Setelah perdebatan panjang lebar pagi harinya, akhirnya Leo menyerah dan berjanji akan secepatnya mencari rumah untuk mereka. leo menggandeng tangan Lira dan mengajaknya menemui ayah dan bunda yang tengah duduk bercengkerama dengan nenek dan Amira. Leo dan Lira duduk di sofa panjang,
"kamu sibuk gadget mulu dek, nggak bosen apa?" seru Leo sambil melempar bantal diwajah Amira. Amira terkejut dan melirik Leo tajam.
"abang, gangguin mulu deh."
"habis gadget mulu dari tadi."
"amira lagi liat jadwal les besok bang, zaman sekarang bang apa-apa itu lewat gadget, emang zaman abang yang masih diumumin di mading,"
"sombong amat dek dek."
"bukan sombong, tapi kenyataan ih." Lira tertawa melihat wajah Amira yang menekuk kesal, dicubit perut Leo pelan.
"ya udah main dikamar sana, abang mau ngomongin hal penting nih. Anak kecil nggak boleh dengar."
"dasar abang, ngusir."
"abang nggak becanda dek."
"baiklah abangku sayang, Amira kekamar dulu." Amira bangun dari duduknya dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
"Yah, Bun ada yang mau kita bicarakan." Ayah yang sedari tadi fokus melihat tayangan berita di televisi pun segera mematikannya.
"ada apa Leo, Lira?"
"setelah Leo pikir-pikir, sudah waktunya Leo tinggal dirumah sendiri Yah." Ayah mengernyitkan keningnya, Bunda pun Nampak gusar.
"loh kenapa tiba-tiba minta pindah sih Leo? Rumah ini juga cukup luas untuk kita semua tinggal disini." Leo tersenyum.
"iya Bunda, Leo tahu. Tapi kita juga pengen memulai kehidupan pernikahan yang sebenarnya. Tinggal berdua, apa-apa berdua, seperti mas Rahman dan mas Joni Bun." Ayah tengah berpikir keras.
"nggak apa-apa Bunda. Mungkin sudah seharusnya belajar berumah tangga dengan mandiri," Bunda masih terlihat tidak terima.
"Bunda belum mau ditinggalin lagi." Leo tersenyum, diraih tangan Bunda lembut.
"Bunda, masak Leo harus terus-terussan disini. Kapan mandirinya? Kita janji bakal sering datang kesini buat nemenin Bunda dan Ayah. Ijinin ya?" Ayah terlihat menepuk pundak Bunda, sayang.
"biarin dia mandiri Bun, mereka juga perlu belajar berkeluarga yang sebenarnya." Bunda menekukkan wajahnya. Lira mengambil tangan Bunda dan mengelusnya pelan.
"Bunda, walaupun kita pindah. Kita tetap akan terus main kok kesini," Leo mendusel di bahu Bunda. Lira menyernyitkan dahinya. Baru tahu kalau Leo bisa segitu manjanya dengan Bunda.
"apa sih Leo, nggak malu kamu ada istri masih aja suka dusel dusel bahu Bunda kamu?" tegur Ayah. Leo hanya mencibir, Ayah pasti cemburu lagi.
"bilang aja cemburu Yah. sama anak sendiri juga masih aja cemburuan." Ledek Leo pada Ayah. Lira menyikut pinggang Leo pelan.
"bocah gundul. Enak aja. Udah ah, Bun ijinin aja ini anak keluar dari rumah. Biar Bunda nggak dimonopoli terus sama dia." Leo meringis melihat Ayah yang kembali menghidupkan televise didepan. Bunda tersenyum dan mengelus wajah Leo dan Lira bergantian.
"oke, Bunda ijinkan. Tapi ingat janji kalian ya, harus sering main kesini." Leo tersenyum senang.
"makasih Bunda sayang, kita janji akan sering kesini. Ya kan sayang," seru Leo dan diangguki Lira.
Nenek yang dari tadi berdiri di balik tirai menyunggingkan senyum miringnya.
"baguslah, cepat pindah dan rencana aku bisa berjalan dengan lancar. Mereka tinggal berdua dan tidak ada yang melindungi dan membela ratu itu."
***
Mereka kembali masuk kamar, setelah ijin pindah rumah didapatkan keduanya. Leo berjalan didepan Lira, Lira masih menatap jengah kearah Leo. Leo yang merasa terus diperhatikan refleks menoleh kebelakang dan mendapatkan wajah Lira yang dipenuhi ekspresi aneh. Leo menghentikan langkahnya dan membuat Lira menabrak punggung kerasnya.
"auw."
"kenapa wajah kamu begitu?" Lira menaikkan alisnya bingung.
"cemong ya?" Tanya Lira tidak nyambung.
"kenapa liatin mas sampai segitunya?" Lira mengedikkan bahunya dan berlalu kekamar.
"sayang," Leo mengekor dibelakang.
"aku Cuma nggak nyangka aja, laki-laki searrogant mas bisa semanja itu dengan Bunda?" Leo menepuk dahinya.
"jadi kamu ledekin mas sekarang?" Lira menahan tawanya. Memasang kuda-kuda untuk menghindar dari Leo.
"bukan ngeledek ih, Cuma heran aja. Kamu bisa juga selucu itu."
"jadi kamu maunya mas datar terus gitu?" seru Leo sambil menegaskan kembali wajahnya. Lira mengerucutkan bibirnya.
"nggak suka, kamu jelek kalau lagi begitu."
"yakin mas jelek?" Lira terlihat berpikir sambil menaikkan alisnya. Dan mengangguk mantap.
"jelek, datar, kaku, arrogant, kayak jalan aspal." Seru Lira sambil masuk kedalam kamar dan menyembunyikan dirinya di bawah selimut. Leo kembali mendengus.
"oh kayak aspal. Berarti hitam legam dong kulit mas." Lidia terkikik dibawah selimut. Lira semakin mengeratkan selimutnya saat dirasa tempat tidur disampingnya melesak dan bergoyang.
"awas kamu, mas bikin nggak bisa bangun besok pagi." Lira masih diam. Leo memeluknya erat dari belakang dan menggelitik perutnya.
"maaaas. Aathafirullah geli,"
"nggak ada ampun buat kamu sayang." Lira terus menjerit. Tangan Leo bukan hanya menggelitik perutnya saja, tangan kekar itu sudah bergeriliya kemana-mana. Yang tadinya jeritan minta ampun berganti menjadi jeritan..... tiiiiit. Isi aja sendiri hahaha
YANG NUNGGUIN INI CERITA NGAWUR. THANK YOU BANGET YA......
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband Police (End)
RomanceJadi istri seorang polisi? Sama sekali tidak pernah Lira bayangkan. Tapi apa boleh buat jika takdir harus menyatukan dia dalam mahligai rumah tangga dengan seorang polisi yang kadang arogan dan kadang bisa sangat manis. Lika liku rumah tangga. Ber...