Bab 16 Petak Umpet

342 32 7
                                    

Note: jangan dibaca di waktu-waktu sholat. Membaca Al-Qur'an lebih utama dari cerita ini.

🌸🌸🌸

Aiza menutup wajahnya dengan buku. Kali ini tentu saja ia membaca judulnya terlebih dahulu sebelum menjadikannya senjata untuk menghindari Alif. Ia terus bersembunyi di balik rak-rak buku sembari melihat keberadaan Alif dari jauh. Ia berjalan dengan berjingkat agar tidak menimbulkan suara yang mungkin saja akan menarik perhatian orang-orang termasuk Alif.

"Bisa mati kutu aku kalau ketemu Pak Alif di sini," batin Aiza berbicara.

Elisa kembali berjingkat ke rak buku lainnya ketika melihat Alif akan datang ke rak buku tempatnya bersembunyi. Ia menghembuskan napas dengan lega saat Alif tak menyadari keberadaannya.

Tepukan Salsa membuat Aiza terkejut. Ia hampir saja berteriak jika Salsa tidak membekab mulutnya.

"Apa yang kau lakukan, Aiza?" tanya Salsa heran dengan tingkah aneh Aiza.

Elisa menghembuskan napasnya lemah. "Maaf Mba Salsa, apa kita bisa ke toko buku lain? sejujurnya di sini ada Dosen saya. Saya tidak ingin bertemu dengan orang-orang di masa lalu saya," ucap Aiza dengan perasaan sungkan.

Salsa menggangguk mengerti. Ia tidak bertanya lebih lanjut pada Aiza, karena itu adalah masalah pribadi Aiza. Tidak semua masalah dapat dibagi dengan orang lain. Apalagi mereka baru saja mulai akrab. Wajar Aiza belum leluasa bercerita padanya.

"Baiklah, kalau begitu kita ke toko buku lain saja."

Permainan 'petak umpet' dengan Alif, akhirnya selesai juga saat mereka keluar dari toko buku dengan tentengan belanjaan Salsa. Aiza tidak membeli apapun karena fokus bersembunyi dibandingkan memilih buku bacaan yang dapat menambah wawasannya tentang agama.

Sesampainya di parkiran, rupanya keberuntungan Aiza tidaklah sebaik itu. Sekarang Alif berjarak beberapa meter darinya dan tanpa sengaja mereka saling bertatapan.

Aiza segera menutup wajahnya dengan tangan dan membuang pandangan. Tangannya dengan terburu-buru membuka pintu mobil.

Semoga saja Pak Alif tidak mengenaliku, harap Aiza dalam hatinya.

"Kamu kenapa Aiza? Kamu sakit? Kalau sakit besok saja kita belajar," ucap Salsa melihat tingkah Aiza yang begitu aneh sedari tadi.

"Tidak Mba, saya tidak apa-apa," jawab Aiza sembari menggelengkan kepalanya.

~~~***~~~

Setelah selesai mengunjungi berbagai toko buku untuk Aiza. Akhirnya di sinilah mereka, di rumah Salsa.

Salsa menyodorkan sebuah buku yang berjudul "Sifat sholat Nabi" di depan Aiza. Aiza mengambil buku itu dan memandang Salsa penuh tanya.

"Bacalah buku itu! hal pertama yang harus kamu pelajari adalah tata cara sholat, karena sholat dapat mencegah manusia dari perbuatan yang mungkar. Jadi sembari kita pelajari yang lain aku akan melihat bagaimana cara kamu sholat."

Aiza membaca buku dengan hikmat sembari menunggu Dokter Salsa yang sedang memasak makan siang mereka. Aiza beranjak dari tempat duduknya, merasa tidak enak hati ketika melihat Salsa memasak sedang ia duduk santai.

"Mba ada yang bisa Aiza bantu?" tanya Aiza basa nasi ketika berada di pantry.

"Bantulah aku menata ini di meja makan dan kita makan setelah itu baru aku akan melihat caramu sholat," ucap Salsa.

Setelah makan siang, mereka ke kamar Aiza. Salsa menyuruh Aiza berwudhu dan memakai mukenanya. Salsa menyuruh Aiza memakai mukena bukan karena pakaian Aiza belum layak dipakai untuk sholat. Jilbab Aiza sudah syar'i dan bisa dipakai untuk sholat, hanya saja tadi mereka seharian menjelajahi toko buku dan berkeringat.

"Usholi-"

"Tidak perlu mengucapkan niat Aiza. Niat itu cukup dalam hati saja," kata Salsa memotong ucapan Aiza.

"Baik Mba," kata Aiza dan kembali memulai sholatnya. "Allahu Akbar," ucap Aiza memulai latihan sholat dengan takbiratul ihram. Surah infitah dan alfatihah serta salah satu surah pendek telah selesai Aiza baca meski sedikit terbata-bata.

Setelah itu Aiza mengucapkan 'Allahu Akbar' kemudian membungkuk untuk rukuk.

"Punggung dan kepalamu harus rata saat rukuk, Aiza," ucap Salsa sembari membenarkan posisi rukuk yang dilakukan Aiza.

Salsa menekuk tayangan Aiza yang awalnya ia luruskan saat rukuk agar posisi rukuk yang dilakukan Aiza dapat sempurna.

Selesai dengan praktek sholat yang mereka lakukan. Salsa dan Aiza beristirahat untuk makan siang.

Setelah semua rangkaian kegiatan yang mereka lakukan selesai. Salsa mengantar Aiza kembali ke rumah.

"Terima kasih Mba Salsa," ucap Aiza setelah keluar dari mobil Salsa.

"Sama-sama ... Kira-kira kapan kita bisa ketemu lagi yah?"

"Aiza juga kurang tahu Mba, karena mulai besok Aiza akan kuliah kembali kuliah. Jadi harus mencocokkan jadwal dulu," jawab Aiza

"Oh ya sudah, kalau sudah ada jadwal nanti hubungi saja ... Kalau begitu saya permisi yah, maaf tidak mampir lagi."

"Iya Mba."

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsallam."

Salsa melaju, meninggalkan pekarangan rumah Aiza. Sedangkan, Aiza menghampiri ayahnya yang sedang menunggu di teras rumah.

"Bapak ngapain di luar?" tanya Aiza setelah mencium tangan ayahnya. Kemudian mendorong kursi roda ayahnya masuk ke dalam rumah.

"Bapak nungguin kamu pulang."

Aiza tersenyum simpul. "Lain kali Bapak tidak usah tungguin Aiza di luar nanti Bapak kedinginan dan jatuh sakit."

Sejak kematian Aris, hubungan Aiza dan Ayahnya membaik begitupula dengan hubungannya dan Ibu Aris. Bagaimanapun wanita paruh baya yang mengalami gangguan mental itu tidak lagi memiliki keluarga yang dapat merawatnya.

"Iya ... Ya sudah ayo kita makan! tadi Bik Darsih sudah siapkan makanan kesukaan kamu."

Aiza tersenyum. Ia menuntun kursi roda ayahnya ke meja makan.

~~~***~~~

Paper bag berisi beberapa buku diletakan di atas meja. Alif menarik napas dengan kasar. Pikirannya terkunci pada wajah wanita yang begitu mirip dengan mantan mahasiswinya yang sempet bersinggungan dengannya.

Alif tidak mungkin melupakan wajah gadis itu. Meski ia tidak lagi mengingat namanya, tapi peristiwa yang terjadi antara mereka berdua bukan sesuatu yang mudah dilupakan.

Apalagi peristiwa itu sampai membuat ia di skorsing universitas. Gadis itu pun dihukum dengan dikeluarkan dari kampus.

"Sudahlah Alif lupakan! Gadis itu pasti baik-baik saja." gumam Alif sembari mengambil air dari dalam kulkas dan meningkatnya dalam gelas kemudian meneguknya hingga tandas.

Selama ini Alif memang terus memikirkan gadis itu. Bukan memikirkan dalam artian menyukainya, hanya saja ia merasa khawatir memikirkan nasib gadis itu karena dikeluarkan dari kampus. Bagaimanapun ia ikut andil sama peristiwa itu.

Tidak ada hal spesial yang dapat membuatnya menyukai gadis itu. Apalagi seorang gadis yang berdemo di depan kampus menolak hijab.
Sungguh bukan tipe idamannya.

Sebenarnya Alif tidak memiliki tipe idaman khusus. Islam sudah mengajarkan kriteria pasangan yang harus dipilih.

Ada empat kategori, yaitu harta, kedudukan, paras dan agamanya. Adapun yang paling diutamakan adalah agamanya.

"Tapi bagaimana jika gadis itu terlunta-lunta di jalanan?" tanya Alif pada dirinya sendiri. "Astaghfirullah Alif. Berhentilah memikirkan wanita yang bukan mahrommu!" ujar Alif pada dirinya sendiri dan berlalu ke kamar mandi untuk berwudhu.

Menenangkan pikirannya dengan sholat dan menghilangkan bayang-bayang gadis itu.

Bersambung ....

Jangan lupa komentar dan klik bintang sebagai support kalian untuk aku. Biar makin rajin nulis.

Assalamu'alaikum.

Simfoni Takdir ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang