Madu 24 : Putus

5.6K 257 37
                                    

Hatiku panas. Menggelegak. Seperti tembikar yang terbakar. Dengan cepat. Seperti meteorit yang melesat. Aku bergerak mendekati Wisnu. Kucengkram kerah bajunya. Kutarik ia. Hingga kancing bajunya terlepas satu. Dan wajah lelaki ini pucat. Ketakutan. Seolah melihat genderowo yang sedang mengamuk.

''Hei ... kenapa sih, kemunculan lo selalu menimbulkan masalah!'' gertakku lantang.

''Ampun, Bang ... Ampun!'' Tubuh Wisnu merinding. Gemetaran. Seperti rumput yang tertiup angin. Goyang-goyang.

Bug! Bug!

Dua bogem mentah kulayangkan ke muka Wisnu. Mengenai rahang dan pelipisnya. Hingga dia tersungkur tak berdaya. Lelaki ini diam saja. Tak mau melawan. Aku jadi bertambah kesal. Ingin menghantamnya lagi. Akan tetapi Roni mencegahku. Dia menahan tubuhku dengan kedua tangannya yang kekar.

''Beno ... sudah, Ben!'' pekik Roni meleraiku.

''Lepaskan! Dia pantas dihajar! Kita buat dia babak belur! Biar tau rasa dia!'' Aku berontak. Ingin melepaskan diri dari sekapan tangan Roni.

''Cukup, Beno!'' gertak Roni keras. Dan membuatku melemah.

''What! Ada apa dengan lo, Ndot ... semalam lo yang menggebu-gebu ingin menghajarnya, tapi mengapa sekarang lo malah mencegahnya?'' tadahku. Heran. Penasaran. Tidak mengerti.

''Lihat ... dia sudah pingsan!'' Roni menunjuk ke arah Wisnu yang sudah tak sadarkan diri.

''Hah.'' Aku ternganga tak percaya. Selemah itu. Selembek itu. Baru dua tonjokan saja dia sudah K.O.

''Kalo lo terus menghajarnya, dia bisa innalillahi, Dak!'' Roni melepaskan bekapan tangannya dari tubuhku.

''O, Tuhan ... kenapa jadi begini?'' Aku bergerak mendekati Wisnu. Memeriksanya. Saksama. Dia masih bernapas. Dia masih hidup. Syukurlah.

''Biarkan dia ... nanti juga sadar sendiri!''

''Bodoh ... dia hanya pura-pura, Ndot ... gue yakin itu.''

''Uhuk ... Uhuk ...'' Wisnu terbatuk-batuk. Matanya perlahan melek. Melirikku, ''Ampun Bang, ampun ... jangan pukul aku!'' ujarnya memohon-mohon. Masih dengan raut wajah memelas dan ketakutan yang akut.

''Bangun lo!'' titahku.

Wisnu menurut. Dia membangkitkan tubuhnya.

''Gue gak akan memukul lo lagi. Sekarang lo pergi ... tinggalkan kami!'' komandoku.

Wisnu terdiam. Sekujur tubuhnya masih bergetar. Seperti orang yang kedinginan. Dengan tergopoh-gopoh dia ngibrit. Lari terbirit-birit. Mungkin dia cepirit. Meninggalkan kamar ini. Meninggalkan aku dan Roni.

''Badak ... apa yang lo lakukan, dia bisa membocorkan semua rahasia kita, gue bisa hancur!'' cetus Roni kesal.

''Bego dipelihara. Kambing noh dipelihara jadi gemuk!'' timpalku.

''Maksud lo?''

''Bandot ... dia tuh, gak punya bukti apa-apa tentang hubungan kita, ngapain lo musti takut. Kalaupun dia ngadu dan ngomong macem-macem ... dia sama aja membuka aibnya sendiri.''

''Badak ... ternyata lo cerdas juga, ya.''

''Lo aja yang mudah dikibulin. Gue rasa Wisnu itu memang menyukai lo, Ndot ... dia mencari-cari kesempatan untuk bisa mencicipi tubuh lo.''

''Brengsek!'' Roni mengepalkan tangannya. Matanya meruncing. Hidungnya mendengus. Geram.

''Marahnya sudah telat. Dia sudah kabur.''

''Sekarang juga, Ratih harus mutusin Wisnu. Dia harus secepatnya tinggalin cowok brengsek itu!''

''Hehehe ... gue yakin justru Wisnu yang akan mutusin Ratih. Dan itu lebih bagus, lihat saja nanti ...'' Aku malah terkekeh.

''Ah, sial, sial! ... Gue nyesel kontol gue diisep ama dia, BANGSAT!''

''Gak usah nyesel. Lo juga menikmatinya, 'kan?''

''Hah?'' Roni mengkerutkan keningnya. Tercengang.

''Enak gak sepongannya? Ngaku aja!''

''Sue ... lo malah ngeledek gue!'' Roni menyiku perutku. Kesal.

''Hahaha ....'' Aku jadi ngakak.

Tak seberapa lama kemudian, pintu kamar kami terbuka. Dari pintu tersebut Ratih nongol dengan wajah yang berlinangan air mata. Dia berjalan tergesa-gesa dan bergerak cepat menghampiri Roni. Lalu ...

PLAK! PLAK!

Ratih menampar pipi Roni. Bagian kanan dan kiri. Seimbang. Dengan kekuatan penuh emosional. Aku hanya melongo. Roni termangu sambil memegangi kedua pipinya.

''Apa yang Bang Roni katakan pada Wisnu? APA!'' teriak Ratih. Kencang. Suaranya seperti geledek menyambar di siang bolong.

''Ratih ... gue tidak ngomong apa-apa ... beneran. Emang kenapa, Rat?'' Roni kebingungan dilabrak adik kandungnya sendiri.

''Gue yakin Bang Roni ngomong sesuatu hingga Wisnu tega memutuskan aku secara tiba-tiba!''

''Ooo ...'' Roni mengangguk-angguk. Matanya melirik ke arahku.

Aku tertawa dalam hati. Mantul ... mantap betul. Sesuai yang aku perkirakan. Wisnu pasti segera melakukan tindakan ini. Memutuskan Ratih. Dan itu bagus. Satu kemenangan kecil bagiku.

''Sekarang Abang puas Ratih jomblo lagi, hah?!'' Ratih masih meledak-ledak seperti mercon yang dibakar.

''Ratih ... kelak lo akan tau, bahwa Wisnu bukan cowok yang baik buat lo.''

''Berhentilah Abang mencampuri urusan Ratih!'' tandas Ratih dengan oktaf yang masih tinggi.

PLAAAKKK!

Bonus satu tamparan lagi yang mendarat di pipi Roni sebelum Ratih ngacir meninggalkan kami. Dia pergi dengan wajah yang memerah padam. Penuh kebencian. Terluka dan merana. __Maafkan kami, Ratih!

''Hehehe ...'' Aku terkekeh.

''Kenapa lo tertawa, Dak?''

''Gak ... gak apa-apa ....'' jawabku sembari ngeloyor. Membalikan tubuh dan berjalan mendekati koper. Mengambil pakaian dan memakainya.

''Hmmm ...'' Roni bersingut kesal.

Setetes Madu Perjaka (SMP Babak 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang