Madu 30 : Pulang

5.7K 244 43
                                    

BRAAAKKK!!!

Pintu bilik terbuka. Semua mata tertuju pada sumber suara. Dari bilik tersebut keluar dua pria berbadan kekar. Wajah mereka tampan-tampan. Mimiknya semringah. Penuh rasa kepuasan sekaligus kelelahan. Kami memperhatikan gerak-gerik dua pria itu. Dua pria yang kami yakini bahwa mereka adalah lawan main Thom. Dua makhluk berjenis kelamin laki-laki macho itu berjalan tegap meninggalkan ruang bilas dan pergi entah ke mana.

Selang tak seberapa lama bayangan mereka menghilang dari peredaran mata, dari bilik yang sama Thom menongolkan diri. Dia keluar dengan kondisi tubuh yang lemas. Kehabisan tenaga. Tak punya daya. Jalannya lunglai sempoyongan. Seperti daun kelapa tertiup angin. Melambai-lambai. Gemulai.

''Thom, are you okay?'' tanya Harsan. Ia berjalan menghampiri Thom yang berdiri merunduk dengan napas yang terengah-engah. Seperti habis lari marathon.

''Hmmm ...'' Thom hanya berguman sembari memegangi bokongnya. Ekspresi wajahnya nyungir-nyungir. Seolah menahan perih.

''Lo habis ngapain sih, Thom, di dalam bilik?'' celetuk Herio pura-pura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu.

''Gue ... gue ... habis diperkosa dua cowok...'' jawab Thom polos. Ceplas-ceplos. ''Lubang atas dan bawah gue habis dicoblos.''

''Hahaha ...'' Semua jadi ngakak.

"Pemilu masih lama, Cong ... Udah nyoblos aja!"

"Hahaha ...."

''Kok lo gak teriak, Thom?'' tanya Harsan.

''Gimana gue mau teriak, mulut gue disumpel kontol gede,'' jawab Thom.

''Hehehe ...'' Aku, Perjaka dan Herio terkekeh.

''Ya, setidaknya lo 'kan bisa berontak, Thom ...''

''Gue gak bisa berontak, Har ...''

''Kenapa?''

''Habis sodokannya endiang, Cyiinnn. Ladang gue becek, tersobek-sobek, nih ...''

''Huh. Dasar!'' tadah Harsan.

''Itu mah, namanya bukan diperkosa. Emang lo-nya aja yang kegatelan,'' timpal Herio.

''Hehehe ...'' Thom meringis sok tak berdosa. Tangannya garuk-garuk kepala. Wajahnya nyengir.

''Hei, Botol Kecap, buruan mandi bilas. Kami udah mau cabut!'' seru Perjaka dongkol, ''jangan lama-lama ya, kalau lo gak mau kami tinggal.''

''Iye, iye ...'' Thom jalan megal-megol menuju pancuran. Kemudian dengan gaya sok cantiknya, dia mandi di situ. Mandi manja menganggap dirinya seolah bintang sabun kecantikan yang mendunia. __Alamak ... Thom, Thom, tingkahmu bikin geleng-geleng kepala dan mengurut-urut dada. Nyebelin!

Di saat lelaki montok itu mulai sibuk membersihkan tubuhnya, kami berempat mengentaskan diri karena sudah selesai. Kami meninggalkan Thom sendiri, dan bergegas berganti pakaian.

KRIIINNGGG ... KRIIIIIINGGG!!!

Nada ponselku berdering. Ada panggilan suara masuk. Dari nomor kontak Ratih. Aku segera mengangkatnya.

''Halo!'' sapaku.

''Bang Ben ... ada di mana?'' sahut Ratih dari seberang sana. ''kami sudah selesai nih, kami udah ngumpul di tempat parkir.''

''Oke, bentar lagi, gue juga sudah selesai. Tunggu, ya!'' ujarku.

''Buruan ya, Bang!''

''Iya!''

Tut ... tut ... tut ... panggilan suara berakhir.

''Dari siapa, Ben?'' tanya Perjaka kepo, ''BF lo, ya?'' imbuhnya menebak.

''Hehehe ... bukan, tapi dari teman gue. Mereka sudah selesai berenang. Mereka sudah menunggu di parkiran,'' jawabku.

''Ooo ...'' Perjaka mengkerutkan dahinya.

''Jak ... gue pamit dulu, ya!'' Aku menyentuh bahu Perjaka dan mengusapnya pelan-pelan.

''Iya, Ben ...'' Perjaka mengangguk. Lelaki tampan ini menunjukan wajah sendunya, seakan tidak rela aku berpamitan.

''Lho, Ben, mau ke mana?'' tegur Herio sambil mengenakan celana dan kaosnya.

''Gue mau cabut duluan, Her ...'' balasku sembari memberi salam tos kepada laki-laki berwajah manis itu.

''Gak bareng kami aja, Ben?'' ucap Harsan menimpali.

''Nunggu Thom selesai mandi? Laaaaamaaaaaaa ... kayak nungguin putri keraton sedang mandi.''

''Hehehehe ...'' Semua jadi terkekeh.

''Oke, Guys ... gue cabut duluan ya, daaaah!'' Aku melambaikan tangan kepada Herio, Harsan dan Perjaka.

''Hati-hati, Ben!'' seru Harsan.

"Iya!"

''Jangan lupakan kami!'' imbuh Herio.

"Oke!"

''Sampai jumpa kembali, Ben!'' pekik Perjaka.

"Siip!"

Mereka bertiga memandangi kepergianku dengan senyuman yang merekah. Senyuman indah. Senyuman penuh rasa persaudaraan. Menghangatkan dan mendamaikan. Wajah-wajah mereka memang meneduhkan. Terutama wajah Perjaka. Di raut wajahnya seolah aku menemukan suatu aura yang menimbulkan getaran aneh dan agak membingungkan. Tatapannya berbeda dengan yang lainnya. Ada pesan yang tersirat dari dalam pancaran bola matanya, kala ia memandangku. Entah, pesan apa itu? Apakah ketertarikan atau bagaimana. Aku tidak tahu.

Aku berjalan ke area parkiran. Menemui Ratih dan kawan-kawannya. Tanpa basa-basi kami langsung naik ke dalam mobil. Kemudian melaju meninggalkan pesona alam Ciater yang cukup menakjubkan. Keindahan dan erotisme di dalamnya menggoreskan kenangan di benakku. Kolam yang hangat. Persahabatan yang erat. Dan pemandangan laknat yang mampu menjerat. Menjerat mata untuk bermaksiat. Ah ... keparat.

''Bang Ben, Ratih lapar, nih!'' cetus Ratih di tengah laju perjalanan pulang ke Jakarta. Masih di wilayah Subang.

''Ya, nanti kita mampir aja ke rumah makan. Banyak kok di pinggir jalan,'' tadahku enteng.

''Makan apa ya, enaknya, Bang?''

''Apa pun enak, Rat ... asal jangan makan ati aja! Karena makan ati itu sakit.''

''Hehehe ...'' Ratih tersenyum. Namun senyuman itu perlahan memudar dan berganti wajah yang muram. Matanya mendadak berkaca-kaca. Dan tak lama kemudian, dia pun sesenggukan menitikan air matanya. Wah ... gawat, sepertinya aku salah ngomong. Salah memilah kata-kata.

''Ratih, kenapa kok, lo jadi menangis?'' tanyaku buru-buru.

''Gak ... gak apa-apa, Bang!'' jawab Ratih mengelak. Tangannya segera menyeka air matanya yang meleleh di pipi.

''Sorry, ya ... gue salah ngomong. Gue lupa kalau lo lagi patah hati. Perasaan lo masih sangat sensitif. Sehingga mudah sekali baper.'' Aku mengusap-usap rambut perempuan cantik ini.

Ratih menangis lagi. Tersedu-sedu. Tak ada yang bisa aku lakukan untuk menenangkannya. Kecuali aku harus menarik kepalanya dan menyandarkannya di bahuku. Kemudian dengan lembut aku mengusap-usap punggung gadis itu.

Saat aku menenangkan Ratih, aku melirik ke arah Atun dan Sonia. Mereka lagi tertidur pulas. Jadi, aku yakin mereka tidak menyaksikan adegan yang melankolis ini. Kalau mereka melihat pasti akan jadi bahan gosip yang renyah untuk digoreng dan dibolak-balik. Syukurlah.

Setetes Madu Perjaka (SMP Babak 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang