6. Kisah Kita

113 11 0
                                    

Entah sebuah tantangan atau kebodohan. Ah, tapi biarkan saja. Biarkan aku beranggapan kisah ini masih dikisahkan dengan semestinya.
_____________________________________

Sudah hampir satu minggu Sheana bekerja sebagai sekretaris. Selama itu pula Syaf setia mengantar jemputnya. Meski harus berdebat dulu seperti biasa.

Hari ini pekerjaan Shea tak begitu banyak. Abigail selaku bosnya juga tidak masuk kantor. Di meja kerjanya, Shea hanya menonton video yang sempat disarankan oleh Alysha. Sesekali ia mengecek ponselnya takut-takut ada tugas dari bosnya.

Alysha juga telah menyelesaikan pekerjaannya. Gadis itu memang selalu menyelesaikan pekerjaannya agar ia tak dikejar deadline. Ia nampak santai mengusap-usap layar ponselnya. Sesekali mengetikkan sesuatu dengan satu tangan. Tangannya yang lain ia gunakan untuk memegang gelas kemasan milkshake cokelat.

Sorenya, Sheana mengajak Alysha ke caffe yang biasa ia datangi. Mereka duduk di tempat favorit Shea. Shea memesan secangkir matcha latte hangat. Sedangkan Alysha memesan secangkir milkshake cokelat hangat. Dasar gadis milkshake.

Sore itu nampak begitu cerah. Langit tak ragu menggelar selimut jingganya. Shea memandang ke seberang caffe. Lagi-lagi ia melihat laki-laki itu. Laki-laki yang beberapa hari lalu bertemu dengan Bang Syaf di caffe ini. Hari ini ia memakai kemeja putih yang tidak dimasukkan. Lengannya ia gulung sampai siku. Jas kantor berwarna hitam nampak bertengger ramah di pundak kanannya. Di lengan kirinya melekat jam tangan hitam yang membuatnya terlihat lebih gagah.

Tanpa segan ia membaur, duduk dan bercengkerama dengan para pengamen yang sedang mengistirahatkan diri dari rutinitas melelahkan mereka, menantikan lampu merah menyala atau menantikan warung makan buka.

Tak lama, laki-laki itu beranjak dari duduknya. Jas yang semula berada di pundak kanannya, telah tergenggam manis di tangan kanannya. Ia mulai melangkah menyeberang jalan. Setelah sampai di seberang, ia kembali menyeberang ke tempat asalnya tadi. Mengantar seorang nenek-nenek yang hendak menyeberang. Setelah mengantarkan nenek itu, ia menyeberang lagi.

Seperti sebelumnya, ia menuju ke caffe yang sama dengan Shea. Lonceng di pintu masuk caffe berbunyi. Pria itu melangkah ke meja yang sama seperti sebelumnya. Di sebelah meja Shea. Sebelum duduk, pria itu mengacak pelan rambut hitamnya. Ia tak langsung memanggil waiter seperti sebelumnya. Tapi ia memilih memainkan ponselnya lebih dulu. Setelah beberapa menit, ia baru meletakkan ponselnya dan memanggil waiter.

"Jangan memandang yang haram." Peringat Alysha mengumpulkan kembali kesadaran Shea yang sempat tercecer.

"Astaghfirullah. Tapi aku nggak ada maksud apa-apa kok, Lysh."

"Tetep aja nggak boleh, sayang. Pulang, yuk! Aku udah dijemput Ayah. Kamu sama Abangmu, kan?"

"Aku sama Ayah. Bang Syaf lagi banyak kerjaan katanya".

Mendengar nama itu, Alysha sempat tertegun. Ia segera menormalkan kembali ekspresi wajahnya.

"Syaf? Nama abang kamu Syaf?"

"Iya. Lengkapnya Syafril Rivai. Kamu kenal, Lysh?".

"Eh, kayaknya enggak, deh." Ucap Alysha dengan senyum yang berat.

"Aku kira kenal, soalnya Bang Syaf juga punya temen namanya Alysha, tapi aku lupa nanya nama lengkapnya."

"Ya udah, lah. Ayo, pulang. Nanti kesorean." Putus Alysha enggan membuat pikirannya menjelajah lebih jauh.

'Apa itu kamu? Semoga iya.' Ucap Alysha dalam hati.

Aku ingin bertemu kamu, Syaf. Tapi aku takut harus menelan kekecewaan. Kamu terlalu tinggi untuk aku gapai. Tapi tak apa, setidaknya kita bertemu sebagai sahabat yang pernah menertawakan hidup di sekolah yang sama. Dengan Jojo, Wisnu, dan Tasya.

Debar tanpa Definisi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang