Madu 45 : Maaf

4.9K 288 97
                                    

Well, aku dan Perjaka sudah rapi. Mengenakan seragam kerja kami masing-masing. Tanpa banyak tingkah, kami berangkat bersama. Dengan menggunakan sepeda motor milik Perjaka, kami meluncur ke tempat kerja. Kebetulan kami searah. Sejalan. Jadi tak ada alasan buat kami untuk pergi sendiri-sendiri.

Hari masih pagi, tetapi macet sudah ada di sana-sini. Untung Perjaka tahu jalan solusi. Mengetahui lorong tikus untuk dilalui. Bergerak bagai ular. Berkelok-kelok dengan kecepatan maksimal. Dia cerdas dan tangkas. Mahir mengendalikan kendaraan roda duanya. Hingga kami pun sampai di tempat tujuan. Tanpa memakan banyak waktu. Tanpa lelah harus menemui jalan buntu. Dan di tikungan jalan itu kami berpisah. Perjaka pergi ke gedung biru tempatnya mengais rupiah. Sementara aku berjalan pelan menuju kantorku sendiri.

Saat kaki ini melenggang kangkung. Berjalan santai dengan dada tegap membusung. Di tepian jalan mendadak aku terkungkung. Ada sesosok tubuh kekar membumbung. Menghadangku dengan tatapan langsung. Matanya tegas memberikan sinyal yang terselubung. Aku bingung. Aku mundur beberapa langkah untuk memberi jarak penghubung.

‘’Gue semalaman mencari lo ...’’ Suara bariton itu menggetarkan jiwa dan ragaku. Suara yang keluar dari pemilik rahang tegas yang berbulu.

Aku membisu. Memalingkan muka jauh-jauh. Aku tak mau menatap sorot matanya yang angkuh.

‘’Gue menyesal tidak mendengarkan ucapan lo ...’’ Kembali dia mengeluarkan suara baritonnya yang tenang. Tanpa sedikit pun goncangan. Pita suaranya benar-benar sempurna terancang.

Aku bergeming. Membiarkan dia mengeluarkan unek-uneknya.

‘’Gue mau minta maaf sama lo, Dak ... Gue ceroboh. Bodoh. Tersulut emosi sepihak, tanpa mau berbuat bijak.’’ Ada nada penyesalan di setiap penekanan kata-katanya.

Aku melirik ke arahnya. Pancaran bola matanya berbinar-binar. Sikapnya masih tenang. Seperti batuan karang. Tak goyah tercabik gelombang.

‘’Gue mohon kembalilah bersama gue ...’’ ujarnya meletup-letup di tengah lalu lalang aktivitas trotoar.

‘’Hehehe ...’’ Aku terkekeh melihat keteguhannya mengucapkan kata-kata itu, ‘’Lo mau gue balik ke tempat lo?’’

‘’Iya, Badak ... gue rela akan melakukan apa aja asal lo  balik lagi bersama gue ...’’ Matanya mendadak sayu.

‘’Hahaha ... Jangan mimpi!’’ tandasku sembari kabur dari hadapan laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Namun, secepat kilat tangan kekarnya menangkap lenganku. Menghentikan gerakan tubuhku. Lalu menyeretku kembali ke tempat yang lebih sepi.

‘’Gue mohon, maafkan gue, Badak ... gue menyesal karena hanya mendengarkan kata-kata Yuri ...’’ Mulutnya komat-kamit tegas. Jelas. Nge-gas.

Aku kembali bergeming. Diam seribu bahasa. Tak mau salah berkata.

‘’Gue  masih sayang sama lo, Dak ... gue gak mau kehilangan lo ... Gue tahu lo juga tahu itu. Gue emang merasa sangat bersalah sama lo, tapi gue yakin lo pasti akan memaafkan gue ...’’ Lelaki ini ngomong panjang lebar. Namun, intinya cuma minta maaf.

‘’Bandot ...’’ Aku membuka suara, ‘’Lo sudah mengusir gue ... Lo sudah mencampakan gue seperti barang rongsokan yang tidak berguna ... terus lo sekarang mau memungutnya lagi?’’

‘’Please, Badak ... gue benar-benar menyesal.’’ Suaranya meninggi beberapa oktaf.

‘’Menyesal? Setelah lo membuang gue begitu saja ... terus lo menyesal dan mau mengambil gue lagi. No, no, no, ... ini hati, Ndot ... bukan batu yang begitu gampangnya lo buang terus lo ambil lagi,'’ tukasku lantang. Mataku resah, lirik kanan dan kiri. Takut ada orang yang memperlihatkan kami.

‘’Jadi lo gak mau memaafkan gue, Dak?’’ Suaranya melemah. Terdengar piluh. Sendu.

‘’Tidak sekarang. Gue butuh waktu!’’ timpalku tegas.

‘’Ayolah, Badak ... gue tahu lo masih sayang sama gue.’’ Laki-laki gagah tampan ini merangkul bahuku. Namun, dengan cepat aku melepaskan rangkulannya. Matanya berubah sayu. Termehek-mehek. Lucu.

‘’Hahaha ... PD sekali lo. Lo pikir lo siapa?’’ Aku tertawa mengejek.

‘’Badak ... jangan bohongi hati nurani lo sendiri. Gue tahu lo masih sayang sama gue, sama seperti gue yang masih sangat sayang sama lo," pekik dia datar.

‘’Lo gak sayang sama gue, Ndot ... Lo egois, lo maunya menang sendiri, lo hanya menyayangi diri lo sendiri!’’ timpalku ganas.

‘’Gue janji, gue akan berubah, Dak ... gue rela deh, jadi BOT lo selamanya, asal lo mau kembali sama gue ... please, mau, ya!’’

‘’Bandot ... cinta bukan urusan SEX semata, butuh pengertian dan perhatian. Dan lo tidak memiliki itu ...’’

‘’Terus gue harus bagaimana agar lo mau kembali, Dak? Katakan pada gue!’’

‘’Lo ingin tahu, lo harus bagaimana?’’

‘’Ya, Dak ...’’

‘’Lebih baik lo pergi dan jangan temui gue lagi ...’’

‘’Badak ... kenapa sih, lo tega banget sama gue?’’ Laki-laki muscle ini menepuk-nepuk pipiku.

‘’Lo lebih tega sama gue, Ndot ...’’

‘’Lo gak mau kembali bareng gue?’’

‘’Tidak!’’ Aku membalik 45 derajat tubuhku.

‘’Badak ... okelah jika itu keputusan lo. Tapi ada satu hal yang perlu lo ketahui.’’

‘’Apa?’’ Aku menoreh ke wajah dia yang sudah terpanggang. Gosong.

‘’Yuri sudah pergi. Gue sudah memutuskan dia. Gue sadar dia bukan perempuan baik-baik ... gue tidak mencintainya. Karena cinta gue sepenuhnya hanya buat lo ...’’

Aku tercengang mendengar pengakuan Roni. Tubuhku mendadak bergetar seperti tersengat aliran listrik. Berguncang hebat. Masih tak yakin. Secepat itukah dia mengetahui kebenarannya. Bahwa Yuri itu wanita jalang. Wanita yang haus goyangan ranjang. Siapa yang menyadarkannya? Siapa yang menunjukan buktinya? Aneh ... membingungkan.

Setetes Madu Perjaka (SMP Babak 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang