10

51 14 0
                                    

Dua tahun yang lalu. Lima orang sahabat tengah duduk dihalaman rumah Rean, canda tawa terdengar dari mulut mereka. Mereka baru saja masuk SMA, dan tentu saja mereka sekolah di tempat yang sama. Mereka memang selalu bersama sejak kecil, selain karena jarak rumah yang dekat orang tua mereka juga berteman.

"Eh. Inget gak sih, waktu kita main ke rumah Bu Tata terus tiba-tiba burung beonya terbang ke kepala Bagas, abis itu burungnya BAB. Hahaha."

"Hahaha. Iya, inget banget. Waktu itu kamu kan sembunyi dibelakang Rean, harusnya kamu yang kena," ungkapnya dengan wajah yang dibuat-buat cemberut.

"Iya dong. Dari dulukan aku sayang sama Olive, jadi mana mungkin aku biarin dia terluka. Ya gak?" jawabnya dengan tingkat percaya diri yang tinggi. Tanpa disadari ada hati yang terluka karenanya.

"Ehem. Aku pulang dulu udah ditelpon mama," pamitnya dengan wajah datar dan terkesan dingin.

"Ya elah, Dan. Kayak anak mama aja ditelponin mulu perasaan," kata bagas yang memang dasarnya punya mulut petasan.

"Aku duluan" Tanpa menghiraukan kata kata temannya, dia pergi dari kumpulan itu untuk menenangkan diri.

"Danzy kenapa?" Ghani merasa aneh dengan perubahan sikap temannya. Pertanyaannya hanya dibalas gelengan kepala oleh ketiga temannya.

***

"Gue udah jadian sama Rean tau gak. Ih, seneng banget," ucap seorang gadis kepada teman-temannya di dalam kelas. Terdengar sangat keras hingga seorang laki-laki yang duduk di kursi paling ujung pun mendengar. Seseorang itu mengepalkan tangannya dengan nafas yang memburu.

"Rean. Kamu bukan temanku lagi."

Bel pulang sekolah berbunyi. Semua siswa maupun siswi keluar kelas dan segera pulang.

"Rean. Kamu di tunggu Danzy di lapangan basket," ucap seorang anak laki-laki berkaca mata.

"Oh, oke. Makasih ya."

"Tumben Danzy ngajakin ketemuan berdua aja."

"Hey, Dan. Ada apa kamu ngajak ketemuan berdua aja. Biasanya juga berlima. Ada hal penting apa? Aku buru-buru harus mengantar Olive pulang." Rean memang tidak mengetahui bahwa Danzy sahabatnya menyukai Olive.

"Teman macam apa kamu?"

'Bugh'

Danzy tiba-tiba menghantam wajah Rean dengan bogeman mentahnya. Rean yang kaget dan tidak menduga pun tersungkur hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah segar.

"Shit! Kamu kenapa sih, Dan?" Rean berusaha bangkit.

"Teman macam apa kamu? Kamu bahkan membuat temanmu sendiri sakit hati. Kamu tidak menghargai perasaan temanmu," ucapnya penuh penekanan dan emosi.

"Maksud kamu apa sih, Dan? Perasaan apa? Siapa?" Rean semakin dibuat bingung dengan kalimat Danzy.

"Aku suka Olive."

***

Hari ini hari kedua Rayn dirawat. Dan selama dua hari itu pula Rayn merasa kesepian. Kemarin dia menghubungi Melly, karena yang dia lihat banyak notif chat dari Melly yang mengkhawatirkannya. Rayn memutar mutar I Phone di tangannya. Dia sedang merindukan seseorang.

'Rean kemana ya? Apa dia tidak mencariku?'

Rayn bertanya tanya dalam hati. Dia merindukan Rean yang selama beberapa hari ini selalu menghiburnya dan membawanya tertawa. Tapi kemana dia saat Rayn sangat membutuhkannya seperti ini.

"Rayn. Bagaimana keadaanmu? Jika hasil pemeriksaan hari ini bagus. Kamu boleh pulang malam ini juga," kata seorang dokter.

"Aku baik baik saja, Dok," jawab Rayn dengan senyuman yang di paksakan.

"Bagus kalau begitu. Semangat, ya. Kamu pasti sembuh." dokter berkata sebelum pergi.

"Aku merindukanmu matahariku. Mungkin memang benar aku adalah bulan yang begitu indah di antara bintang-bintang, tapi cahayaku darimu matahari. Tanpa kamu aku tidak akan bercahaya. Sama sekali tidak."

***

"Kamu nggak penasaran gitu sama keadaan Rayn sekarang? Sudah dua hari ini dia tidak masuk sekolah." Rean yang ditanya seperti itu terdiam sebentar. Dia baru mengingat Rayn, gadis manis itu.

"Tidak. Bukan urusanku," jawab Rean cuek, namun dalam hati dia dibuat bimbang lagi. Disisi lain dia nyaman dengan Rayn, tapi sepertinya dia masih sayang pada Olive cinta pertamanya.

"Siapa Rayn?" tanya Olive.

"Bukan siapa-siapa. Lanjutkan makanmu," jawab Rean cepat sebelum Bagas yang berbicara, karena Bagas itu jika berbicara selalu sesuai fakta dan tidak mengetahui situasi dan kondisi.

"Kamu adalah laki-laki paling pengecut yang pernah aku kenal." Bisikan itu di dengar Rean dari Ghani. Ghani tidak akan pernah mengeluarkan kalimat panjangnya jika dirasa tidak penting. Setelah membisikkan kalimat itu Ghani pergi diikuti oleh Bagas yang melempar tatapan dingin pada Rean.

"Tadi Ghani bilang apa?" tanya Olive.

"O oh itu, dia bilang mau ke kelas duluan," ucap Rean.

"Oh, makananku sudah habis. Cepat selesaikan makanmu," ucap Olive dengan lembut sambil mengelus punggung Rean. Ini yang Rean suka dari Olive. Olive selalu bisa menenangkannya dan membuatnya lupa dengan masalah-masalah yang ada.

***

"Aku bener-bener gak habis pikir deh Ghan sama si Rean itu. Jelas-jelas karena cewek itu Danzy jadi benci sama dia. Dan karena cewek itu juga bertahun-tahun Rean terpuruk dalam kesendirian," kata Bagas sambil menerawang ke beberapa tahun yang lalu.

"Kata Melly, Rayn memberi kabar padanya. Besok Rayn sudah kembali sekolah. Aku tidak akan membiarkan Rean menyakiti Rayn. Rayn itu gadis yang sangat baik. Tidak sepantasnya dia terluka karena hal ini. Apa yang akan kita lakukan, Gas?"

"Aku. Hanya bisa pasrah. Semampu kita, kita harus membuat Rayn kuat. Kita tidak bisa membiarkan Rayn sendirian. Yang harusnya kita biarkan sendirian itu adalah Rean. Agar dia mampu berpikir jernih dengan apa yang diperbuatnya."

***

"Sudahlah. Biarkan saja, toh pepatah mengatakan! Orang baik hanya untuk orang baik, begitupun orang jahat hanya untuk orang jahat."

***

Precious Time [Edisi Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang