Bab 4 Dosa Termanis

761 42 1
                                    

Suatu hari, ketika bibir tak mampu berbicara, maka mata akan berbicara dan hati akan bersaksi, tentang Dosa yang tersembunyi.

~~~***~~~

Aris menghela napas, meletakan berkas rekam medis pasien yang harus ia analisa. Bayangan Aiza dengan tatapan hampa lagi-lagi mengganggu konsentrasinya. Aiza dengan segala permasalahan hidupnya cukup membangkitkan nalurinya sebagai laki-laki yang ingin menjadi pelindung wanita itu, memicu hasrat menggebu yang menjadi dosa termanis dalam hidupnya.

Dosa termanis. rasanya cukup berani bagi Aris, menganggap pandangan membara yang ia tujukan untuk Aiza adalah dosa termanis, hanya untuk menutupi sisi pengecutnya yang tidak mampu menjaga pandangan matanya.

Lagi-lagi Aris menghela napas. Kembali mengendalikan diri dari tipu daya iblis yang terus menghiasi pandangan matanya dengan wajah Aiza. Aris kembali menyesap kopi hitamnya, mencoba menghilangkan bayang-bayang kebersamaannya dengan Aiza sore ini.

~~~***~~~

Pemandangan Ibu Kota lagi-lagi menjadi pemandangan favorit Aiza, dari jendela kamarnya yang terdapat di lantai atas rumah susun yang kumuh. Satu-satunya yang membuat kamarnya tampak mewah adalah kelap-kerlip lampu Ibu Kota yang bak hotel berbintang.

"Aris." Nama laki-laki itu terucap dari bibir Aiza.

Aiza bukanlah wanita yang bodoh, ia mengerti arti tatapan yang selalu di tujukan laki-laki itu untuknya. Tatapan yang sarat akan cinta dan hasrat. Andai keadaannya berbeda tentu sikap Aiza pada laki-laki itupun akan berbeda, nyatanya kata andai hanya tinggal kata, mereka bukanlah dua insan yang pantas untuk bersanding.

Aiza cukup sadar diri, ia adalah anak yang ditinggal ayahnya, yang harus batingtulang demi menghidupi diri dan ibunya. Tentu wanita seperti itu bukanlah pasangan yang tepat untuk Aris yang merupakan seorang Dokter dan pewaris dari beberapa rumah sakit di Indonesia.

Keluarga Aris tentu akan memandang bibit, bebet dan bobot dari calon istri pilihan anaknya. Aiza cukup sadar diri ia tidaklah pantas, daripada memulai sesuatu yang berakhir sia-sia bukankah lebih baik sejak awal ia tidak memulainya.

Pernikahan yang tidak mendapatkan restu dari orang tua bukanlah pernikahan impian Aiza dan pernikahan seperti itu tentu bukanlah hal yang dapat membahagiakan. Kehancuran pernikahan orang tuanya Aiza, cukup menjadi pelajaran berharga bahwa cinta bukanlah satu-satunya landasan untuk menikah. Sebab cinta itu akan pudar seiring berjalannya waktu.

~~~***~~~

Pagi ini Aiza datang lebih awal ke kampus karena harus menjadi pemimpin orasi, hari ini kampus tempatnya menempuh pendidikan membuat aturan baru, bahwa semua mahasiswi muslim harus memakai jilbab. Sungguh sangat melanggar HAM dan pilihan hidup seseorang.

Semua orang tentu berhak memilih pilihan hidupnya sendiri karena kehidupannya adalah miliknya sendiri, tidak seharusnya pihak universitas mencampuri gaya berpakaian mahasiswinya hingga tingkat seperti itu. Bukankah sudah seharusnya manusia diberi kebebasan untuk memilih akan seperti apa style yang ia pilih, itu pikir Aiza.

Pikiran wanita dengan paham feminis, bahwa jilbab adalah pilihan hidup, dan seorang wanita terkungkung karena menjadikan agama di atas segalanya. Namun satu hal yang Aiza tidak tahu bahwa jilbab bukanlah sebuah pilihan, jilbab memiliki hukum yang pasti, wajib dan agama harus diletakan di puncak tertinggi sebab hidup bukanlah milik manusia itu sendiri tapi milik pencipta, Allah. Bahkan seorang Atheis pun akan mencari Tuhan ketika berada di titik terlemahnya.

"Aiza, kamu yakin dengan ini?" tanya Sonia.

"Jika aku tidak bertindak saat ini, kedepannya universitas ini akan menjadi gembong penghasil teroris, dengan paham radikalisme," balas Aiza dan mengambil megafon di tangan Sonia.

Bau ban yang terbakar begitu menyengat, namun tak sedikitpun mengganggu penciuman Aiza. Ia tetap fokus dengan megafon yang ada digenggaman tangannya.

Saat ini ia tengah memimpin sebuah demo bersama beberapa wanita yang berhasil dibujuknya untuk menentang aturan yang sedang baru-baru ini disahkan oleh universitasnya.

"Tolak aturan wajib berjilbab bagi mahasiswi!" teriak Aiza yang disambut dengan sorak-sorak ramai oleh beberapa wanita yang ia ajak.

"Hidup Mahasiswi!" Begitulah sorak-sorakan yang terdengar dari para demostran.

Berbagai argument Aiza paparkan, ia tampak begitu cerdas dan meyakinkan bagi beberapa wanita yang mengikutinya berdemo. Hingga sebuah mobil yang begitu Aiza kenali, siapa lagi kalau bukan mobil Alif Dosen killer di jurusannya itu.

Mobil yang dikendarai Dosen Aiza itu tampak menurunkan kaca mobilnya saat mobil itu melaju melewati rombongan demonstran, seolah tampak mencaritahu siapa yang memimpin demo, sepertinya judul yang terpampang di spanduk tampak begitu menarik perhatian Dosennya. Yah, bagaimana tidak judul spanduk itu penolakan kebijakan kampus yang mewajibkan mahasiswi muslim berjilbab di area kampus.

Aiza melihat laki-laki itu tampak menggeleng saat melihat dirinya yang memimpin demo. Beberapa detik kemudian tatapan mereka bertemu. Aiza dapat merasakan aura dingin dari tatapan Dosennya, seolah menghunuskan pedang dan merobek-robek tubuhnya. Tatapan itu membuat Aiza merinding. Saat mobil itu berlalu, barulah Aiza dapat mengendalikan dirinya.

Aiza menghembuskan napas sejenak. Mengerikan, tatapan penuh amarah dapat terlihat jelas dari kedua mata Dosennya itu, meski sekilas namun cukup menciutkan nyali Aiza.

"Pak Alif."

Bersambung ....

Simfoni Takdir ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang