~EMPAT PULUH DELAPAN~

2.1K 84 1
                                    

TEGANG. Begitulah kira-kira suasana yang dirasakan. Vika, Ve, Hana, Elena, Arini, Randy, Andri, Angga, Darren, Kevin, Danan, Arya, dan Hendra, berkumpul di depan pintu ruang operasi. Ada juga orang tua Nadya, Rita dan Ridwan, juga ikut berdiri cemas di sana. Mereka semua tengah menunggu hasil pemeriksaan dari Nadya. Semuanya khawatir. Bahkan Danan dan Kevin yang biasanya pecicilan juga membisu karenanya. Ve sudah menangis dalam diam sedari tadi dengan Angga di sampingnya, Hana dan Vika saling berpegangan, Elena dan Arini juga sama. Sementara Randy, dia hanya diam mematung dengan posisi bersandar di tembok.

Semenjak Randy melihat wajah cewek yang dibopong Andri yang tak lain adalah Nadya, sepatah kata pun tak keluar dari mulutnya. Dia seakan telah kehilangan nyawanya. Firasat buruk yang dia dapatkan setelah melihat Nadya yang begitu tertutup terjawab sudah.

"Ada yang bisa jelasin ke saya, kenapa bisa begini?!" tanya Rita disela-sela tangisnya.

Semua terdiam.

"Kenapa diam?!" todong Rita.

"Ma, udah. Mereka mana mungkin tau. Ini udah takdir, Ma. Kita berdoa aja." Ridwan berusaha menenangkan.

"Saya tau, kok, Om." Andri memberanikan diri. "Saya ada di dekat tempat kejadian waktu, karena saya sedang di depan gudang sebelah ruang olahraga. Saya liat pohonnya tumbang, tapi saya gak tau kalau Nadya ada di dalam."

Rita kembali menangis, dan segera ditenangkan oleh Ridwan.

"Sudah, Nak Andri. Ini memang kehendak Tuhan, kita cuma bisa berdoa saja sekarang." kata Ridwan sambil mengelus lengan Rita.

Percakapan habis setelah itu, dan mereka kembali pada kegiatan awal. Tak ada yang bicara. Semuanya seperti kehilangan mulut mereka. Hanya suara hujan, mesin-mesin rumah sakit, dan tangis dari beberapa dari mereka saja yang mengiringi penantian mereka.

Beberapa saat kemudian setelah menunggu selama dua jam, seorang dokter dan dua orang suster keluar dari ruang operasi, membuat mereka yang awalnya sibuk seketika berdiri.

"Keluarga Mbak Nadya?" panggil salah satu suster berkulit putih.

"Kami orang tuanya, Suster." kata Rita tak sabar.

Kini semua teman-teman Nadya sudah mengerubungi ketiga petugas medis tersebut.

"Mohon Bapak segera membayar administrasinya di sebelah sana, ya, Pak?" kata suster berkulit agak gelap sambil menunjuk ke pojok depan lorong.

"Baik, Suster." kata Ridwan.

"Mari, Pak. Saya antar." kata suster tersebut.

Ridwan, ditemani kedua suster tersebut pun pergi untuk mengurus administrasi dan beberapa hal.

Sementara itu, Rita mencegat dokter yang tadi bersama kedua suster tersebut setelah dokter tersebut masuk dan kembali keluar.

"Dokter, kasi tau saya, anak saya kenapa?" tanya Rita.

"Begini, Bu. Anak Ibu mengalami trauma otak berat akibat hantaman material bangunan. Saraf otak yang mengatur kerja otot kaki tidak berfungsi, membuat kedua kakinya lumpuh sementara. Persendian pada pergelangan tangan kirinya bergeser, kemungkinan besar anak Ibu sempat mencoba menahan beban tubuhnya, namun tidak bisa. Lalu ada beberapa luka dalam yang sudah ditindaklanjuti dan tidak terlalu berpengaruh pada kondisi pasien," kata Dokter Surya, begitu nama yang tertera di jas putihnya.

"Berat bagi saya untuk mengatakan hal ini Ibu, tetapi sudah kewajiban saya memberi tahu keadaan pasien kepada keluarganya," Dokter Surya menghembus napas pasrah. "Anak Ibu sedang dalam masa koma."

Rita syok bukan main. Ia sempat sempoyongan, namun dengan sigap Randy menahan tubuh Rita agar tidak jatuh.

"Ko-koma?" tanyanya pasrah.

RAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang