SEBUAH panggilan masuk menyeruak helmnya, mengusik pendengaran Randy. Laju motornya diperlambat, lalu tangannya berusaha menggapai ponsel di saku kemeja putihnya.
"Iya, kenapa?"
"Halo, Ran." Si penelepon berhenti berbicara. "Lo lagi di jalan?"
"Iya."
"Kalau gitu, gue matiin dulu, ya? Nanti gue telpon lagi."
"Gak usah, Nad."
"Gak usah apanya! Bahaya tau teleponan sambil berkendara! Konsentrasi bisa terganggu!"
Randy terkekeh. Lalu menyalakan lampu sen ke kiri untuk berhenti. "Ini udah berhenti."
"Lah, kok berhenti? Nanti kalau lo telat pulangnya gimana? Ini udah malem, Ran." Tersirat kekhawatiran di kalimat itu.
"Gue cowok kali."
"Mau lo cowok kek, cewek kek. Yang namanya bahaya, ya bahaya. Kita gak tau takdir kita bakal selamet atau enggak. Mending lo lanjut pulang dulu, deh. Nanti gue telpon lagi."
"Emang mau ngomong apa sampe segininya?"
"Gak ada, sih. Tadi Tante Irma nelpon gue, katanya lo belum pulang. Ya udah gue telpon."
"Oh, kalau gitu gue pulang, deh. Tapi inget janji lo yang mau nelpon lagi. Nanti gue sms kalau udah sampe rumah, lo langsung telpon, ya?"
"Ngapain? Tujuan gue nelpon lo, kan, mau nyuruh lo pulang. Kalau lo udah pulang, buat apa nelpon lagi coba?"
"Buat gue." Randy yakin, Nadya pasti tersenyum sekarang. "Kalau lo gak mau nelpon duluan, sih, gak papa. Gue bakal main ke rumah Kevin dulu kalau gitu. Lagian besok, kan, libur."
"Ih, apaan? Tante Irma udah nungguin lo, Ran, lo harus pulang. Lagian lo ditelpon nggak aktif tadi, Tante Irma jadi khawatir."
"Gimana, ya?"
Nadya berdecak. "Ran, jangan kayak anak kecil, deh."
Randy diam. Sengaja ingin mengulur waktu agar bisa teleponan dengan Nadya, juga ingin tahu reaksi Nadya.
"Lo kalau mau ngerjain gue lagi, mau jayus lagi, besok, deh, ya? Jangan sekarang. Ini udah malem, kasian Tante Irma nungguin lo." Yang Randy tahu, bukan hanya Ibunya yang khawatir, tetapi cewek yang diajaknya teleponan ini juga ikut khawatir.
"Iya, deh, gue pulang. Puas?"
"Hm. Hati-hati, ya? Jangan kebanyakan ngayal!"
"Iya, Ibu Negara!"
※ ※ ※
"GUYS, hari ini ulang tahun Nadya." kata Vika.
"Gue juga tau kali, Vik. Makanya gue bingung harus bahagia atau sedih." jawab Ve.
"Kalau diinget-inget, dulu waktu SMP kita suka banget ngerjain dia pas ulang tahunnya dia." timpal Hana.
"Iya, gue inget. Yang paling parah waktu kita ikat dia di pohon terus kita make up-in asal-asalan. Terus kita foto, kita bikin instastory, deh." ujar Ve.
Vika memangku dagunya dengan kedua tangan yang dilipat dan diletakkan di atas meja. "Padahal ini sweet seventeen-nya dia."
"Gue gak nyangka Nadya bakal ninggalin kita secepet ini." Mata Ve sudah berkaca-kaca. "Belum 17 tahun, tapi Tuhan udah ngambil Nadya."
"Mungkin Tuhan lebih sayang Nadya, daripada sayangnya kita ke Nadya. Lagian, dengan begini, Nadya gak bakal menderita lagi, kan? Dia pasti udah bahagia dan tenang di sana." kata Hana dengan tegar.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAN [Completed]
Teen FictionMAU DAPET FEEL-NYA? BACA DULU YAA!! Ini hanya kisah anak SMA yang awalnya hanya penasaran dengan akar permasalahannya, namun berakhir rumit karena lika-likunya dan terjerumus dalam dinamika cinta. Ini hanya kisah dua insan Tuhan yang terhubung karen...