Bab 18 Permainan Takdir

391 31 10
                                    


Waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun, Aiza tak kunjung memejamkan mata. Ia berguling ke sana kemari mencoba melepas bayangan Alif yang tampak akrab dengan dua wanita di restoran. Bahkan dosennya itu tidak segan-segan melakukan kontak fisik dengan dua wanita asing itu.

"Apa karena itu yah dia punya banyak buku tentang poligami? Eh tapi diakan belum married, tapi bisa jadi sudah. Apalagi sudah dua bulan aku tidak tahu berita apapun tentang kampus itu," gumam Aiza pada dirinya sendiri.

"Astaghfirullah Aiza, untuk apa kamu memikirkan tentang itu? Itu bukan urusan kamu Aiza! Fokus Aiza, fokus perbaiki diri," ujar Aiza setelah menyadari pikiran anehnya.

Benar, untuk apa dia memikirkan Dosennya itu? Bukan urusannya jugakan.

Beberapa kali memejamkan mata tak membuahkan hasil, Aiza menyerah. Ia turun dari ranjang dan berlalu ke kamar mandi untuk berwudhu.

Setelah berwudhu Aiza menggelar tikar untuk melaksanakan sholat witir. Sholat yang tidak pernah Rasulullah tinggalkam.

Awalnya Aiza merasa berat untuk sholat witir tetapi karena hatinya sedang gundah dan butuh berdoa, maka ia memutuskan untuk melaksanakannya. Yah, mungkin hari-hari selanjutnya ia akan belajar untuk Istiqomah.

Setelah melakukan sholat witir ia memutuskan untuk makan. Memikirkan Dosen Killer yang itu membuat Aiza lupa untuk makan.

Memasuki dapur Aiza terkejut bukan main. Samar-samar dalam kegelapan ia melihat Ibu Riska di depan kulkas tengah menyantap sesuatu.

Aiza menyalakan saklar lampu "Astaghfirullah, " ujar Aiza terkejut saat mendapati Ibu Riska menyantap cake dengan beralaskan lantai marmer. Dengan sigap menghampiri Ibu Riska, meraih tangan wanita itu dan membersihkannya dengan tisu.

"Apa yang anda lakukan?" tanya Aiza masih terus membersihkan tangan Ibu Riska.

"Anak Ibu," ucap Ibu Riska dan membelai sayang wajah Aiza.

Aiza terdiam, lagi ia merasakan sesuatu yang jangan mengalir dalam hatinya. Seperti sesuatu yang ia rindukan. Kasih sayang seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan, karena kerasnya kehidupan masa lalu.

"Makan yah, Ibu suapi," ujar Ibu Riska lagi sembari meraih cake yang tampak berantakan di lantai.

Aiza tidak menjawab. Ia menghalangi tangan Ibu Riska meraih kembali cake yang telah kotor itu.

"Aku antar ke kamar lagi yah!" Kata Aiza dan menuntun Ibu Riska untuk berdiri dan membawanya kembali ke kamar.

Sesampainya di dalam kamar. Aiza mengetuk beberapa kali. Tak kunjung mendapat jawaban membuat Aiza membuka pintu kamar. Ia mendapati Ayahnya tengah tertidur nyenyak.

Aiza menunttun Ibu Riska berbaring. Dengan cekatan ia menyelimuti ibu Riska.

"Kakakmu mana? Ibu jarang melihat dia." Pertanyaan Ibu Riska membuat Aiza tertegun, untuk sesaat tangannya terhenti.

"Kak Aris pergi ke tempat yang jauh," jawab Aiza seadanya.

Baru saja Aiza akan meninggalkan Ibu Risma. Namun, cekatan tangan wanita itu membuat Aiza menoleh.

"Jangan tinggalkan, Ibu," kata Ibu Risma memohon.

Aiza menghela napas, memutuskan kembali duduk di samping ranjang. Ia menangkup tangan Ibu Risma. Menemani wanita paruh baya itu.

"Sekarang ... Ibu tidur yah, aku akan menemani Ibu," ujar Aiza tulus membuat wanita paruh baya itu mengangguk patuh dan mulai memejamkan mata.

Beberapa saat berlalu. Terdengar hembusan napas teratur dari Ibu Risma menandakan wanita itu telah tertidur. Aiza melepaskan tangannya. Ia merapikan selimut yang membungkus tubuh ringkih Ibu Risma sebelum keluar dari kamar.

Simfoni Takdir ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang