Fourth Bloom

3.4K 420 68
                                    

Penggalan sedikit,  biar tidak kaget saat baca versi cetaknya.

[La Fleur]

Setelah mendengar kabar dari Hyebin, Hoseok segera menelpon dokter pribadi keluarga Jung. Jimin terjatuh saat berlari kesal dari rumahnya. Wajahnya mendarat sukses di aspal dan tangannya terkilir karena menahan tubuh.

Jimin meringis kesakitan saat dokter tampan dengan sweater abu-abu itu membelit pergelangan tangannya dengan perban.

“Jangan menggunakan tangan kananmu untuk sementara waktu ya, Jimin-ah.” Saran sang dokter. Jimin tidak menjawab.

Usai menangani tangan Jimin, sang dokter mengambil salep dan mengoleskannya ke pipi Jimin yang lecet.

“Shh… Pelan-pelan, Paman.” Jimin agak menjauhkan wajahnya dari sentuhan sang dokter.

“Kau ini manja sekali sih. Padahal hanya goresan kecil.” Dokter itu malah terkekeh pelan melihat rengekan Jimin. Jimin mendengus kesal.

Pintu kamar Jimin terbuka dan Hoseok muncul dari balik pintu. Jimin langsung membalik tubuhnya. Tidak ingin berhadapan dengan sang ayah. Sedikit ada rasa takut, namun rasa kecewa lebih besar sehingga membuatnya sangat tak ingin menatap sang ayah.

“Seokjin hyung, bagaimana keadaannya?” tanya Hoseok.

“Si manja ini tidak apa-apa. Kepalanya yang sekeras batu membuatnya kuat.”

Hoseok lega, meski keningnya mengernyit saat melihat perban di tangan Jimin.

“Tangan kanannya terkilir. Harus diistirahatkan selama sekitar seminggu. Dia tidak boleh menggerakkan tangan kanannya terlalu banyak. Tidak ada luka yang serius. Kecuali lecet di wajah yang menodai wajah tampannya. Sepertinya itu serius. Iya kan, Jimin-ah?” Seokjin mencoba untuk bercanda. Mencairkan suasana. Hanya Seokjin yang menikmati leluconnya. Hoseok tersenyum sangat tipis.

“Jimin-ah, kau harus istirahat, Nak. Ayah akan meminta Hyebin menelpon sekolah besok. Kau diliburkan saja selama seminggu.”
Kalimat ayahnya membuat Jimin muak. Ia tidak pernah bilang untuk tidak masuk sekolah. Namun ayahnya memutuskan sendiri untuk meliburkan Jimin. Yang semakin membuat Jimin kesal adalah kenyataan bahwa sang ayah malah menyuruh orang lain untuk meminta izin ke sekolah. Mengapa tidak ayahnya saja yang meluangkan waktu sejenak. Memberi kabar pada sekolah bahwa anaknya sedang sakit. Setidaknya sekolah akan mengerti jika Jimin memiliki seorang ayah yang perhatian.

Jimin membaringkan tubuhnya. Ia menarik selimut. Membelakangi kedua pria yang ada di kamarnya.
Hening sesaat. Namun, tiba-tiba seseorang merangsek masuk ke kamar Jimin dengan panik. Seorang wanita mengenakan jaket kulit dan rok mini berjalan berisik dengan highheels-nya. Ia lepaskan kacamata hitam yang menghiasi wajahnya sambil mendekati ranjang Jimin tanpa permisi. Seokjin beranjak dari pinggir kasur Jimin. Bergerak mundur memberikan ruang pada wanita itu.

“Jimin-ah… Sayang… Ibu datang. Apa yang terjadi pada anakku, hm?” Wanitu itu membelai rambut Jimin. Ia juga mengusap lengan Jimin yang tertutup selimut.

Jimin merasakan kehadiran wanita itu. Sosok yang ia rindukan. Namun ia menahan diri. Ia memaksa matanya untuk terpejam. Ia tak mau menjatuhkan harga diri dengan merengek manja pada ibunya.
Seokjin menoleh pada Hoseok yang sudah memasang ekspresi malas. Seokjin paham betul bahwa kehadiran itu sungguh membuat Hoseok merasa tidak nyaman.

“Ibu sangat panik ketika Hyebin menghubungi Ibu. Ibu langsung mencari tiket untuk terbang ke Seoul dari Jeju. Anak Ibu yang malang.” Si wanita berucap dengan nada yang diayun.

“Hentikan, Park Sunghee. Kau mengganggu anakku.” Sergah Hoseok yang mulai terganggu dengan sikap mantan istrinya itu. Sunghee menoleh sinis pada Hoseok. “Jimin juga anakku. Memangnya tidak boleh aku khawatir padanya?”

[BOOK] La FleurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang