15

57 11 0
                                    

***
“Jika kamu belum mengenal siapa lawanmu, sebaiknya jangan menyerang lebih dulu. Yang terlihat hanya bagian ekor kecil, kamu belum melihat kepalanya.”
***

Beberapa menit telah berlalu, tapi mereka berdua masih dalam posisi yang sama. Rean masih setia memeluk Rayn dari belakang, sedangkan yang dipeluk tak mampu membendung air mata yang mengalir begitu saja di pipinya.

Siapa yang tidak menginginkan pelukan hangat dari seseorang yang paling dicintainya? Tapi mengapa rasanya begitu sakit didalam hati Rayn. Seperti ada sekat di antara keduanya, masih ada sesuatu yang menciptakan jarak antara Rayn dan Rean.

Rayn ingin segera mengakhiri semua ini. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlangsung lebih lama lagi, hatinya akan semakin hancur karenanya. Rayn memegang kedua tangan Rean yang melingkar di perutnya dan berusaha melepaskan. Rean membiarkan kedua tangannya melepas pelukan dan membiarkan Rayn berbalik menghadap padanya.

“Apa yang kamu lakukan? Sebenarnya apa maumu, Rean?” tanya Rayn, matanya masih sembab dengan hidung merah.

“Aku … hanya ingin mengungkapkan rasa yang selama ini terpendam,” jawab Rean menundukkan kepalanya menatap rumput hijau.

“Kurasa ini bukan terpendam, melainkan tenggelam dengan hadirnya rasa untuk orang  lain yang begitu berarti dalam hidupmu.” Rayn mengatakan hal itu bukan tanpa alas an, dia tahu Rean juga menyayangi Olive.

“Aku masih belum bisa memutuskan hatiku untuk siapa,” kata Rean menatap Rayn. Sebuah tamparan keras mendarat dipipi sebelah kiri Rean, dia sama sekali tidak merasa sakit hanya sesak didalam dada. Rean merasa dia pantas mendapatkan ini dari gadis yang telah dia lukai.

“Apa kamu tidak ingat? Aku memintamu datang kembali padaku jika kamu sudah menemukan jawabannya,” desis Rayn, jaraknya saat ini cukup dekat dengan wajah Rean seakan memberikan peringatan yang sangat tegas.

Rayn melangkah mundur perlahan hingga menimbulkan jarak di antara keduanya. Rayn menatap mata Rean selama beberapa saat hingga akhirnya membalikkan badan dan melangkah cepat meninggalkan Rean. Rean terdiam di tempat, tangannya mengepal hingga darah tidak mengalir dengan lancar di telapak tangannya. Kepalan tangan Rean melayang begitu saja pada pohon yang berdiri kokoh di sebelahnya, mungkin jika itu manusia dapat dipastikan akan pingsan.

Tak jauh dari posisi berdiri Rean saat ini ternyata ada seseorang yang sejak awal menyaksikan pertikaian antara Rean dan Rayn. Senyum miring tercetak jelas di bibirnya yang terlihat merona dengan balutan lipstick. Wajah cantiknya seakan berubah menyeramkan ketika iblis menguasai tubuhnya. Gadis ini memang pantas ditakdirkan menjadi pemeran antagonis.

“Kamu tidak tahu sedang bermain dengan siapa, tapi kamu berani meremehkan diriku. Lihat dan rasakan, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?” ucapnya seakan-akan orang yang dia maksud mendengar kata-katanya. Bibirnya kembali menyunggingkan senyuman licik, senyuman yang menjadi awal dari semua problematika kehidupan Rayn dan Rean.

***

“Selamat siang, Tuan. Malam ini anda memiliki janji pertemuan dengan pimpinan Jas Corp.”

“Ya, aku ingat. Atur lokasi dan waktunya, jadwalnya bersama sekretaris pimpinan JC.”

“Baik, Tuan.”

Pramono memijit pelipisnya pelan, rasanya seperti ingin beristirahat dalam waktu yang lama. Pramono memang mengakui bahwa dirinya adalah seorang workaholic, tapi dia juga tidak bisa mengelak bahwa raganya butuh istirahat. Pramono melonggarkan ikatan dasinya dan melepas jas kerjanya, dia menyenderkan tubuhnya pada kursi besar yang didudukinya.

Pramono menghabiskan separuh lebih hidupnya hanya untuk bekerja. Sebenarnya dia tidak memiliki tujuan pasti untuk apa dia bekerja begitu keras. Apakah untuk keluarganya? Jika iya, lalu di mana keluarga itu? Pramono bahkan tak pernah sekalipun terlihat berkumpul bersama keluarganya. Tidak ada yang tahu pasti siapa istri dan anak seorang Pramono Adijaya, mereka hanya mengetahui nama dan latar belakang keluarganya tanpa melihat bagaimana kondisi keluarga itu.

Kadang Pramono merasa sakit ketika melihat rekan-rekan kerjanya membawa istri bahkan anak-anaknya untuk makan bersama atau bahkan ketika bertemu bertemu rekan kerja. Mereka terlihat begitu harmonis dan romantis seperti tidak ada jarak yang memisahkan mereka. Pramono kadang heran mengapa keluarganya bisa berantakan, kadang dia juga ikut menyalahkan Rayn atas semua yang terjadi. Pramono berpikir mungkin istrinya benar bahwa Rayn adalah anak pembawa sial.

Pramono akui pernikahannya dulu dengan Cintya didasari oleh bisnis, tapi mereka baik-baik saja hingga Rayn lahir dan mengubah pola pikir Cintya.
Pramono menyudahi pemikirannya mengenai keluarga, matanya melirik pada jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan malam telah tiba, dia segera bersiap untuk beberapa pertemuan yang harus dihadirinya. Pramono mencoba untuk melupakan sejenak masalah keluarganya yang begitu pelik.

“Selamat malam, Pak Pramono. Rupanya anda datang tepat waktu sekali. Silahkan duduk.”

“Apakah anda ingin memesan makan malam terlebih dahulu?” tanya orang yang duduk di seberang Pramono.

“Tidak perlu, saya tidak memiliki cukup banyak waktu untuk makan malam,” jawab Pramono yang di balas kekehan oleh orang di hadapannya.

“Ternyata rumor yang beredar itu benar, anda adalah seorang workaholic sejati. Baiklah apa kita langsung saja pada inti pembicaraan?” tanyanya.

“Ya, anda bilang ingin mengajukan sebuah kerjasama. Kerjasama semacam apa yang anda inginkan?” tanya Pramono terus terang. Seseorang di hadapannya tersenyum penuh arti, percakapan di antara mereka berlangsung lama dan terdengar serius.

“Apa anda yakin melakukkan ini semua? Tidakkah hal ini akan menghancurkan beberapa perusahaan yang sudah ada?” tanya Pramono.

“Di dalam bisnis tidak ada yang namanya kasihan, Tuan. Bahkan status sahabat di dalam bisnis tidak akan begitu berarti bukan? Tidakkah kerjasama ini sangat menguntungkan untuk kita berdua?”

“Tuan Jasen. Kami akan menyusun surat persetujuannya dan menyerahkan kepada anda besok pagi. Senang bekerja sama dengan anda,” ucap Peraman berdiri dari duduknya begitupun dengan Jasen. Mereka berjabat tangan sebagai rekan bisnis dan segera meninggalkan lokasi.

Precious Time [Edisi Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang