Madu 39 : Brondong

5.7K 288 93
                                    

Sudah hampir satu jam aku duduk terdiam di halte Kayu Putih, Rawasari, Jakarta Pusat. Menggendong tas ransel dan menggandeng koper. Tak ada ide untuk jalan ke mana. Otakku terasa buntu. Mau cari hotel, sayang ... terlalu mahal. Untuk kelas melati saja pasti di atas 500-an ribu per malamnya. Daripada buat menyewa kamar hotel, mendingan buat makan, bukan?

Apa aku kembali ke tempat kost yang dulu? Mudah-mudahan saja belum terisi. Oke, lebih baik aku memang ke sana.

''Bajaj!'' seruku. Tanganku melambai ke atas. Menghentikan sebuah bajaj biru yang sedang melaju.

Bajaj tersebut berhenti dan langsung memutarbalik. Kemudian menghampiriku segera.

''Ke Cempaka Putih, Pak!'' ujarku pas sopir bajaj itu di depanku.

''Mari silakan!'' sahut sopir bajaj ini sembari membukakan pintu kendaraannya.

''Berapa, Pak?'' tanyaku.

''Dua puluh lima ribu rupiah, Mas!'' jawab Sang sopir.

''Gak kurang, Pak? Dekat kok. Dua puluh ribu aja, ya?'' tawarku.

''Ya, udahlah ... gak papa!'' balas Pak Sopir pasrah.

''Terima kasih!'' Aku masuk bersama barang-barang bawaanku. Dan tak lama kemudian, kendaraan beroda tiga ini pun melaju dengan kecepatan yang cukup kencang. Membawa tubuh lelah ini ke jalan cempaka 1, Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat.

Sepuluh menit telah berjalan, kami pun tiba di tempat tujuan. Aku turun dan membayar sesuai dengan kesepakatan. Bajaj biru itu pun pergi. Meninggalkan aku yang masih berdiri di tepi jalan.

Dengan tenaga yang tersisa aku menyeret koper dan berjalan menuju ke sebuah gang kecil. Namun, di tengah perjalanan kaki ini, aku berhenti. Saat kedua mataku menangkap sebuah papan karton yang menempel di gerbang bangunan tempat kost-ku yang dulu. Karton itu bertuliskan 'TIDAK ADA KAMAR KOSONG'. Hal itu berarti, semua kamar telah tersewa. Tak ada tempat untukku beristirahat. Aku menghela napas. Harapanku bisa kembali ke kosanku yang dulu, pupus. Aku jadi merunduk lesu. Harus ke mana lagi aku pergi.

Aku membalikkan badan. Lalu, berjalan lunglai tanpa daya. Seperti baterai ponsel yang lowbatt. Tiada bergairah. Lemah. Namun, aku tidak mau menyerah. Aku akan terus berusaha. Mencari dan terus mencari tempat persinggahan, meskipun badan ini lelah.

''Beno ...!''

Di sebuah tikungan, telingaku mendengar suara seseorang menyebut namaku. Suara jenis tenor. Suaranya yang tenang dan merdu itu seperti angin segar yang membelai wajahku. Aku langsung mengangkat mukaku dan mencari sumber suara itu.

Dan kedua mata ini menangkap sesosok tubuh laki-laki yang berjalan pelan menghampiriku.

''Beno ... ngapain lo di sini?'' ujar dia tepat di jarak setengah meter di depanku.

''Lo mengenal gue?'' sahutku heran. Aku memperhatikan wajahnya. Pernah mengenalnya, tapi aku lupa siapa namanya. Wajah lelaki yang manis. Kinyis-kinyis. Seperti gulajawir. Tingginya setara dengan tinggiku. Badannya agak kurus. Dan warna kulitnya cerah. Kuning langsat. Aku mencoba mengingat-ingat namanya, tapi tak satu pun nama yang terlintas di pikiranku.

''Ya, ampun Beno ... baru kemarin kita bertemu, lo sudah lupa aja!'' cetus lelaki berkumis tipis ini dengan geleng-geleng kepala.

''Hehehe ...'' Aku meringis. Garuk-garuk kepala yang sesungguhnya tak gatal.

''Gue Herio, Ben ... teman ngumpulnya Perjaka,'' terang laki-laki bermata bulat ini.

''Astaqfirullah!'' Aku menepok jidat, ''Herio ... kenapa gue jadi pelupa gini, ya!'' Aku menepuk-nepuk bahunya.

''Hahaha ... gue maklum kok, cowok seperti lo pasti punya banyak kenalan. Mana mungkin inget dengan gue yang hanya sebuah remahan rengginang,'' timpal Herio dengan senyuman yang super manis.

''Wkwkwkwk, bisa aja lo. Sorry, sorry, Herio ... gue benar-benar, lupa-lupa ingat. Yang gue ingat itu cuma Si Botol Kecap yang kocak, siapa tuh namanya?''

''Thomas!''

''O, ya si Thom... hehehe.''

''Hehehe ...'' Kami jadi terkekeh.

''Well, ngomong-ngomong lo sedang ngapain di sini, Ben?'' tanya Herio, ''bawa-bawa koper, tas ransel segala, macam orang mau pindahan aja lo!'' imbuhnya sambil memperhatikan barang-barang bawaanku.

''Iya, Herio ... sebenarnya gue emang lagi cari kos-kosan.''

''O, cari kos-kosan ... udah nemu?''

''Belum!'' Aku menggeleng.

''Ayo mampir ke tempat gue aja dulu, ntar gue bantuin nyariin!'' Tangan Herio menyentuh pundakku. Hangat. Penuh rasa persahabatan.

''Emang lo ngekost di daerah sini, Her?''

''Iya, tidak jauh kok, dari sini, yuk mampir!'' ajak Herio penuh semangat.

''Baiklah!'' jawabku.

Tanpa banyak chatchitchut, kami pun langsung bergerak menuju ke kosan Herio. Memang benar, tempatnya tak jauh dari tempat kami bertemu. Hanya beberapa menit saja kami sudah sampai di gerbang pintu kos-kosannya.

Saat kami membuka pintu gerbang, kami berpapasan dengan seorang laki-laki muda berbadan sekal dan tegap. Kulitnya sawo matang. Rambut cepak seperti potongan rambut anggota tentara.

''Mas Sofiano, arep menyang endi?'' tegur Herio pada laki-laki itu.

''Biasa, arep jemput bojoku, Her!'' jawab laki-laki itu datar plus senyuman yang lebar. Menunjukan giginya yang besar dan putih.

''O, gitu ...'' Herio mantuk-mantuk.

''Iyo!"

''Ati-ati, Mas!''

Laki-laki itu hanya tersenyum simpul. Senyumannya cukup menawan. Dia sempat melirikku dan membungkukkan badannya sebelum dia ngacir bersama motor bebeknya.

''Siapa tuh, Her?'' tanyaku kepo.

''Tetangga gue. Mas Sofiano,'' jawab Herio sambil menaiki tangga. Aku berjalan di belakangnya.

''O ...'' Aku mengangguk pelan.

''Iya, keren juga 'kan?''

''Hehehe ... lumayan!'' __Keren sih, tapi lebih kerenan Roni. Oops! Kenapa aku ingat-ingat dia sih, dia yang mengusirku dan membuatku jadi sengsara begini. Untuk sementara aku hilangkan dulu nama dia dari memori otakku.

Herio berdiri di depan pintu, lalu dia menekan grendelnya dan ... Klek! Pintunya terbuka lebar.

''Welcome to my gubuk!'' ujar Herio. Bibirnya tersungging. Masih tetap manis. Seolah ada lelehan madu di setiap mili bibirnya yang ranum kemerahan.

Aku pun masuk. Menuruti permintaan si empunya kosan. Namun baru selangkah kaki ini memasuki ruang kosan, aku dikejutkan dengan penampakan sosok pemuda tanggung yang sangat rupawan. Rambutnya ikal. Alisnya tebal. Matanya bening dan bulat. Hidungnya mancung. Kumisnya tipis. Bibirnya merona. Spesies yang langka. Mempesona. Nyaris sempurna.

''OMG, siapa brondong ini?'' ujarku dalam hati, ''ganteng sekali!''

''O, ya, Ben ... perkenalkan ini adik-adikan gue,'' celetuk Herio memecah lamunanku.

''Hehehe ...'' Aku terkekeh mendengar istilah adik-adikan yang dilontarkan Herio untuk mengganti kata BF.

Cowok ABG tampan itu berdiri, lalu menghampiriku. Dia menyodorkan tangannya ke arahku.

''Rangga ...'' ucapnya dengan senyuman yang sebegitu indahnya.

''Beno ...'' balasku.

Kami saling berjabatan tangan. Saling mempertemukan bola mata. Namun, tak ada rasa apa pun. Biasa saja. Walaupun Rangga tampak menawan, tetapi tak cukup untuk menggetarkan hatiku. Apalagi aku paham betul, kalau brondong ganteng ini pacar lelaki Herio. Aku tak mungkin tertarik dengannya. Aku masih punya hati untuk menghormati Herio.

Setetes Madu Perjaka (SMP Babak 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang