dalam pot yang telah layu.
"Mama ... Mama harus sembuh dan menemani Aiza. Aiza sayang Mama." Aiza mengecup kening ibunya sebelum meninggalkan wanita paruh baya itu.
Aiza menutup pintu ruangan ibunya dengan perlahan. Setelah memeluk ibunya sebentar, ia segera keluar dari ruangan itu karena takut tidak sanggup menahan air matanya dan memperburuk kondisi ibunya.
~~~***~~~
Hembusan angin menyambut Aiza dan Dokter Aris ketika pintu atap gedung rumah sakit terbuka, menampakkan halaman yang begitu luas. Tampak sunyi dan menenangkan.
Sejak tiga tahun lalu, ini adalah tempat ia dan Dokter Aris bercerita, entah tentang perkuliahannya ataupun hanya sekedar basa basi. Dokter Aris akan menemaninya meski terkadang ia akan turun lebih dulu jika ada panggilan darurat.
"Menangislah jika ingin menangis! Di sini tidak akan ada orang yang mendengarmu," ucap Dokter Aris menatap Aiza.
"Dokter akan melihatku, wajahku cukup buruk saat menangis." Canda Aiza.
Aria tersenyum, "Dasar ... Baiklah, Aku akan ke bawah, banyak pasien yang harus aku tangani."
"Terima kasih Dokter." Aris tersenyum dan mengangguk sebelum meninggalkan Aiza.
Aiza dapat melihat pemandangan kota Jakarta dari atap gedung rumah sakit. Ia menutup matanya, menghirup udara segar yang menerpa wajahnya. Ketika Aiza membuka matanya, pandangan sendu itu tidak dapat ia tutupi lagi, seperti saat ia berada di hadapan orang lain. Di sini dia sendirian dan dapat mengekspresikan dirinya dengan bebas, tidak perlu berpura-pura bahagia atas segala kesulitan hidupnya.
"Aku membencinya hingga sampai pada titik aku jijik pada diriku sendiri karena dalam darahku mengalir darahnya," gumam Aiza dalam hening.
Aiza memandang langit yang tampak cerah. Begitu berbanding terbalik dengan dirinya yang selalu dirundung kesedihan dan kemalangan, sejak hari ayahnya memutus ikatan darah di antara mereka.
"Tuhan, jika kau ada, kenapa kau memberiku takdir semacam ini?" Air mata Aiza mengalir membasahi pipinya, meski ekspresi wajahnya tetap datar.
"Aku mendengar bahwa kau berada di langit, Apa kau melihatku sekarang? Di antara sekian banyak manusia yang ada, kenapa harus aku?" tanya Aiza pada langit.
Aris yang sejak tadi melihat Aiza dari balik pintu yang tidak tertutup segera menghampiri Aiza. Sebenarnya ia tidak turun dari atap, ia hanya memberikan Aiza waktu untuk sendirian dan terus memperhatikkan apa yang dilakukan gadis itu.
"Aiza, apa yang kau lakukan?" tanya Aris bersikap seolah-olah tidak mendengar apa yang gadis itu ucapkan sebelumnya.
"Dokter?" Aiza menatap Dokter Aris dengan tatapan hampa dan wajah sebab penuh air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni Takdir ✅
EspiritualCerita The End (chapter masih lengkap) Terbuang dan ditinggalkan oleh sang Ayah membuat Aiza harus mencicipi pahitnya dunia malam demi membiayai ibunya yang koma di rumah sakit. Berbagai kejadian membuat ia dipertemukan dengan sosok yang tidak terd...