Hinata pov
Bolehkah?
Bolehkah aku berharap Naruto-kun mencintaiku?
Sedikit saja bolehkah aku mengharapkan itu?
Aku selalu berdebar-debar saat berada di dekatnya.
Namun aku tak mampu bicara,
Tak mampu jujur dengan perasaanku.
Masih membekas di otakku misi terakhir yang kami lakukan bersama.
Dia begitu menghawatirkanku, merawatku, dan memperhatikanku dengan tulus.
Apa mungkin?
Apa mungkin dia memiliki perasaan yang sama padaku?
Kami-sama... Apakah aku mungkin seberuntung itu?Kutatap langit Konoha yang terbentang luas dengan warnanya yang biru sebiru mata Naruto-kun.
Aku tersenyum.
Bahkan hanya dengan memandang langit bisa mengingatkanku padanya.Cuaca hari ini begitu cerah secerah senyum Naruto-kun.
Huh
Kenapa semua hal mengingatkanku padanya..
Apa mungkin ini waktunya aku berkata jujur dan mengatakan isi hatiku padanya??
Tidak
Mana mungkin aku bisa melakukan itu?
Tapi jika tak kulakukan, aku takut aku tak memiliki kesempatan lagi untuk melakukannya.
Baiklah, hari ini aku akan mengatakannya."Hinata"
"Naruto-kun, kau sudah datang?"Kulihat wajah Naruto sangatlah serius. Tak ada cengiran lebarnya yang secerah mentari pagi, tak ada pula suara berisiknya yang memecah kesunyian.
"Gomenasai, Hinata"
Aku menatapnya bingung, tak mengerti.
Aku belum mengatakan apapun tapi kenapa tiba-tiba dia meminta maaf?
Aku rasa dia tidak melakukan kesalahan apapun padaku."Aku harus pergi meninggalkan desa"
Aku menegang, ingin mengatakan sesuatu tetapi tenggorokanku tercekat.
Apa maksudnya meninggalkan desa?"Ma..maksud Naruto-kun?"
"Besok, aku akan meninggalkan desa. Dan mungkin tak akan kembali selama beberapa tahun. Aku akan berlatih di tempat rahasia. Dan ini adalah upayaku untuk menjadi kuat dan melawan akatsuki yang telah membunuh petapa genit"Naruto mengepalkan tangannya begitu kuat. Kulihat pancaran matanya menajam dan memancarkan aura kemarahan.
Aku masih ingat betapa Naruto-kun menangis saat mendengar berita kematian Jiraiya-sama. Sosok guru yang sudah ia anggap sebagai keluarganya. Dan kini beliau telah tiada meninggalkan Naruto sendirian lagi.
Tapi aku tak ingin Naruto-kun menjadi pendendam. Balas dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Balas dendam hanya akan memperpanjang rantai kebencian.
Dan aku tidak ingin Naruto-kun berada dalam lingkaran kebencian.
Bagaimanapun, Naruto-kun adalah orang yang baik, selamanya dia harus menjadi seperti itu."Naruto-kun, tak apa kau berlatih keras untuk menjadi kuat. Aku akan sangat mendukung Naruto-kun secara penuh. Tapi, aku tidak ingin Naruto-kun menyimpan dendam, sekalipun itu pada orang yang telah membunuh seseorang yang berharga bagi Naruto-kun."
"Tapi.. mereka sangat kejam Hinata, mereka membunuh ero-sennin yang tak bersalah."
"Naruto-kun ingat Sasuke kan? Apa menurutmu tindakan Sasuke itu benar? Meninggalkan desa demi menjadi kuat agar bisa membalas dendam."Naruto menunduk dalam. Ia sadar niatnya sangatlah buruk. Menjadi kuat untuk balas dendam. Cukup Sasuke saja yang salah jalan, jangan juga dirinya.
Aku menggenggam tangan Naruto-kun, entah darimana kudapat keberanian ini. Namun aku harus melakukannya. Naruto-kun tak boleh salah jalan. Ia harus tetap menjadi Naruto-kun yang baik dan pantang menyerah.
"Naruto-kun, pergilah dan menjadi kuat. Tapi bukan untuk membalas dendam, namun untuk melindungi orang-orang yang Naruto-kun ingin lindungi. Agar Naruto-kun tak kehilangan orang yang berharga lagi."
Hinata pov ends
Naruto memandang takjub Hinata, kata-katanya seolah menjadi air segar yang menyiram hatinya yang mendidih. Tak ada lagi amarah yang ia rasakan. Tak ada lagi keinginan untuk balas dendam. Yang ingin ia lakukan adalah seperti apa yang Hinata ucapkan.
Perlahan Naruto mulai tersenyum, lalu tiba-tiba memeluk Hinata begitu erat.
"Yosh, kau benar Hinata. Arigatou"
"..."
"Hinata, Hinata.. kenapa kau diam?"Hinata pingsan dengan wajah memerah semerah kebiting rebus.
***
Kelopak mata putih mengerjap dengan perlahan, ia begitu kaget ketika mendapati dirinya berada di kamar tidurnya. Terakhir yang ia ingat adalah ia sedang bersama dengan Naruto-kunnya.
Hinata.
Gadis kecil berusia 13 tahun itu langsung terduduk dan menengok kekanan kiri."Apa tadi mimpi ya?"
Pintu kamarnya lalu terbuka perlahan, terlihat salah satu pelayan di mansion Hyuga membawakan sepiring sup dan air putih.
"Anda sudah sadar Hinata-sama?"
"Sadar? Apa aku pingsan Kou-san?"Ah ia ingat, terakhir kali yang terjadi adalah ia pingsan saat mendapat pelukan mendadak dari Naruto-kunnya. Wajahnya sontak memerah pekat. Ia menutup wajahnya dengan tangan mungilnya yang lentik.
"Apa anda baik-baik saja? Saya membawakan sup untuk nona agar merasa lebih baik. Dan emm ini ada titipan dari teman nona yang membawa nona kemari."
Pelayan tersebut menaruh nampan berisi sup hangat dan air putih di atas nakas sebelah tempat tidur Hinata. Tak lupa ia meletakkan selembar kertas yang berukuran kecil di nampan tersebut. Ia lalu undur diri dan meninggalkan Hinata sendirian di kamarnya.
Hinata mengambil kertas tersebut dan mulai membacanya.
"Tulisan ini..
Ini tulisan tangan Naruto-kun."To : Hinata hime
Hinata, maaf aku tak sempat pamit. Pagi ini sebelum fajar, aku akan meninggalkan desa. Tapi aku akan pulang. Tunggulah aku!!Uzumaki Naruto
**
Hinata menitikkan air mata. Sebelum ia sempat menyatakan perasaannya, sang pemilik hatinya telah pergi entah kemana.
Namun permintaan Naruto-kunnya untuk menunggunya membuat hatinya berdesir.
Semakin kuat perasaan yang dirasakan Hinata, semakin deras pula air matanya.
Lalu ia tersenyum,
Tersenyum untuk melepas kepergian Narutokunnya, dan tersenyum untuk memulai masa penantiannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
my first love
Fiksi Penggemar(Disclaimer : naruto milik paman masashi kishimoto🤗) aku mencintai sosok yg tidak mungkin untuk kudapatkan. namun rasa ini terlalu dalam sehingga aku tak mampu menyingkirkannya. naruto-kun akankah kamu memandangku? bukan sebagai seorang gadis yang...