Bab 12. Tak Mungkin Memiliki

415 32 1
                                    

Note: jangan dibaca diwaktu-waktu sholat. Kalau belum membaca Al-Qur'an utamakan membaca Al-Qur'an terlebih dulu.

Jangan lupa komentar kritik dan saran serta votenya

🌸🌸🌸

Saat ini Aiza sedang berada di rumah Dokter Salsa. Siapa sangka Aiza akan menyaksikan lamaran laki-laki yang ia cintai dengan mata kepalanya sendiri. Sakit, memang tapi seperti itulah takdir mempermainkannya. Tidak ada pilihan antara ia dan Aris selain saling melepaskan.

Sekilas Aiza menatap Aris. Aiza tidak dapat menebak apa yang laki-laki itu pikirkan. Ia terlihat tegang dan tidak tenang seperti seseorang menunggu keputusan antara hidup dan mati.

Aiza teringat percakapannya dengan Aris sebelum datang ke rumah Dokter Salsa. Aiza bertanya pada Aris kenapa ia memutuskan melamar Dokter Salsa. Aiza bertanya. 'semudah itukah hatimu berpaling?' Dan jawaban Aris sangat singkat tapi membuat Aiza tidak dapat berkutik.

'Karena Salsa wanita yang sholehah. Mudah bagiku untuk mencintainya.' Jawaban Aris membuat Aiza mengerti. Ada pesona Dokter Salsa yang tidak ia miliki.

Entah harus bersyukur atau menangisi nasib. Di satu sisi Aiza bersyukur Aris dapat dengan mudah membebaskan hatinya dari cinta yang tak mungkin bersatu. Tapi di sisi lain, hati Aiza hancur. Bagaimanapun ia pernah mencintai laki-laki itu.

"Kami sudah bicara tentang lamaran yang beberapa minggu lalu Nak Aris ajukan. Alhamdulillah lamaran Nak Aris diterima oleh putri kami." Ucap laki-laki yang tampak seumuran dengan Pak Pratama itu.

"Alhamdulillah," ucap Aris dan Pak Pratama bersamaan.

Percakapan berlanjut membahas tentang tanggal pernikahan, resepsi dan mahar serta mas kawin seperti apa yang Salsa inginkan. Aiza hanya diam menyaksikan semua yang terjadi. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri.

~~~***~~~

Di saat bulan mulai meninggi, semua orang tertidur dan bermimpi. Dibalik guling yang meredam suaranya, Aiza menangis diam-diam. Ia menangisi nasib yang begitu tidak berpihak padanya.

Hatinya hancur tapi tidak mampu berkeluh kesah pada siapapun. Tidak ada seorang ibu yang dapat memberinya wejangan tentang kehidupan memberinya semangat. Ia tak mampu bercerita pada ayahnya, apalagi Aris yang menjadi sumber air matanya. Tidak ada siapapun selain dirinya sendiri.

Sejak awal Aiza memang tidak berharap lebih dari Aris tapi saat ia kehilangan ibunya, perasaan yang ia tutupi selama ini muncul begitu saja. Menjadikan Aris satu-satunya harapan dan tumpuan untuk berdiri tegak dari keterpurukan. Aiza tidak pernah mengira bahwa Aris akan manjadi sumber air matanya yang lain.

"Kenapa rasanya sesakit ini, Tuhan?" gumam Aiza dalam keheningan malam.

Aiza menutup matanya yang sembab dengan tangan sesekali ia menghela napas dengan lelah. Dalam keadaan masih sesegukan, ia mencoba tertidur sembari berharap semoga esok menjadi lebih baik.

~~~***~~~

Setelah semalam Aiza diam-diam menangisi lamaran Aris dan Salsa. Aiza telah telah memilih mengalah dengan masa lalu. Ia mungkin tidak bisa memaafkan ayahnya sebab luka yang ada dihatinya tidak dapat sembuh dengan cepat. Namun ia tidak dapat mengubah takdir yang bisa ia lakukan hanyalah menjalaninya. Apalagi Ayah dan Ibu Riska pun telah mendapatkan hukuman mereka masing-masing, tidak seharusnya ia terus tenggelam dalam dendam dan menyakiti diri sendiri, ia harus bangkit.

"Kapan Ibu Dokter ... ah maksud saya Ibunya Kak Aris bisa pulang?" tanya Aisa.

Aris tertegun dengan panggilan kakak yang diucapkan Aiza. Apalagi Aiza bertanya tentang ibunya, mengingat selama ini, gadis itu sangat membenci ibunya.

"Ah ... Ibu sudah sadar. Jika keadaannya terus membaik sebelum resepsi ia sudah bisa pulang." Aiza mengangguk menanggapi jawaban Aris.

"Oh," hanya itu yang dapat Aiza ucapkan, ia tidak tahu harus berkata apalagi. Ia hanya diam dan terus melanjutkan acara sarapan paginya.

~~~***~~~

Seminggu berlalu sejak lamaran yang Aris. Aiza membuka pintu kamar rawat dengan pelan. Hari ini ibu Aris akan keluar dari rumah sakit, tapi ada pasien yang harus Aris operasi, mungkin ia akan telat menjemput ibunya sehingga ia meminta Aiza untuk menggantikannya.

Aiza melihat Ibu Riska yang tampak begitu tenang duduk diatasnya ranjang dengan tatapan damai tertuju pada jendela. Sekilas ia terlihat seperti orang normal.

Perlahan tanpa menimbulkan bunyi Aiza meletakan tasnya diatas sofa dan membuka jendela kamar lebih lebar agar wanita itu dapat melihat pemandangan luar lebih jelas.

"Maafkan aku," gumam Ibu Riska membuat tangan Aiza terhenti dan segera menoleh pada wanita itu.

"Maksud Ibu?" Aiza bertanya namun tidak ada balasan lagi dari Ibu Riska. Ia kembali dalam dunianya yang hening.

Aiza memilih tidak menanggapi lagi. Ia kemudian meminta izin untuk mengganti pakaian wanita paruh baya itu. Kemudian mengambil tas yang dibawanya dari rumah dan mengisi beberapa pakaian serta beberapa kebutuhan yang dipakai Ibu Riska selama di rumah sakit.

"Sudah siap?" suara pintu yang terbuka membuat Aiza menoleh. Ia mendapati Aris tengah membuka pintu kamar rawat.

"Sudah," ucap Aiza sembari menarik resleting tas.

Aris menghampiri ibunya, membimbing wanita itu untuk turun dari bangkar. Kemudian mengambil tas di tangan Aiza dan menyerahkannya pada supir.

"Tolong bukakan pintu," pinta Aris dan segera dilakukan Aiza.

Mereka telah berada didalam mobil. Aris duduk di jok depan sedang Aiza dan Ibu Riska di jok belakang. Sepanjang perjalanan Aiza hanya menatap jalanan yang mereka lewati, membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya.

"Jilbab kamu kemana?" tanya Aris.

Hari ini memang Aiza memutuskan tidak memakai jilbab yang sudah beberapa minggu ini senantiasa menutupi rambutnya, sebab menurutnya ia tidak pergi ke tempat yang membahayakan. Toh selama perjalanan ia naik mobil jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Oh, itu di rumah Dok ... maksudku Kak. Toh aku tidak pergi jauh cuma jemput Ibu Kak Aris saja, lagian selama perjalanan juga aku di mobil. Jadi tetap ketutup kan."

Aris hanya mengangguk, tidak menanggapi lebih meski ia tahu konsep jilbab yang diucapkan Aiza itu jelas salah. Ia mengerti, adiknya itu orang yang baru belajar jadi butuh proses untuk membimbing dan memberitahunya, mengingat adiknya itu juga meragukan Tuhan bahkan agamanya.

Apalagi sejak pertama kali bertemu dengan Aiza, wanita itu memang tidak berjilbab jadi sangat wajar baginya menganggap jilbab hanya dipakai ditempat-tempat tertentu saja. Selama ini tidak ada yang mengajari Aiza mana yang salah dan mana yang benar karena besar tanpa sosok ibu dan ayah. Aris mengerti, pelan-pelan ia akan mengajari Aiza.

Bersambung ....

Selama aku masih menjalani masa karantina 14 hari jadi lancar menulis, masa karantina aku sisa 3 hari lagi, doakan yah selama tiga hari itu aku sehat-sehat aja.

Karena aku lagi di kampung aku nulisnya di hp, jadi gampang ngetiknya. Kalau udah selesai menulis tangan rasanya gatel kalau nggak langsung posting, jadi langsung kuposting.

Semoga kalian senang dengan update yang sering-sering ini.

Untuk Luka Hati Sabrina aku baru selesai tulis premisnya supaya aku updatenya teratur. Jadi untuk beberapa hari kedepannya Luka Hati Sanrina belum akan update.

Simfoni Takdir ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang