Madu 41 : Rumah

5.1K 272 137
                                    

Dia adalah Perjaka. Laki-laki dengan segala pesonanya yang tiba-tiba menjadi bagian dalam kisah hidupku. Kehadirannya memberikan warna baru dalam lika-liku dunia semu. Aku dan dirinya bagai sebuah kertas yang menyusun buku. Setiap goresannya menampilkan tulisan indah yang mencengangkan kalbu. Perjaka menawarkan madunya di kala aku harus meneguk racun dalam kehidupan. Dia memberikan rasa manis di saat kepahitan mencekik tenggorokan.

''Beno ... lo ada di sini juga?'' ucap Perjaka. Matanya berbinar memandang sekujur tubuhku.

''Tak perlu berpura-pura kaget. Gue tahu lo pasti sudah mengetahui keberadaan gue.''

''Hehehe ...'' Perjaka nyengir kuda.

''Herio ... lo pasti yang mengabari Perjaka!'' Aku mendongak ke arah Herio. Lelaki berwajah manis itu tersenyum tipis dan mengangkat bahunya. Pura-pura tak tahu.

''Jangan bohong, ya! Awas kalau bohong digigit brondong!'' kataku mengancam.

''Hahaha ...'' Herio jadi ngakak. Perjaka dan Rangga juga. Aku hanya tersenyum melihat kekompakan mereka.

Herio mendekati aku, ''Sorry, Ben ... gue emang yang ngasih tahu Perjaka bahwa lo ada di sini. Namun, gue gak tahu kalau dia bakal nyusul kemari. Hehehe ...'' Dia menangkupkan kedua telapak tangannya. Membentuk formasi permohonan maaf. Wajahnya penuh penyesalan.

''Hmmm ...'' Aku menarik gemas pipi tembemnya.

''Hihihi ...'' Herio meringis. Rangga melirikku dengan tatapan yang runcing. Rupanya dia cemburu kalau aku memegangi anggota tubuh Herio. Dasar bocah labil. Tidak bisa membedakan mana serius mana becandaan.

''Ben ... gue dengar lo lagi cari kontrakan ya,'' celetuk Perjaka mengalihkan perhatian.

''Herio ...'' Aku menjewer kuping laki-laki berhidung mancung itu dengan kasar, ''ternyata lo ember juga ... iiiihhh!''

''Hehehe ... Ampun, Ben!'' Herio meringis lagi.

''Hmmm ...'' Aku bersingut kesal.

''Sorry, Ben ... gue cuma menjawab jujur aja. Soalnya Perjaka tadi tanya, ngapain lo di tempat gue. Jadi gue bilang aja lo lagi cari kos-kosan. Maaf bila kejujuran gue ini menjadi sebuah kesalahan.''

''It's okay, Her ... Lo tidak salah dengan sikap integritas lo. Manis atau pahit kejujuran emang harus diungkapkan. Gue justru salut sama lo.'' Aku menepuk-nepuk bahu Herio. Rangga makin cemberut. Namun, aku tidak peduli.

''Herio emang selalu mengajarkan kita tentang arti sebuah kejujuran. Dia emang teman yang paling baik,'' timpal Perjaka memuji sambil mengusap-usap bahu Herio dengan lembut. Dan pada saat itu juga aku melirik ke arah Rangga. Brondong tampan itu makin kepanasan. Wajahnya memerah seperti buah delima.

''Perjaka awas tangannya jangan menempel Herio, ada yang lagi terbakar cemburu, tuh!'' sindirku halus. Mataku mengarah ke tubuh Rangga.

''Ah, Bang Beno bisa aja. Gak kok ... siapa yang cemburu!'' tukas Rangga sok polos.

Herio mendekati Rangga kemudian dia memeluk dan mencium pipi remaja tanggung itu dengan penuh kasih. Rangga jadi tersipu. Malu-malu anjing eh kucing. Hehehe ...

''Beno ...'' desah Perjaka mengalihkan pembicaraan.

''Iya ...'' sahutku ringan.

''Jika lo belum mendapatkan kos-kosan lo boleh tinggal bersama gue untuk sementara waktu,'' ujar laki-laki bertubuh jangkung ini to do point. Tanpa basi-basi. Tanpa tedeng aling-aling.

Aku jadi terdiam. Mataku jeli memandang gestur tubuh Perjaka yang tenang dan tegap. Aku menangkap ketulusan maksud hati Perjaka dari pancaran raut wajahnya yang berseri.

''Gue tinggal sendirian, Ben ... dan di tempat gue bebas ...''

Aku masih diam. Lebih tepatnya berpikir. Masih ada keraguan di hati ini. Ragu apakah aku akan menerima tawarannya itu. Jika aku tinggal bersama Perjaka berarti aku membuka peluang harapan buat dia. Jika aku menolaknya, aku menyia-nyiakan niat baik seseorang yang akan menolongku.

''Beno ...'' Herio mendekatiku, ''terima aja tawaran Perjaka, tak perlu memikirkan hal yang macam-macam. Toh, lo gak selamanya bareng dia ...'' bisiknya turut membujuk.

Beberapa saat kami terdiam. Terpaku dalam alam benak kami masing-masing. Hingga akhirnya aku membuka mulutku, ''Baiklah ... gue akan tinggal bersama lo, Jak!''

''Nah, gitu dong!'' timpal Herio girang.

''Gue senang mendengar keputusan lo, Ben ...'' ujar Perjaka semringah. Senyumannya langsung mengambang.

Rangga tampak tersenyum simpul. Brondong itu tak ikut bicara, tetapi aku yakin dia pasti senang karena aku tak jadi nimbrung di kosan Herio.

Well, singkat kata. Aku dan Perjaka pun pamit dari bangunan tempat di mana Herio berteduh dari teriknya panas matahari dan guyuran air hujan. Kami pergi dengan hati yang lapang menggunakan kendaraan roda dua milik Perjaka. Kami berdua meluncur ke kawasan Cakung, Jakarta Timur. Ke rumah kontrakan Perjaka.

Setelah kami berjalan sekitar 30 menit. Kami pun sampai di sebuah bangunan rumah dengan gaya minimalis. Rumah mungil bercat hijau itu tampak sederhana, tetapi cukup berkelas. Khas perumahan modern di tengah kota besar. Meskipun kecil memiliki fasilitas yang cukup lengkap sebagai hunian yang layak. Dan yang tak kalah penting, tempatnya bersih dan rapi. Aku suka. Aku tertarik.

Kami masuk dan langsung menjelajahi rumah kontrakan tersebut. Seolah sedang menjelajahi Perjaka dan karakternya.

Setetes Madu Perjaka (SMP Babak 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang