3. Mencari yang Halal

153 13 0
                                    

Pada hembusan nafasku ke sekian, aku mulai sadar bahwa masih ada yang harus aku temukan. Bukan yang mengusir kesepian. Namun yang menuntaskan pencarian. Penyempurna agamaku.

_____________________________________

Setelah melamar pekerjaan, aku menyempatkan diri untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan. Aku membeli beberapa novel yang memang sudah aku rencanakan jauh-jauh hari. Beruntung, novel itu masih ada. Aku juga membeli baju gamis berwarna abu-abu, lengkap dengan hijab syar'inya.

Selesai berkeliling pusat perbelanjaan, aku mampir ke caffe favoritku sejak kecil. Aku sekeluarga sering menghabiskan waktu bersama di caffe ini. Pelayan di caffe itu sampai menghafal wajahku dan juga pesanan favoritku. Secangkir matcha latte hangat. Aku biasa mengambil tempat duduk di sudut caffe, dekat dengan kaca. Jadi, aku bisa melihat keramaian di jalanan depan caffe.

Tapi hari ini berbeda, hujan turun seenaknya. Tanpa peduli apa yang ada di bawahnya. Merah, biru, putih, hitam payung mulai bermekaran. Hilir mudik mengantarkan sang empunya ke tujuan. Tak sedikit juga yang hanya melindungi kepala mereka dengan tas, jas kantor mereka, bahkan kantong plastik. Jangan lupakan mereka yang dengan beraninya menerobos hujan tanpa perlindungan. Semua orang mempercepat langkahnya. Seakan ingin lekas menjauh dari hujan yang sengaja membuat cemburu dengan jatuh bersama dan menciptakan nada indah di atas aspal dan trotoar.

Nampak sosok pria berjalan gagah dengan setelan formal kantornya. Wajah tegas ditambah aksen ramah itu, terlihat bercahaya di bawah payung hitam ditimpa sorot cahaya vespa butut yang dengan lambatnya mencoba membelah jalanan dan menerobos hujan.

Hari memang sudah hampir petang. Namun aku masih enggan beranjak dari tempatku. Masih dengan menikmati secangkir matcha latte yang mulai dingin, mataku menangkap objek penglihatan yang begitu menyentuh. Pria dengan setelan formal kantornya menghampiri seorang anak laki-laki yang usianya sekitar 6 tahun. Anak laki-laki itu memakai celana pendek dan kaos lusuh kebesaran yang melekat di tubuhnya. Alas kaki yang dipakainya pun terlihat berbeda antara kiri dan kanan. Ia memakai kantong plastik di kepalanya.

Meskipun ia sedang berteduh di bawah atap emperan toko di seberang caffe ini, ia tidak melepas kantong plastik itu. Ia terlihat kedinginan, meniup dan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya untuk mengusir dingin yang datang. Sesekali ia menolehkan pandangan ke kanan dan ke kiri. Menanti waktu yang pas untuk ia mengelabuhi rombongan air langit yang berdatangan.

Pria dengan setelan formal kantornya berdiri di samping anak laki-laki itu. Ia menepuk pundak anak itu hingga anak itu menoleh dan mendongak menatapnya. Mereka saling tersenyum, kemudian mereka mulai bercakap-cakap, terlihat dari gerak bibir mereka. Terkadang mereka tertawa kecil.

Anak itu terlihat mempraktekkan sesuatu yang membuat pria di sampingnya tertawa terbahak. Hangat rasanya melihat pemandangan itu. Pria itu mengangkat tangan kirinya, memandang jam yang melekat pada pergelangan tangannya. Tak lama, ia bercakap lagi dengan anak kecil itu. Pria itu menyerahkan payung hitam yang sedari tadi ia bawa kepada anak kecil itu. Tapi, anak itu menolak. Karena ia tahu siapapun pasti sedang membutuhkan payung, termasuk pria di sampingnya ini. Pria itu terus merayu sampai anak itu mau menerima payungnya dan mulai beranjak pergi dari emperan meninggalkan pria itu.

Pria tadi mulai melepas jasnya, menyisakan kemeja abu-abu. Ia memposisikan jasnya di atas kepala dan mulai berlari kecil menyeberang jalan. Ternyata, tempat yang ia tuju adalah caffe di mana aku berada. Ia mulai mencari tempat duduk yang nyaman.

Pilihannya jatuh pada meja di sebelah mejaku, ia mengambil posisi duduk di kursi yang membelakangiku. Ia memanggil waiter dan mulai menyebutkan pesanannya.

Debar tanpa Definisi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang