3

136 23 3
                                    

19:00 WITA Rayn membuka matanya perlahan. Masih sedikit sakit namun sudah tak sesakit yang tadi. Helaan nafas terdengar keluar dari mulutnya, menggambarkan perasaannya saat ini. Lelah dengan hidupnya yang terus terusan tertekan. Tak ingin memikirkannya lama lama. Akhirnya Rayn memutuskan untuk bangun dan mandi. Tiba-tiba terdengar bunyi dentingan bel rumahnya.

Sore tadi Pak Bram berpamitan ingin mengisi bahan bakar mobil keluar bersama Mbak Lili yang sekalian pergi ke Swalayan. Jadi, tidak ada orang lain yang akan membukakan pintu. Rayn baru saja selesai mandi. Kakinya melangkah ke arah pintu masuk ruang tamu dan membukanya.

"Sudah kamu siapakan semua perlengkapan sekolahmu?" Dia Pramono Adijaya, ayah Rayn tentunya. Sambil melihat lihat keadaan di rumah itu apakah rapi atau berantakan.

"Sudah. Kenapa Ayah kemari?" Rayn yang sebenarnya tidak suka jika diatur-atur mulai kesal karena sang ayah terkesan begitu sangat menilai kondisi rumah saat ini.

"Pertanyaan macam apa itu. Rumah ini dibeli atas namaku dan aku yang membayarnya tunai. Ini rumahku, jadi apa salahnya aku pulang kemari. Kebetulan aku baru mengunjungi sekolahan yang akan kamu masuki lusa. Oh, satu hal yang perlu kamu tanamkan. Jangan membuat kesalahan sedikitpun yang akan mempermalukanku." Tidak seperti ini kalimat yang ingin dia katakan. Sejak anaknya masih kecil dia sadar jika hubungan antara dirinya dan anaknya tidak pernah dekat. Setiap kali dia mencoba untuk mendekat, sisi egois di dalam dirinya malah membuat melukai sang putri.

Rayn mendengus "Aku tau itu, Ayah. Memang apalagi yang kau inginkan selain kesempurnaan. Aku akan mengikuti kemauanmu layaknya boneka," sahut Rayn dengan berani. Saat ini Rayn sedang dihantam oleh sisi arogannya. Jangan salahkan Rayn akan sikapnya yang tidak sopan pada sang ayah. Dia sudah cukup Lelah dan sakit hati dengan sikap mengekang dari sang ayah. Rayn ingin keluarga yang hangat, bukan keluarga yang dingin dan kaku seperti ini.

"Jaga bicaramu!! Harusnya kamu bahagia karena kamu bisa memiliki apa saja yang kamu inginkan. Apa kamu ingin hidup seperti gembel di pinggir jalan sana?!" Suara Pramono naik beberapa oktaf. Emosinya semakin tak terkendali terbakar oleh kalimat yang dilontarkan anaknya. Selalu seperti ini setiap kali dia mencoba untuk menunjukkan kasih sayang pada putrinya.

"Apa kebahagiaan yang aku inginkan juga bisa dibeli dengan uang, Yah?" tanya Rayn dengan suara yang sedikit bergetar karena hampir menangis. Emosi Rayn kini tidak terkendali, gejolak dalam dirinya yang selama ini ia pendam akhirnya terembus perlahan. Rayn memutuskan untuk kembali ke kamarnya tanpa memperdulikan lagi perubahan ekspresi sang ayah, yang masih mematung karena tertohok dengan apa yang dikatakan anaknya barusan.

***

Sambil memandang langit-langit kamarnya Rean tersenyum sendiri. Sejak dia bertemu Rayn beberapa jam yang lalu senyuman manis di bibirnya tidak pernah pudar. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini.

"Apa aku benar-benar menyukai Rayn. Kenapa gadis itu bisa membuatku gila seperti ini. Aahhhh Rayn." Terheran-heran sendiri Rean memikirkan perasaannya pada Rayn. Hingga akhirnya Rean terlelap.

"Assalamu'alaikum, maaa" Terdengar teriakan seseorang dari depan sambil membuka pintu rumah. Rumah itu bisa dibilang lumayan besar. Rumah yang terlihat cukup luas dan memiliki dua lantai dan terdapat basement dilantai dasar yang digunakan untuk menyimpan mobil dan sebagai tempat tinggal pembantu dan sopir.

"Like father, Like son. Sama-sama suka teriak kalau masuk rumah bukannya ucap salam." Omelan Claudia pada Permana, suaminya yang baru pulang kerja. Walaupun mulutnya tak berhenti mengomel, tapi tubuhnya tetap bekerja sebagaimana mestinya. Mencium punggung tangan Suami dan membantu memngambil alih jas dan tas kerjanya.

"Hehehe sepertinya ini bukti dari pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Permana mendudukkan pantatnya di sofa ruang tamu sambil melonggarkan ikatan dasinya.

"Heem. Eh, Yah deket sini deh, mama mau ada yang dibicarkan. Ini soal Rean, pah" Permana menggeser duduk ke sebelah istrinya, dengan antusias Claudia menceritakan mengenai Rean yang bertemu dengan gadis cantik di mall tadi siang.

"Waahhh, rupanya anak kita satu-satunya itu sudah menemukan tambatan hati, ya, Ma. Oh iya, siapa nama gadis itu? Ayah kok jadi penasaran. Rean kasih liat fotonya gak, Ma?" Pertanyaan beruntun mengalir begitu saja dari mulut Permana yang kelewat kepo dari pada Claudia sebagai wanita.

"Ya, itu dia masalahnya pah, anakmu itu loo udah kelewat pinter. Dia gak minta nomor itu cewek, ga ada fotonya juga pah. Oh iya, namanya Derayn kalau gak salah tadisih. Agak susah namanya." Curhat Claudia yang karena Faktor U jadi sulit untuk mengingat atau itu efek dari nama Rayn yang sedikit ribet.

"Hahahaha anak itu. Kocak sekali, gak jauh beda lah sama ayahnya. Yang Rean lakukan itu pernah aku lakukan juga." Permana mengatakan hal itu tanpa pikir panjang. Tawanya seketika pecah mengingat masa remajanya yang begitu menyenangkan. Tak melihat bagaimana perubahan ekspresi wajah istrinya.

"Hah kamu memang buaya darat dulunya. Kamu bahkan tidak melirikku sama sekali dulu. Kamu tidak pernah berlaku romantis padaku. Aku hanyalah gadis cupu yang sudah bagaikan lalat di antara sampah-sampah di matamu." Permana menepuk jidatnya pelan. Permana sama sekali tidak menyadari bahwa kata-katanya barusan akan membuka luka lama dalam hati istrinya. Semua yang dikatakan istrinya memang benar dan semua itu adalah sebagian dari kebodohan masa mudanya.

***

Rayn menutup pintu kamar tak lupa menguncinya lalu menelungkupkan wajahnya di antara bantal-bantal Bed Cover-nya. Jika orang lain yang melihat akan mengira bahwa Rayn sedang menangis, maka mereka salah besar. Bagi Rayn menangis sudah tak ada gunanya lagi sekarang. Rayn hanya bisa terus berharap jika suatu saat nanti akan datang seseorang yang bisa membawanya pergi jauh dari kehidupan yang memuakkan ini.

"Andai papa dan mamaku bukan seseorang yang Workaholic. Rumah kecilpun sudah terasa seperti Istana. Itu lebih baik dari pada rumah besar tapi seperti tak berpenghuni"

Pikiran Rayn kini sedang terbang ke awang-awang. Rayn membayangkan keluarga yang harmonis yang dipenuhi canda tawa disetiap harinya, malam-malam yang digunakan untuk berkumpul di depan televisi menonton acara favorit keluarga, Hari libur yang di isi dengan jalan-jalan atau sekedar berkumpul di ruang keluarga. Sudah cukup sampai di sini Rayn membayangkannya, karena itu sudah cukup membuat Rayn semakin sedih karena tidak yakin bisa mewujudkan hal itu.

Suara pintu rumah yang ditutup keras terdengar oleh Rayn. Rayn memutuskan untuk melihat keluar. Sesampainya di ruang tamu Rayn tak lagi menemukan sosok ayahnya. Berarti yang menutup pintu tadi adalah Ayah yang pergi, pikir Rayn. Tak mau ambil pusing akhirnya Rayn memutuskan untuk kembali ke kamar dan tidur untuk masuk dalam alam mimpinya yang lebih indah dari kenyataan yang sedang dihadapi.

"Aku rindu dipeluk Mama sebelum tidur. Dielus kepalaku dengan lembut lalu dinyanyikan lagu pengantar tidur. Aku tidak ingat lagi kapan mama memeluk dan menciumku. Atau mungkin Mama tak pernah melakukannya, yang kuingat selama ini hanya Mbak Lili yang menemani tidur siang dan malamku. Apa Mama tidak rindu padaku? Apa Mama sesibuk itu?" Rayn bergumam sendirian sambil menatap boneka kesayangannya. Dia merindukan mamanya, yang bisa ia temui mungkin tiga bulan sekali, sang mama yang sering bertemu client keluar negri membuat Rayn semakin sulit mencuri waktu bertemu dengan sang mama.

Rayn masih baru saja berusia tujuh belas tahun, wajar saja jika dia masih merindukan pelukan sang mama. Yang Rayn ingat adalah dia kemana mana selalu ditemani Baby sister dan satu Bodygard sejak dulu hingga kini.

Mereka berdua sudah sejak kecil ditugaskan untuk menjaga Rayn, yang menurut Rayn seharusnya hal itu dia dapat dari ayah dan ibunya. Rayn segera menampik semua pemikiran yang terlintas barusan. Dia ingat dengan kata-kata guru agamanya dulu. Bahwa kita tidak boleh mengeluh, masih banyak orang yang lebih dari kita. Lebih bahagia, Lebih sedih, Lebih sakit. Karena diatas langit masih ada langit dan dibawah tanah masih ada tanah. Lama kelamaan Rayn terlelap dengan beberapa tetesan air mata yang tak disadarinya keluar begitu saja.

***

Dering telfon berbunyi "Halo, Permana. Aku dengar kamu sudah ada disini memegang beberapa perusahaan dan sebuah sekolah berstandar International." Seorang pria yang sudah menginjak kepala empat disebrang sana masih terlihat gagah dan tampan.

***

"Rencana Tuhan selalu lebih baik dari apa yang kita pikir sudah baik"

***

Precious Time [Edisi Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang