9

67 15 2
                                    

Suara bel sekolah terdengar nyaring menandakan jam pelajaran akan segera di mulai. Seorang guru memasuki ruang kelas di ikuti siswi cantik.

"Selamat pagi, anak-anak."

"Pagi, Bu."

"Hari ini kalian kedatangan teman baru pindahan dari Singapura. Perkenalkan dirimu, Nak."

"Hallo. Kenalin nama aku Olivea Jasen. Kalian bisa panggil aku Olive. Thank."

"Eh, cantik. Minta id linenya dong."

"Udah punya pacar belum?"

Semua ribut menggoda Olive. Kecuali ketiga siswa yang duduk di deretan paling belakang. Mereka saling pandang.

"Dia. Kembali."

"Sudah-sudah kalian ini rebut sekali. Silahkan Olive kamu duduk di bangku kosong sebelah Rean. Rean kamu tidak keberatan kan? Hanya satu kursi yang kosong di kelas ini," ucap Bu Nata sambil menunjuk kursi kosong yang di maksud.

"I iya buk. Tidak masalah," jawab Rean sedikit ragu, karena entah mengapa dia merasakan kembali rasa yang telah lama dia coba lupakan.

"Hay. Apa kabar, Rean? I Miss you." Suara Olive hanya bisa di dengar oleh Rean karena volumenya yang rendah dan juga Olive yang mendekatkan tubuhnya pada Rean.

Rean berusaha menetralisir kegugupannya. Walau sudah bertahun-tahun lamanya, namun kenyataan berbicara bahwa Rean ini 'Galon' alias Gagal Move On.

"Baik." Hanya itu yang mampu Rean ucapkan. Sedangkan didalam hatinya banyak hal berkecamuk membuatnya tidak fokus pada pelajaran hari ini.

***

Seseorang terbaring lemah di sebuah kamar rumah sakit dan kini mencoba membuka mata secara perlahan. Mata indah itu melihat kondisi di sekitarnya. Dia sudah sangat hafal dengan kondisi ruangan yang seperti ini, dan bau obat yang menyeruak. Rayn memegang kepalanya yang masih terasa agak berat.

Rayn sempat mengangkat sedikit kepalanya untuk melihat apakah ada orang lain selain dirinya di dalam ruangan ini. Rayn kembali merebahkan tubuhnya memandang langit-langit ruangan tempatnya di rawat. Ruang VIP, tapi dia sendiri tiada yang menemani.

Percuma bayar sewa ruangan selebar dan selengkap ini. Untuk apa? Rayn merasa hatinya teriris. Di saat-saat seperti ini pun dia tetap sendiri. Yang dia tanyakan, apakah tetap seperti ini hingga dia menutup mata untuk selamanya?

Suara pintu ruangan yang dibuka membuyarkan lamunan Rayn. Rayn segera mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang.

"Oh ternyata Suster. Aku pikir Ayah atau Ibu yang datang." lirih Rayn kecewa.

"Nona Rayn. Bagaimana keadaanmu?" tanya suster itu dengan senyumannya yang menenangkan hati pasien.

"Ya. Seperti yang suster lihat. Siapa yang membawaku kemari?"

"Tadi Tuan Pramono menelepon rumah sakit. Lalu ambulan menjemput ke rumah. Apa Nona membutuhkan sesuatu?"

"Oh. Dijemput ambulan ternyata. Tidak. Aku tidak perlu apa-apa. Aku ingin tidur lagi," ucap Rayn yang mood-nya memburuk setelah mendengar bahwa sang Ayah hanya mengirimkan ambulan saja untuknya. Apakah Ayah tidak khawatir atau setidaknya ingin tau seperti apa kondisiku.

"Saya mengerti. Bersabarlah Nona akan segera sembuh." Sekali lagi suster itu mencoba menenangkan Rayn. Suster itu sudah mengetahui apa yang Rayn sedihkan saat ini. Sebelum masuk dia sudah diberikan penjelasan panjang lebar oleh Bodygard yang menjaga Rayn. Suster itu memang ditugaskan untuk menemani Rayn dan menenangkannya.

"Ada siapa saja diluar?"

"Oh, ada Pak Bram yang berdiri sejak tadi di depan pintu."

"Kenapa dia tidak masuk? Panggil dia dan suruh dia duduk di dalam ruangan. Ruangan ini akan sia-sia jika tidak ada yang menemaniku di dalam."

"Baiklah. Akan saya panggilkan," jawab suster lalu pergi kearah pintu dan mengeluarkan setengah badannya hingga Bodygard di sana menyadari ke munculannya.

"Ada apa kamu keluar. Nona sudah sadar?"

"Sudah. Dia memintaku memanggilmu. Dia ingin kamu menjaganya di dalam saja."

"Oh. Baiklah," jawabnya lalu masuk berjalan di belakang suster.

"Pak Bram. Sebenarnya kemana Ayahku. Sebegitu tidak pedulinya kah Ayah padaku?" tanya Rayn dengan mata yang memerah, antara menahan tangis atau marah.

"Maaf, Nona Rayn. Setahu saya Tuan sedang dalam perjalan bisnisnya ke Malaysia."

"Baiklah. Lama-lama aku bisa lupa jika dia ayahku. Bisa jadi yang ku ingat kamu ayahku yang sebenarnya. Lalu entah kemana ibuku." Sifat Rayn yang memang sedikit keras sejak dulunya membuat Rayn berkata-kata kasar seperti saat ini, ini terjadi jika dia memang sedang benar-benar marah dan kecewa.

"Nona. Jangan seperti itu. Tuan pasti akan kemari malam ini juga. Nyonya sendiri saat ini masih di London," ucap Pak Bram berusaha menenangkan Rayn walaupun dia sendiri tidak begitu yakin.

"Sudahlah. Aku tidak peduli lagi. Aku ingin tidur. Suster kembalilah bekerja dan Pak Bram istirahatlah di dalam sini. Bapak tidak di bayar hanya untuk berdiri seharian menjaga pintu," ucap Rayn mengakhiri perdebatan, dia sudah tidak ingin ambil pusing. Biarkan saja semua berjalan sesuai alurnya, Rayn akan mengikuti walau alur itu mengarah pada rangkaian bunga mawar berduri tajam.

***

"Istirahat. Kantin yuk."

"Aku bolehkan ikut kalian. Aku tidak punya teman disini selain kalian"
Olive memohon pada ketiga laki-laki di hadapannya .

Seseorang tidak tega melihatnya. "Boleh. Tentu saja" jawab Rean.

Olive dan Rean berjalan berdampingan mendahului Bagas dan Ghani yang masih geleng-geleng kepala. Sejak kedatangan Olive di kelas mereka sudah bisa memastikan jika temannya belum bisa melupakan gadis itu. Terutama tentang perasaan Rean kepada Olive.

"Kita lihat saja, Ghan. Rean akan kehilangan berlian hanya demi besi karatan itu." Kali ini walau tidak begitu nyambung, Bagas berbicara dengan tegas dan sungguh-sungguh.

"Biarkan saja. Aku hanya berharap Rean tidak menyesali perbuatannya di kemudian hari," jawab Ghani menyetujui ucapan Bagas. Mereka berjalan menyusul Olive dan Rean.

"Duhh, kok gak aktif sih? Rayn kemana ya? Nggak ada suratnya lagi. Teleponnya nggak aktif juga. Apa sebaiknya aku tanya Rean aja ya? Dia kan lagi deket sama Rayn, siapa tau Rayn bilang kemana dia hari ini." Melly sejak pagi tadi tak melihat batang hidung Rayn membuatnya khawatir dan uring-uringan sendiri.

Dengan terburu-buru Melly berjalan keluar kelas sehingga tidak sengaja menabrak seorang siswi yang tengah berlalu di depan pintu kelasnya.

"Eh maaf, buru-buru." Melly menunduk dan meminta maaf.

"Aduuhhh. Gimana sih. Kalau jalan tuh liat-liat dong. Sakit tau. Reaann tanganku sakit" Melly segera mendongakkan kepala ketika mendengar nama orang yang sedang dicarinya.

"Mel, lain kali kalau jalan hati-hati. Kalau Olive sampai kenapa-kenapa. Lo berurusan sama gue." Tatapan dingin Rean begitu menusuk. Melly masih tidak menyadari situasi saat ini. Hingga dia terdiam membisu melihat Rean bergandengan tangan dengan Olive berjalan ke arah kantin.

"Kamu gak apa-apa? Rean bilang apa tadi?" Ghani yang melihat kejadian itu dari jauh bergegas mendekati Melly yang masih terdiam. Beberapa detik kemudian.

"Keparat." Satu kata keluar dari mulut Melly dengan tatapan dingin yang mampu menusuk siapapun. Matanya menatap nyalang ke arah punggung Rean dan Olive yang semakin menjauh.

***

"Tak ada yang tahu Tuhan sedang menguji kita atau Tuhan sedang menghukum kita. Dua hal itu hampir sama, tapi berbeda makna."

***

Precious Time [Edisi Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang