~EMPAT PULUH SEMBILAN~

2.2K 75 4
                                    

RANDY masuk ke ruang VIP rumah sakit, lalu duduk di kursi sebelah bangkar. Kedua tangannya dilipat dan diletakkan di kasur tempat tidur Nadya. Dia memandangi wajah Nadya yang tenang dengan mata tertutup itu, lalu tersenyum. Matanya kemudian beralih ke nakas yang ada di sebelahnya juga sebelah bangkar. Ia melirik kotak musik berwarna biru yang ada di sana. Tangannya terjulur, lalu membiarkan kotak musik itu memainkan lagunya dan miniatur penari balletnya  berputar-putar.

"Hai. Udah seminggu, tapi lo gak bangun-bangun," Randy menghembus napas pasrah. "Jujur, gue kangen."

Suara mesin elektrokardiograp yang teratur masih menggema di ruangan, meskipun ruangannya sudah berbeda. Namun tak sendiri, suara kotak musik yang baru tiga hari terakhir Randy inapkan juga di kamar Nadya juga ikut menggema.

"Lo udah pindah ruangan kemarin, kata dokter keadaan lo udah lebih baik, tapi kenapa lo gak bangun?" Randy diam, seolah sedang mendengarkan jawaban Nadya.

"Pertama kali gue ucapin kalau gue kangen sama lo secara langsung, tapi kenapa harus saat lo dalam keadaan kayak gini? Gue kangen tingkah gengsi dan jaim lo, kangen sama cara lo ketawa, kangen sama senyum lo, kangen muka jutek lo, juga kangen lo yang salting pas gue rayu." Randy menghembus napas kasar. "Kapan kita bisa kayak gitu lagi?"

Hening sesaat.

"Hari ini hari terakhir PAS, besok pembagian rapot, dan setelah itu libur semesteran. OSIS juga free. Lo gak mau nemenin gue jalan-jalan kayak waktu itu? Kita jalan-jalan sampe ke Bekasi cuma buat makan sate, terus beli martabak asin yang lo suka, terus masih banyak lagi. Lo gak mau jalan-jalan lagi, Nad?"

Randy terkekeh sendiri. "Sorry, ya? Gue jadi melow gini. Terus jadi banyak omong."

Tiba-tiba suara pintu terbuka terdengar, membuat Randy reflek menoleh ke pintu. Di sana ada Dilon. Tangannya menenteng parsel buah segar yang baru saja ia beli saat perjalanan ke sini. Wajah Dilon menunjukkan keterkejutan saat melihat Randy, mungkin dia tidak tahu.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Randy dengan nada ketus.

"Jenguk Nadya, lah! Pake nanya lagi." Dilon lalu berjalan ke nakas. Ia ingin meletakkan parsel di sana, namun kekurangan tempat. Baru saja tangannya akan memindahkan kotak musik yang sudah tidak bersuara itu ke tempat lain, tangannya dipukul tiba-tiba.

"Jangan dipindahin!" suruh Randy.

"Kenapa?" tanya Dilon polos, meskipun agak kesal karena tangannya dipukul Randy.

"Punya Nadya. Gue yang ngasi." jawab Randy.

Dilon hanya ber'oh' saja, kemudian meletakkan parsel buah itu di sofa. Langsung saja dia duduk di sofa yang sama karena tak ingin mengganggu.

"Lo, ya, yang ngerekam Vania sama Nadya di toilet waktu itu?" sahut Randy tiba-tiba.

"Tau dari mana?" Dilon balik bertanya.

"Ngira aja." jawab Randy seadanya.

"Kok lo bisa ngira gitu?" tanya Dilon.

"Suka-suka gue, lah!" jawab Randy ketus, membuat Dilon sedikit kesal.

Beberapa saat hening. Dilon sibuk dengan ponselnya, sementara Randy sibuk memandangi Nadya, berharap ada pergerakan.

"Om Ridwan sama Tante Rita mana?" tanya Dilon.

"Mau ngapain lo? Mau lamaran?" ucap Randy ketus.

Dilon menghembus napas kasar, lalu beranjak dari sofa menuju Randy. "Gue tau, lo gak suka sama gue karena latar belakang gue yang suka bikin masalah. Lo gak suka gue pasti juga karena gue pernah suka sama cewek lo. Tapi, bisa gak sekarang sampingkan semua itu, dan kita baikan? Drama emang kedengerannya, tapi ya itu, demi Nadya." Dilon menjulurkan tangan.

RAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang