~LIMA PULUH SATU~

2.2K 74 0
                                    

ANDRI merenung. Matanya tertuju pada sebuah foto di tangannya, namun pikirannya entah ke mana. Bertopang pada pagar balkon dengan angin menyisir lembut rambutnya, membuat pikirannya semakin gencar berpetualang. Entah apa yang dipikirkan, namun dirinya seolah tak ingin pulang dari petualangan itu.

Hingga fokusnya sedikit demi sedikit menghilang, membuat tangan yang tadi memegang foto itu merenggang sedikit demi sedikit pula. Tiba-tiba angin yang agak kencang menyapu daerah di sekitar sana, membawa terbang daun-daun kering juga foto yang tiba-tiba terlepas dari tangan Andri. Seketika Andri terlonjak begitu mengetahui foto itu terlepas dari tangannya. Namun terlambat, foto itu sudah terbang entah ke mana, bersama dengan dedaunan kering di sekitar sana.

"Shit! Gue cuma punya satu, lagi!" Andri dongkol. Tangannya memukul pagar balkon.

Sekarang benar-benar hanya angan saja. Dari dulu selalu saja seperti ini. Jika dirinya menyukai sesuatu, pasti sesuatu itu tidak akan pernah menjadi miliknya. Jangankan orang, bahkan foto dari orang itu pun tidak ingin berlama-lama singgah dalam status 'miliknya'. Apa ini yang disebut karma?

"HP gue yang ada foto itu udah rusak, terus sekarang fotonya hilang! Argh!" kata Andri.

"Gue cuma bisa foto dia sekali, apa Tuhan gak ngasi gue izin cuma buat miliki fotonya aja?! Gue bahkan gak bisa nemenin dia di sana walaupun gue tau semuanya!" Benar-benar frustrasi. Sulit diakuinya jika ini semua benar-benar terjadi.

"Gue tau, tapi gue gak bisa ngapa-ngapain! Sial!" seru Andri.

Begitu kesalnya Andri hanya karena sebuah foto hilang terbawa angin? Tentu saja, sebab itu adalah foto Nadya. Foto yang dia ambil ketika Nadya tengah melamun di kantin meskipun teman-temannya sibuk makan dan mengobrol. Lalu apa? Bisa difoto lagi, bukan? Bagi Andri tidak semudah itu. Untuk mengambil foto itu saja dia memberanikan diri meskipun tahu jika Nadya saat itu milik sahabatnya. Dan setelahnya, dia sudah berjanji tidak akan mendekati Nadya untuk memenuhi rasa sukanya apalagi sampai mengambil foto Nadya untuk yang kedua kalinya. Dia hanya akan mencari Nadya hanya jika berkeperluan.

Soal perasaannya terhadap Nadya, Randy sudah tahu semuanya. Oleh karena itu dirinya tidak akan mencari Nadya jika tidak ada perlu. Dia ingat waktu itu Randy berkata, "Gue paham. Gak papa. Santai aja." Memang terdengar santai, namun dia tahu jika Randy tidak sesantai itu. Pasti ada gemuruh kesal di dalam diri Randy, dan Andri tahu itu.

Sekarang Andri semakin pusing. Ia lalu masuk ke kamarnya, mengambil ponsel di nakas, lalu menghubungi sebuah nomor. Nomor yang akan dia hubungi setiap beberapa hari sekali, tidak setiap hari. Dia tahu batasan dan tahu aturan. Dia juga tidak ingin mengganggu, tapi dia harus tahu.

"Halo, gimana?"

"Yaa.. gitu, deh."

Andri menghembus napas pasrah.

"Gue, sih, gitu dapet kabarnya kemarin. Sekarang belum sempet."

"Kasi gue nomornya."

"Gak boleh katanya. Takut ganggu."

"Tapi gue berhak tau. Gue tau semua, kenapa ini enggak?!" Nada suara Andri sedikit meninggi.

"Ngerti dikit, dong, Ndri! Ini gak segampang yang lo kira!"

Andri menghembus napas pasrah lagi. "Oke. Tapi kabarin secepetnya, karena gue gak bisa nelpon lo setiap hari."

"Iya."

Sambungan terputus sepihak. Andri memasukkan ponselnya ke saku celananya. Dia kembali melamun di balkon kamarnya, tentunya dengan raut wajah campur-aduk.





RAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang