Note: Jangan baca di waktu-waktu sholat, membaca Al-qur'an lebih baik dibandingkan ceritan ini. Bacalah Al-qur'an di rumah anda meski hanya satu ayat satu hari, sebab ia akan datang sebagai pembela ketika kita dikumpulkan dipadang Mahsyar.
Anak perempuan dengan Dress merah jambu itu berlari menelusuri setiap dinding labirin yang entah di mana ujungnya. Ia terus mengikuti suara yang terdegar memanggil namanya. Ia berlari ke ujung labirin yang memancarkan cahaya.
Tampak sebuah rumah dengan dinding putih yang dipenuhi lumut. Ia memasuki rumah yang tampak menakutkan itu, diarahkan pandangannya pada semua sudut. Begitu banyak barang yang berserahkan. Pecahan gelas dan keramik berserakan di mana-mana, memenuhi setiap sudut rumah.
Gadis kecil itu mematung, menjatuhkan beberapa tangkai bunga lili yang digenggamnya. Ia melihat kedua orang tuanya saling berteriak dan menyalahkan satu sama lain. Ayahnya menghampiri ibunya. Kemudian terdengar suara tamparan yang begitu keras.
Aiza kecil menangis melihat itu, tapi tidak ada seorangpun dari mereka tergerak untuk melihatnya. Tidak ada seorangpun yang menenangkannya. Kedua orang tuangnya sibuk dengan pertengkaran mereka. Ayahnya mengambil sebuah koper dan berjalan ke arah pintu. Menatap Aiza sekilas, kemudian membuang muka, seolah jijik.
"Kau ... bukan anakku lagi, urus lbumu itu!" ucap laki-laki itu dan pergi meninggalkan Aiza.
Kaki gadis kecil itu berlari. Ia berlari sekencang yang ia bisa, sembari memanggil-manggil ayahnya, yang kini menaiki sebuah mobil berwarna hitam. Tampak seorang wanita dengan gincu merah duduk di jok belakang mobil. Wanita yang dulu ayahnya perkenalkan sebagai mama baru Aiza.
Kaki kecil Aiza berlari sekuat tenaga mengejar mobil yang kini tampak meninggalkan halaman rumahnya. Ia menangis dan terus memanggil ayahnya.
"Papa."
"Papa."
"Papa, jangan tingalkan Aiza!"
Aiza terjatuh, kedua lututnya tergores jalanan beraspal. Namun, mobil yang ditumpangi ayahnya tetap melaju, meninggalkan Aiza kecil yang menangis sendirian. Meninggalkan kenangan yang tidak akan terlupakan seumur hidup gadis malang itu.
"Papa Aiza tidak akan nakal lagi," ucap gadis kecil itu dengan air mata yang mengalir.
"Jangan tinggalkan Aiza."
Deru napas Aiza memburu, lagi-lagi mimpi yang sama. Mimpi ketika kedua orang tuanya bertengkar dan saling menyalahkan satu sama lain. Ayahnya yang dengan kejam memutus ikatan darah di antara mereka. Kejadian yang selalu menjadi mimpi buruk dalam hidupnya, yang selalu menghantui dan mengganggu tidurnya setiap malam.
Aiza mengarahkan pandangannya pada jendela. Menatap langit yang tampak begitu indah dengan bintang-bintang yang berkerlip indah.
"Ketika matahari terbit semua akan baik-baik saja, Aiza," gumam Aiza dalam keheningan malam.
Aiza selalu mengucapkan kata itu, untuk menyemangati dirinya, ketika mimpi buruk tentang kenangan terahir yang diberikan ayahnya itu datang. Sebuah kenangan yang menorehkan banyak luka tak terlihat pada Aiza. Luka yang mematikan hatinya.
~~~***~~~
Lagi dan lagi Aiza menggenggam tangan yang dipasangi infus itu. Sesekali ia membelainya dengan sayang.
"Mama, kapan Mama akan membuka mata? Apa Mama tidak rindu, Aiza?" tanya Aiza yang hanya dibalas bunyi elektrokardiogram yang menandakan jantung ibunya masih berdetak. Hanya itu satu-satunya pertanda bahwa sang ibu masih hidup.
Aiza menghapus air matanya. "Mama, Mama harus terus hidup agar Aiza dapat bertahan. Jika Aiza kehilangan, Mama. Aiza tidak akan mampu bertahan," ujar Aiza dan mengecup kening ibunya dengan sayang.
Terdengar suara pintu rumah sakit terbuka. Aiza menoleh pada sumber suara, tampak Dokter Aris masuk dengan senyum di wajahnya, membuat Aiza segera menghapus air matanya dan tersenyum pada laki-laki yang tiga tahun ini selalu baik padanya.
"Makanlah, aku tahu kau belum makan," ucap Dokter Aris sembari meletakkan tentengannya berisi martabak coklat di atas meja.
"Terima kasih Dokter." Aiza tersenyum.
"Jangan sungkan Aiza!"
Aiza mencicipi martabak itu dan tersenyum ceria pada Aris meski pupil matanya tetap tak mampu membohongi laki-laki yang sudah mengenalnya lebih dari tiga tahun itu. Laki-laki yang sangat berperan memberi Aiza kekuatan di saat ia hampir menyerah.
~~~***~~~
Aiza menarik napasnya dan menghembuskanya lagi, dengan segenap keberanian yang telah ia kumpulkan. Aiza membuka pintu kelas dan perlahan-lahan menuju kursinya.
Hari ini ia terlambat karena semalam klub tempat ia bekerja tidak mengizinkan pulang lebih awal sebab tamu yang berdatangan lebih banyak dari biasanya membuat mereka kewalahan. Tepat pukul jam 3 pagi baru Aiza di ijinkan pulang, tentu saja itu kekhususan bagi Aiza karena mengenal Rini.
"Aiza Huriyah," panggil Dosen muda yang tampak memperbaiki letak kacamatanya itu.
"Saya Pak, " cicit Aiza penuh rasa takut.
"Tolong tutup pintunya."
Aiza menghembuskan napas lega. Untunglah ia tidak diminta untuk keluar, ucap Aiza dalam hatinya.
"Bukan seperti itu yang saya maksud," ucap Dosen itu lagi ketika Aiza telah menutup pintu kelas.
Aiza menatap dosennya itu tidak mengerti.
"Maksudnya, Pak?"
Alif tampak menggambil buku dan menandai beberapa bagian. "Kamu, silahkan tutup pintunya dari luar."
Butuh beberapa detik bagi Aiza untuk mencerna perkataan Dosen muda yang ia ketahui namanya Alif. Secara tidak langsung laki-laki itu memintanya untuk keluar, dengan bahasa yang sangat-sangat cantik dan indah didengar.
Andai laki-laki itu bukanlah Dosennya. Aiza tidak akan segan melempar sepatutnya tepat di wajah laki-laki sombong tidak berperasaan itu.
"Menyebalkan," pikir Aiza.
Bersambung ....

KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni Takdir ✅
SpiritualCerita The End (chapter masih lengkap) Terbuang dan ditinggalkan oleh sang Ayah membuat Aiza harus mencicipi pahitnya dunia malam demi membiayai ibunya yang koma di rumah sakit. Berbagai kejadian membuat ia dipertemukan dengan sosok yang tidak terd...