Madu 54 : Memilih

4.6K 268 76
                                    

''Beno ...''

Roni berjalan dengan langkah yang tegap. Seperti tentara. Tegak, bersemangat dan berwibawa. Dia menghampiriku. Mendekati aku. Merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Wajahnya semakin dekat. Teramat dekat dengan wajahku. Bahkan aku bisa mendengar deru napasnya yang memburu. Aromanya juga langsung tersengat di indra penciumanku. Wangi dan segar. Campuran aroma kembang melati dan daun mint.

Aku ternganga menatapnya. Diam seribu bahasa, tatkala tangan kekarnya mendorong tubuhku hingga membentur di tembok. Lalu dengan sigap ia mengangkat kedua tanganku dan menguncinya dengan cengkraman tangannya yang kuat. Tubuhku tertotok. Tak bisa bergerak dengan leluasa. Mentok. Seperti seekor entok yang dicekik di bagian tembolok.

''Apa yang lo lakukan, Ndot!'' pekikku berusaha berontak.

''Gue mau bertanya sama lo, Dak!'' timpal Roni tegas. Matanya meruncing. Tajam. Seperti mata falcon.

''Tanya apa?'' Aku mengekerutkan jidat. Perasaanku waswas. Takut Roni akan kalap.

''Sebegitu mudahkah lo menghilangkan perasaan cinta lo terhadap gue ... katakan kepada gue, masih adakah sedikit rasa untuk gue? Jawablah dengan hati nurani lo, Beno Raharjo!"

Mataku dan mata Roni saling bertemu. Saling memancarkan suara batin yang tak terucap. Mencoba memanfaatkan jendela hati ini untuk menyelam lebih dalam. Mengarungi samudara cinta yang terkikis gelombang keegoisan.

''Katakan bahwa lo tidak tertarik lagi sama gue, Badak!'' Suara Roni bergetar. Bola matanya memerah. Sekujur tubuhnya memanas. Seperti tungku yang terbakar. Bergejolak. Seakan mengepulkan asap di kepalanya.

''Lo membohongi gue, Ndot ... terlalu banyak rahasia yang lo simpan ... gue sama sekali tidak mengenali lo ... Lo hanya memanfaatkan gue untuk mencapai hasrat lo.''

''Gue terlalu sayang sama lo, Badak!'' Roni mendaratkan ciumannya di bibirku. Lembut. Hangat. Perlahan dia melumat. Mengulum dengan teknik cepat. Namun, tetap terasa nikmat. Membuatku terjerat. Apalagi sambil menciumku, tangan Roni nakal mengusap-usap dadaku. Meremas-remas bokongku. Mengelus-elus kontolku. Hingga perkakas pribadiku itu ngaceng tak terkendali.

Aku membiarkan dia mencium bibirku sesuka hatinya hingga puas. Hingga dia terengah-engah kehabisan napas. Kemudian ciuman itu terlepas. Dan aku pun bebas.

''Ternyata teori yang diungkapkan Perjaka itu benar ... Tak ada laki-laki straight yang serta merta menjadi gay, dan lo adalah salah satunya. Di dalam diri lo ada kecenderungan dengan perilaku semacam itu,'' ujarku lirih.

''Jangan sebut-sebut nama laki-laki itu di depan gue, Badak! Hati gue sakit ...''

''Gue juga sakit saat gue tahu, ada hubungan khusus antara lo dan Wisnu ...''

''Berarti kita sama, Badak! Di dalam diri kita ada darah homo yang mengalir deras di sekujur tubuh kita. Lo tidak bisa mengelak hal itu. Dalam hati lo ada rasa cemburu, sama seperti dalam hati gue. Dan gue yakin semua itu, karena lo masih mencintai gue ...''

''Iya ... gue memang masih mencintai lo, Ndot ... tapi gue ingin kita menjadi lebih baik ... gue ingin kita sama-sama berubah. Sama-sama menjalani kehidupan dengan normal. Lo menikah dengan wanita dan gue juga.''

''Gue tidak mau kita putus, Badak! Gue ingin kita tetap begini meskipun kita telah memiliki pasangan hidup masing-masing.''

''Badak ... sejujurnya, gue juga ingin seperti itu, tapi hidup adalah pilihan dan kita harus tetap memilih salah satunya. Lo akan memilih seperti ini selamanya atau lo berubah untuk seutuhnya. Tidak boleh setengah-setengah. Gue yakin, kita bisa!''

''Badak ...'' Roni meraih tengkukku. Mendekatkan wajahku ke wajahnya. Kemudian dia menciumku kembali. Mengulum dan melumat dengan penuh perasaan. Dia juga memelukku dengan sangat erat. Seolah enggan untuk terpisahkan.

''Bandot ...'' Aku melepaskan ciuman dan pelukan Roni.

''I love you, Badak ...'' ucap Roni dengan nada piluh. Tatapannya lurus dan dalam.

''I love you too, Bandot ...'' balasku.

Aku dan Roni saling menatap perih. Pandangan mata kami sama-sama nanar. Sama-sama menahan butiran air mata agar tidak tumpah. Kami berusaha bersikap tegar. Seperti batuan karang yang tak goyah meski terhempas gelombang ombak.

''Bandot ... kita adalah laki-laki. Dan kita harus tegas untuk memilih!''

Roni mengangguk. Mungkin, dia sudah memahami dan akan menentukan pilihan hidupnya. Begitu juga dengan diriku. Aku juga pasti akan memilih hal yang terbaik buatku.

Aku dan Roni keluar dari kamar ini. Dan saat itu juga tiga perempuan di ruangan tengah langsung menatap kami. Mereka memancarkan rona wajah yang cerah berseri. Tak ada mendung di sana-sini. Awan gelap seolah lenyap tak membekas lagi. Yang ada hanya sinar terang sang mentari.

''Badak ...'' bisik Roni di kupingku.

''Apa?'' sahutku.

''Kata lo ada seorang gadis cantik, di mana?''

''Itu di samping mamah lo!''

''Dia mah, sepupu gue, Dak ... Si Citra anaknya Bu De yang tinggal di Jogya, gak mungkinlah dia dijodohkan sama gue. Ngaco aja lo!'' Roni mendorong kepalaku dengan kasar.

''Hihihi ...'' Aku jadi meringis, ''berarti boleh dong gue dekatin dia?''

PLAK!

Roni menabok bahuku, ''Iya, tidak apa-apa, asal lo mau terima dia dengan tulus dan apa adanya.''

''Emang kenapa?''

''Dia gadis gagu ... tak bisa mendengar dan tidak bisa bicara.''

''Ooooh ....'' Mulutku membentuk huruf O. Melongo. Seperti orang dongo.

Aku dan Roni jadi terdiam. Tak ada percakapan lagi.

Setetes Madu Perjaka (SMP Babak 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang