Madu 35 : Klepon

4.9K 274 91
                                    

Di tengah hiruk-pikuk lautan manusia, aku dan Perjaka bertutur sapa. Mengobrol panjang kali lebar kali tinggi. Menceritakan ini dan ono. Saling menjajaki. Saling mengenal lebih intim. Saling membuka diri. Saling membacakan kisah hidup masing-masing. Hingga kami tahu apa dan mengapa. Dari obrolan ini, aku jadi tahu latar belakang dari seorang laki-laki yang bernama Perjaka.

Dia, memiliki nama lengkap Teguh Perjaka Prakarsa. Panggilannya Jaka. Lahir pada tanggal 17 Desember, 20 tahun silam. Anak kedua dari 4 bersaudara. Lahir dari seorang ibu berdarah Sunda dan ayah keturunan Jawa. Perjaka memiliki kulit putih bersih warisan dari ibunya. Badan tegap dan wajah tampan hasil copy paste dari ayahnya. Pria perpaduan Jawa-Sunda ini mempunyai kegemaran traveling. Doyan wisata kuliner dan dia paling suka ngemil klepon.

Klepon itu kue jajanan pasar yang terbuat dari tepung beras ketan yang dibentuk bulat-bulat menyerupai bola bekel. Di dalamnya diisi dengan gula merah. Warnanya hijau daun. Dan biasanya warna hijau tersebut didapat dari campuran air daun pandan. Memakan klepon lebih enak dengan parutan kelapa. Sensasi unik saat memakan jajanan ini yakni pada saat kue digigit akan terasa croot cairan gula merah dan lumer di mulut. Hmmm ... pantesan ya, si Jaka pinter banget nyepongnya. Ternyata dia belajar dari makan klepon, hehehe ... oops!

''Jaka ... apa gue boleh bertanya sesuatu sama lo?'' ujarku.

''Tentu saja boleh, Ben ... silakan!'' sahut Perjaka.

''Tapi sebelumnya gue minta maaf bila pertanyaan gue ini menyinggung perasaan lo. Karena mungkin ini pertanyaan yang sangat sensitif.''

''Gak apa-apa, bilang aja, Ben ... gue bukan tipe orang yang baperan kok. Hehehe ...''

''Hehehe ... kirain. Karena setahu gue orang-orang seperti lo ini punya perasaan yang sangat peka. Gampang tersinggung.''

''Hahaha ... gue bukan termasuk orang yang seperti itu, Ben!''

''Oke ... gue cuma mau bertanya ...'' Aku memotong ucapanku sesaat.

Perjaka menatapku dengan saksama. Pandangannya lurus dan fokus. Dia sepertinya tak sabar mendengar pertanyaanku.

''Sejak kapan lo jadi gay?'' lanjutku.

Perjaka tersenyum simpul, senyumannya manis sekali. Aku suka. Dia menghela napas sebelum membuka mulutnya, ''Entahlah, Ben ... gue tidak tahu sejak kapan gue menjadi pria belok. Gue juga tidak mengerti mengapa gue tiba-tiba menjadi seperti ini. Padahal sejak kecil hidup gue fine-fine aja. Normal-normal aja. Gue juga main permainan yang dimainkan cowok pada umumnya. Main gunduk, layangan, main bola, main mobil-mobilan dan sebagainya. Bahkan gue sangat menghindari permainan yang berbau keperempuan-perempuanan. Gue benci itu.''

''Terus, bagaimana lo bisa terjerumus ke lembah pelangi seperti ini? Jangan bilang karena lo patah hati karena diputusin cewek lo!''

''Hahaha ... gue gak sekonyol itu.''

''Jadi lo menganggap gue ini konyol?''

''E ... tidak, Ben. Bukan begitu maksud gue.''

''Lalu?''

''Sejauh ini gue berpendapat tak ada laki-laki homo yang bisa menularkan kehomoannya kepada laki-laki normal lainnya. Kecuali laki-laki itu telah memiliki kecenderungan yang sama sejak lahir.''

''Jadi lo berpikir bahwa gue ini mempunyai kecenderungan homo bawaan dari lahir begitu?''

''Bisa jadi!''

''Hehehe ...'' Aku meringis. Masih tak yakin dengan pendapatnya.

''Homo bukan virus influenza, Ben ... yang mudah menularkan ke orang lain. Sedekat apa pun hubungan lo dengan kaum homo. Atau sesering apa pun lo berada di lingkungan homo, lo tidak akan tertular jika lo benar-benar laki-laki normal sejati.''

''Lalu bagaimana dengan lo sendiri, Jak ... lo memposisikan diri lo sebagai apa? Laki-laki normal atau homo?''

''Gue laki-laki normal yang memiliki kecenderungan menjadi homo, Ben ... dan sampai saat ini gue menekan kecenderungan itu. Sebisa mungkin aku menghindari kegiatan yang biasa dilakukan kaum homo. Emang sangat sulit. Karena banyak sekali godaannya. Apalagi di zaman secanggih seperti sekarang ini. Aplikasi dating kaum sejenis berjibun di internet. Di sana kita dapat berjumpa dengan siapa pun sesuai yang kita inginkan. Lo bisa lihat sendiri 'kan, kemarin gue bisa mengumpulkan orang-orang seperti Thom, Herio, dan Harsan hanya lewat sebuah aplikasi di smartphone.''

''Oke, gue bisa mengerti pernyataan lo, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal dalam benak gue, Jak ...''

''O, ya ... apa tuh?'' Perjaka mengernyit. Penasaran.

''Lo bilang, lo bekerja keras menekan kecenderungan lo menjadi homo dan tidak akan melakukan hal-hal yang ada di dunia homo.''

''Iya, sebisa mungkin gue memang menghindarinya.''

''Terus mengapa pagi itu lo mau melakukannya bersama gue, Jak?''

''E ... itu karena ...'' Perjaka tampak terngagah dan gugup. Keringatnya mendadak bercucuran di pelipisnya.

''Karena apa, Jak?'' Aku jadi kepo.

''Waktu itu gue gagal menahan diri, Ben ...''

''Kok bisa?''

''Karena gue ...'' Perjaka menghentikan ucapannya sesaat. Ragu-ragu. Bimbang. Gamang, ''Gu-gue tertarik sama lo, Ben ... gu-gue suka sama lo!'' lanjutnya terbatah-batah.

''Hehehe ...'' Aku terkekeh, ''jangan bercanda, Jak!''

''Gue serius, Ben ... jujur ... gue mencintai lo. Gue suka sama lo sejak pertama kali gue berjumpa dengan lo.''

Aku langsung speechless. Mulutku mendadak tergembok. Terbengong seperti orang mabok.

''Sorry, bila gue terlalu dini mengutarakan hal ini, Ben ... Gue gak bisa membohongi diri gue sendiri.''

Aku masih bergeming. Tak tahu harus menjawab apa. Sekujur tubuhku terasa terkunci. Tak dapat bergerak. Tak bisa didobrak. Diam seribu bahasa.

Setetes Madu Perjaka (SMP Babak 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang