Bab 15 Kembali

459 37 10
                                    

Note: jangan dibaca diwaktu-waktu sholat. Kala belum baca Al-Qur'an sebaiknya banyak Al-Qur'an dulu baru baca cerita ini. Cerita ini tidak akan menyelamatkanmu di akhirat tapi Al-Qur'an dapat menjadi cahaya bagi yang membacanya.

"Terkadang perlu menggali kenangan untuk mendapatkan kekuatan baru."

Warna hitam dan putih yang ditangkap pupil matanya membuat Aiza mengerutkan kening dengan ruangan yang tampak asing baginya. Ia terdiam sejenak memikirkan apa yang terjadi.

Tatapan mata Aiza berubah sendu ketika menyadari apa yang terjadi. Ia tertidur di kamar Aris setelah kemarin mengurung diri seharian, saat pemakan kakak laki-lakinya itu. Bahkan ia hanya melihat melihat jenazah Aris dibawa para pelayat dari balkon kamar.

Aiza duduk bersandar pada kepala ranjang. Ia mengedarkan pandangan matanya. Ada begitu banyak piala dan buku kedokteran di dalam kamar yang di dominasi warna hitam dan putih itu. Menunjukkan bahwa penghuninya sosok yang cerdas dan kutu buku.

Tangan Aiza mengambil bingkai foto yang diletakan di atas nakas. Ia mengusap foto yang tercetak dalam bingkai itu. Matanya tampak berair melihat foto yang memperlihatkan Aris sedang tersenyum senang memegang piala yang ia menangkan.

Sejak kematian Aris, Aiza masih belum mengikhlaskan laki-laki itu. Rasanya terlalu cepat Tuhan mengambil Aris dari sisinya. Mereka bahkan baru saling menerima dan akan memulai hidup baru sebagai kakak dan adik.

Elisa menghapus air matanya yang entah sejak kapan mengalir. Ia mengusap wajah Aris yang tercetak dalam bingkai foto digenggamnya.

"Kenapa kamu pergi begitu cepat? ... Maafkan aku," gumam Aiza sendirian.

~~~***~~~

Seminggu berlalu sejak kematian Aris, pola hidup Aiza tidak berubah. Ia makan dan tidur di kamar Aris, terus merutuki nasibnya yang selalu membawa nasib takdir buruk bagi orang-orang yang ia sayangi.

"Non, Tuan memanggil Non untuk makan," panggilan Bik Asri membuat Aiza segera menghapus air matanya.

"Iya Bik nanti," jawab Aiza dengan suara yang serak. Ia beranjak dari tempat tidur dan kembali ke kamarnya untuk membersihkan dirinya.

Setelah mencuci wajah disinilah Aiza di depan cermin. Ditatapnya wajahnya, masih tertinggal jejak-jejak kesedihan di wajahnya. Mata yang bengkak menjadi bukti berapa ia menangisi kepergian Aris. Setelah selesai membersihkan diri Aiza segera turun ke meja makan tempat ayahnya menunggu. Ini pertama kalinya ia ikut makan di meja makan. Pak Pratama tambak bahagia saat melihat Aiza akhirnya keluar kamar.

Sesampainya di meja makan, Aiza segera duduk di kursi yang biasa ia tempati. Lagi-lagi air mata Aiza mengalir saat melihat kursi di depannya kosong. Kursi yang biasa Aris tempati.

"Ini salahku ... Aku ... Aku membawa nasib buruk untuk semua yang aku sayangi," gumam Aiza dan menangkap wajahnya yang penuh air mata.

"Ikhlaskan Aris, Aiza. Segala kesedihan kita bukanlah hal yang baik untuknya. Ini takdir Aris yang sudah ditetapkan jauh sebelum ia lahir dan tidak ada satu orang pun yang dapat mengubah takdir itu, Aiza ... Aris pun tidak akan senang melihatmu seperti ini, Nak," ucap Pak Parama saat menyadari sorot kesedihan di mata Aiza pada kursi yang biasa Aris tempati.

Mendengar nasehat dari sang ayah membuat isakan demi isakan Aiza kini berubah menjadi tangisan yang semakin kencang. Aiza menutup wajahnya dengan tangan dan terguguk menangisi kepergian Aris.

Aiza merasakan sebuah pelukan hangat tengah melingkupi tubuhnya, disertai belaian yang begitu lembut. Pelukan dan belaian hangat dari seorang ibu yang tidak pernah Aiza rasakan sejak kecil.

Simfoni Takdir ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang