20

61 7 0
                                    

***

"Ketika nanti kita bertemu. Hanya satu pintaku, jangan tatap aku dengan kebecianmu. Kamu boleh pergi begitu saja dari hidupku dan kumohon jangan tinggalkan luka untukku."

***

Seorang gadis kembali terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Kamar ini memang di sediakan khusus untuk keluarga pemilik rumah sakit. Bagi gadis yang masih memejamkan mata di sana, rumah sakit merupakan rumah kedua, rumah pertamanya adalah sekolah. Menurut penilaian gadis manis itu sebuah gedung mewah yang berpenghuni, tapi sepi. Tidak pantas di sebut sebagai rumah, hanya gedung biasa untuk tempat tidur , mandi dan makan.

Seorang dokter memasuki ruangan di ikuti kedua suster di kanan dan kirinya. Gadis yang sejak tadi memejamkan mata terpaksa bangun.

"Hasil tes pagi ini sudah bagus. Jam makan siang Nona sudah diperbolehkan untuk pulang," kata dokter. Kedua suster di sana sibuk mengecek satu persatu alat yang terhubung dengan tubuh pasien.

"Terima kasih, Dok. Oh iya, aku mau dekorasi kamar ini diubah warnanya menjadi pink dan putih. Nanti jika aku kembali ke sini semuanya sudah harus beres. Mengerti?" ucapnya mengerucutkan bibir mengamati beberapa ornamen yang berada di ruangan ini begitu membosankan.

"Nona Rayn harus menjaga kesehatan dengan baik, agar tidak sering berkunjung ke sini," kata dokter mulai khawatir dengan Rayn yang kehilangan semangatnya untuk sembuh.

"Baiklah aku akan menjaga kesehatan dengan sangat baik, agar kalian punya cukup banyak waktu untuk mendekorasi kamar ini menjadi lebih menarik," jawab Rayn mencoba bangun dari tidurnya. Tatapannya bertemu dengan Dokter Rio yang menjadi dokter khusus Rayn selama di kota ini.

"Dokter Rio. Mau bagaimanapun ruangan ini tidak akan ditempati orang lain. Sekarang aku sudah lebih dewasa bukan? Aku sudah bisa menerima penyakitku dengan lapang dada dan siap di jemput pengaren berkuda hitam kapan saja," ucap Rayn asal.

"Pangeran berkuda hitam? Maksud Nona malaikat maut?" Seorang suster yang sudah menyelesaikan tugasnya ikut membalas ucapan Rayn. Rayn menoleh kepadanya dengan senyuman lebar.

"Belum tentu malaikat maut berkuda hitam. Siapa tahu kudanya ada yang berwarna putih." Suster yang satu lagi ikut menanggapi percakapan mereka. Rayn menatap kedua suster itu bergantian lalu tertawa bersama. Dokter Rio hanya mampu menggelengkan kepala mengulum senyuman yang penuh arti.

Dokter Rio meninggalkan ketiganya yang sedang asik bercanda mengenai dunia fantasi mereka. Mulai berkhayal akan menjadi seorang istri dari artis Korea papan atas hingga bermimpi memiliki anak kembar yang sangat imut dan menggemaskan. Tentu saja dengan kehidupan yang serba mewah.

"Hahaha kamu perlu berkaca lebih lama lagi. Memangnya artis Korea mana yang akan tertarik denganmu? Artis Indonesia saja belum tentu ada yang melirikmu," tawa mereka kembali pecah saat menggoda salah satu suster yang memiliki tingkat kehaluan paling tinggi.

"Hei, tidak ada salahnya kan berharap. Siapa tahu Tuhan mendengar dan mengabulkan keinginan rakyat biasa seperti diriku ini," jawabnya.

"Jangan terlalu berharap, aku pernah terlalu berharap sehingga akupun terluka karenanya," ucap suster yang lainnya. Suasana gembira berubah seketika menjadi penuh duka. Rayn mengosongkan pandangannya dan kembali teringat akan kisah hidupnya yang tak pernah sesuai dengan harapan.

"Kamu benar. Kata orang berharaplah sebaik mungkin dan Tuhan akan memberikan yang terbaik. Harapanku bukan untuk terbaring lemah di rumah sakit, tapi Tuhan memberiku ini. Jadi, inilah yang terbaik?" kata Rayn menatap kedua suster yang duduk di kanan dan kirinya secara bergantian seolah meminta jawaban atas pertanyaan panjangnya.

"Jangan menyalahkan Tuhan untuk keadaanmu yang sekarang. Kita sama-sama tidak tahu apa yang Tuhan persiapkan di balik semua ini. Percayalah kamu pasti punya takdir indah," jawab salah satu suster memeluk Rayn dari samping kanan.

Suster yang duduk di sebelah kiri turut memeluk Rayn penuh kasih."Kita sudah seperti teman. Jika kamu butuh tempat curhat panggil kami. Ayo segera bersiap, Nona kita pulang siang ini," ucapnya.

Rayn tersenyum penuh arti, tatapannya sendu. "Orang lain yang baru saja mengenalku bisa sedekat ini denganku, tapi orang yang sudah lama dekat denganku mengapa begitu jauh?" gumam Rayn dalam hati.

Rayn sudah mengganti pakaian biasa dan sedang duduk di sofa ruang rawat menunggu Pak Bram menjemputnya. Rayn merasa sangat bosan sehingga memutuskan untuk memainkan ponselnya membuka aplikasi Instragram untuk melihat beberapa aktifitas teman-temannya yang belum lama diposting. Rayn asik menggeser layar ponselnya kebawah kadang tertawa ketika melihat postingan lucu temannya.

Hingga senyum Rayn pudar ketika matanya menangkap sebuah postingan foto tujuh belas jam yang lalu. Di dalam foto itu jelas memperlihatkan seorang gadis dengan laki-laki yang berdiri di sampingnya. Keduanya terlihat sedang menggigit sate masing-masing sambil bertatapan menahan tawa, kegembiraan tercetak jelas di wajah mereka.

"Mungkin akan lebih baik jika aku tidak kembali muncul di hadapanmu, tapi maaf. Aku juga tidak bisa melawan orang yang mengatur kehidupanku untuk tetap berada di sini. Tanpa kamu beri jawabannya aku sudah tahu lewat foto ini, kamu memilih dia sebagai gadis yang kamu cinta," ucap Rayn seakan berbicara kepada foto yang terpampang di layar ponselnya. Senyumnya terlihat begitu dipaksakan, dia bahagia bisa melihat seseorang yang dia suka tertawa bahagia, tapi kenapa dia merasa begitu sakit ketika seseorang itu tertawa bersama orang lain?

"Nona Rayn, maaf menunggu lama. Tadi macer di jalan," ucap Pak Bram baru datang dan terlihat tergesa-gesa.

"Duduk dulu, Pak. Harusnya tidak perlu terburu-buru, aku tidak akan jatuh sakit lagi hanya untuk menunggu satu atau dua jam lagi," ucap Rayn memberikan segelas air mineral pada Pak Bram dan memintanya untuk ikut duduk di sofa. Pak Bram tersenyum dan meminum air mineral hingga habis tak bersisa.

"Terima kasih, Nona," ucapnya.

"Oh iya, selama kita pindah ke sini Pak Bram belum pulang ke rumah bukan?" tanya Rayn.

"Emm iya belum, tapi kami sering melakukan video call. Jadi, tidak perlu mengkhawatirkan soal keadaan mereka," jawab Pak Bram teringat kepada keluarga kecilnya di rumah. Pak Bram memiliki seorang istri dan dua anak perempuan, anak pertamanya hanya berjarak dua tahun lebih muda dari Rayn sedangkan anak keduanya berusia lima tahun.

"Pak Bram tidak ingin pulang?" tanya Rayn menatap mata Pak Bram yang sangat jelas mengisyaratkan sebuah kerinduan.

"Mungkin memang berat pada awalnya, meninggalkan mereka pergi jauh seperti ini. Biasanya kami tidak pernah berpisah ketika malam tiba, tapi kini mau siang atau malam tetap sama saja. Hahaha. Tidak perlu khawatir Nona, mereka tidak mempermasalahkan hal demi membiayai anak sekolah dan kebutuhan rumah," jelas Pak Bram diikuti senyuman tulus.

Jelas terlihat di dalam diri Pak Bram ada jiwa seorang Ayah yang begitu menyayangi keluarganya melebihi apapun. Pak Bram rela meninggalkan keluarga demi kecukupan keluarga. Berbeda dengan ayah Rayn yang rela meninggalkan keluarga demi usahanya dan martabat keluarga. Keduanya memang memiliki kesamaan dari sudut pandang perjuangan, tapi keduanya jelas berbeda dari sudut pandang tujuan.

"Segeralah pesan tiket pulang sebelum akhir tahun, biasanya harga tiket akan melonjak di hari-hari besar. Aku tidak ingin melihat Pak Bram menangis di sini menahan rindu terutama kepada anak-anak Bapak," ucap Rayn. Pak Bram memandang Rayn bingung, dia tidak yakin jika ini akan baik-baik saja.

"Jangan khawatirkan aku, Pak Bram. Masih ada Mbak Lili di sini yang menjagaku, untuk urusan keamanan aku akan meminta salah satu bodyguard yang ada di Jakarta untuk menggantikanmu di sini sementara waktu," ucap Rayn menyadari kegelisahan di wajah Pak Bram.

"Apa Tuan akan setuju dengan keputusan ini?" tanya Pak Bram ragu.

"Soal Ayah biar aku yang mengatasi. Baiklah ayo pulang, aku sangat merindukan kamarku. Di sini sangat membosankan," ucap Rayn berdiri dari duduknya dan melangkah keluar ruangan diikuti Pak Bram dengan senyum lebarnya.

"Libur tlah tiba ... libur tlah tiba ... hore horee," sorak Pak Bram pelan di belakang Rayn sambil melayangkan tinjuan ke udara berkali-kali. Rayn sebenarnya menyadari tingkah laku Pak Bram, tawanya hampir saja pecah jika tidak mengingat saat ini mereka tengah berada di koridor rumah sakit.

Precious Time [Edisi Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang